Jantung Hati Sang Pemimpin

Pagi hari Dena terbangun. Ia melihat ada Nadine di atas tempat tidurnya tapi di saat itu juga posisi Bang Lugas sedang tidur memeluknya dari belakang.

Dena tersenyum kemudian mengusap punggung tangan Bang Lugas dengan lembut. Ada rasa syukur tak terkira karena ia mendapatkan suami seperti Bang Lugas.

...

"Sarapan dulu, Mbak. Setelah itu minum vitamin." Kata Dena sambil meletakan masakan yang baru saja matang.

"Kamu duluan saja, bayimu yang harus lebih banyak di perhatikan." Jawab Nadine sambil menyiram tanaman obat di pekarangan belakang rumah.

"Kalau memang bayinya Dena yang lebih banyak di perhatikan, seharusnya semalam Mbak Nadine tidak sampai tidur di kamar Dena. Itu sudah cukup bukti bahwa Bang Lugas memberikan kenyamanan yang sama pada anak-anak kita." Ujar Dena.

Nadine tidak ada sanggahan untuk menjawabnya. Yang ia rasakan selama ini hanya rasa sedih di balik semua sesal.

Dena pun meneruskan pekerjaan rumahnya di belakang. Di saat yang sama, Bang Lugas bersandar. Secara tidak langsung ia sudah membuat dua orang wanita bersedih namun disini Dena lah yang paling sedih dan banyak berkorban segalanya.

"Tidak kah kamu begitu licik, menjebak ayah dari anak ku padahal kamu tau, Bang Lugas dan aku terlibat skandal sebelumnya. Kamu juga sudah membuatnya gelap mata."

Disaat ini Bang Lugas mulai gusar, ia nyaris beralih pada posisinya tapi Dena masih terus santai dengan pekerjaan nya.

"Kalau Mbak Nadine masih tidak terima dengan pernikahan Dena dan Bang Lugas, silakan Mbak Nadine katakan pada Abang. Perceraian ada di mulut Abang, bukan Dena."

Setiap perkataan Dena yang terdengar jelas di telinga Bang Lugas merupakan cambuk yang menyakitkan. Usia Dena memang masih sangat muda tapi membuatnya tau dan sadar diri dalam bersikap. Ia pun segera meninggalkan rumah dan memilih kembali berangkat ke kantor Batalyon sebelum Bang Erlang tiba.

...

Malam itu mendadak menjadi sebuah reuni persahabatan. Bang Erlang bersama Nindy, Bang Decky bersama Anne dan Bang Lugas tentunya hadir bersama Dena serta Nadine.

Anne yang lebih energik dari yang lain langsung menarik lengan Bang Decky. "Itu beneran ajudan lama presiden, istrinya ada dua????"

"Nggak, hanya satu." Bisik Bang Decky.

"Yang mana? Yang terus menunduk atau yang terus menatap wajah Bang ajudan??" Tanya Anne semakin penasaran.

"Yang menunduk." Jawab Bang Decky.

Anne menunduk dengan tatapan dan pikirannya sendiri, agaknya ia merasa ada yang janggal disana.

"Kalau istrinya hanya ada satu, lalu kenapa yang satunya ikut disana? Dia hamil anak siapa?"

"Anaknya Lugas juga. Sudahlah dek, jangan banyak tanya. Itu urusan pribadi Lugas dan istrinya. Yang penting hubungan kita baik-baik saja dan di jauhkan dari segala marabahaya. Abang hanya ingin pernikahan kita besok lancar." Kata Bang Decky menasihati calon istrinya dengan sabar.

Pertemuan mereka di warnai dengan banyak obrolan, ringan tapi terasa santai di awal. Dena bisa cepat masuk dalam obrolan, begitu pula dengan Nadine yang juga tidak sungkan karena sudah mengenal lawan bicaranya.

Tak berapa lama seorang pramusaji mendekati mereka. Dengan sigap Nadine mengambil dan memesankan kopi hitam untuk Bang Lugas berikut dengan camilan kesukaannya. Dena pun mundur teratur tanpa banyak bicara.

Para sahabat hanya bisa diam tanpa ikut campur dengan apa yang mereka lihat.

Bang Lugas memesankan kudapan malam untuk kedua bumil. "Saya pesan martabak telur satu porsi, telurnya pakai telur bebek empat. Carabikang satu porsi, coklat hangat satu, chamomile tea satu."

Tak ada reaksi marah dari Dena saat Bang Lugas juga mengingat makanan kesukaan Nadine.

"Hmm.. Mau roti canai sekalian nggak, sayang?" Tanya Bang Lugas pada Dena.

Dena mengangguk tipis. Nadine mencoba bersikap sewajarnya tapi raut wajah tidak nyaman nya sama sekali tidak bisa di sembunyikan

Bang Lugas pun kemudian memakaikan jaketnya pada Dena. Meskipun Nadine juga mengandung darah dagingnya namun ia tidak harus memperhatikan Nadine secara detail juga.

...

Perbincangan random pun terjadi hingga jam terus berputar cepat. Tiba-tiba Dena merasa perutnya kurang nyaman, mungkin karena angin malam. Ia beranjak dan berjalan menuju toilet. Tanpa banyak bertanya, Bang Lugas pun menyusulnya.

Dari kejauhan nampak perhatian Bang Lugas yang begitu besar dalam mengurus Denayu. Tidak ada kata jijik, ia terus mengurus dan menemani sang istri.

"Habiskan kalau masih belum lega." Kata Bang Lugas sambil memijat tengkuk Dena dengan lembut.

"Dena nggak kuat mualnya, Bang. Sakiiitt..!!!!" Rintih Dena menahan rasa mual sekuatnya.

Bang Lugas tidak bisa berbuat apapun, ia hanya bisa menemani Dena meskipun mungkin semua tidak akan bisa membantu sedikit pun.

"Kita pulang, istirahat di rumah..!!" Ajak Bang Lugas tidak tega melihat keadaan Dena.

Dena menggeleng. Ia merasa tidak enak hati dengan rekan Bang Lugas tapi badannya sungguh terasa lemas.

"Pulang saja, Gas. Kasihan bojo..!!" Ujar Bang Erlang yang paham keadaan bumil.

Belum saja Bang Lugas menjawab, Dena sudah lemas tak sanggup melangkah.

"Duuhhh.. Piye iki..!!" Bang Lugas kelabakan kemudian mengangkat tubuh Dena.

"Dena jalan saja, Bang." Kata Dena dengan suara lirih.

"Mau nge-gelinding masuk selokan??? Berdiri saja sudah nggak kuat." Omel Bang Lugas setengah panik.

.

.

.

.