Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan. 
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pagi itu sinar matahari menembus lembut tirai putih kamar hotel mereka. Udara Bali masih hangat dan wangi laut samar tercium dari balkon yang terbuka sedikit.
Husna membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung jatuh pada wajah Jovan yang masih tertidur di sampingnya dengan napasnya teratur, wajahnya tenang, dan lengannya masih melingkari pinggang Husna.
Sekilas senyum tipis muncul di bibir Husna, tapi kemudian rona merah merayap ke pipinya saat ingatannya kembali pada malam sebelumnya.
Ia menarik napas pelan, jantungnya berdebar campuran antara malu, bahagia, dan sedikit nyeri di tubuhnya yang masih terasa lelah.
Tangannya refleks menyentuh selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian menatap wajah Jovan yang begitu damai.
“Ya Tuhan…” gumamnya lirih, senyum malu-malu menghiasi wajahnya.
“Aku benar-benar melakukannya…”
Namun belum sempat ia bangkit, lengan Jovan menariknya kembali perlahan.
Tubuhnya tertarik masuk ke pelukan hangat suaminya.
“Hmm…” Jovan bergumam setengah sadar, suaranya berat tapi lembut.
“Kamu udah bangun, sayang?”
Husna tersipu dan mencoba menghindar, “Iya, tapi… badanku sakit semua, Van.”
Jovan membuka matanya sedikit, menatap istrinya dengan senyum penuh kasih.
Ia mengecup kening Husna dengan lembut, lalu berbisik,
“Maaf ya, aku lupa kalau kamu belum sepenuhnya pulih. Tidur lagi, ya? Aku jagain.”
Husna menatapnya lama, matanya bergetar menahan haru.
“Kamu nggak capek?”
Jovan tersenyum kecil, mengencangkan pelukannya sedikit.
“Kalau peluk kamu, aku nggak akan pernah capek.”
Husna menunduk, wajahnya memerah sepenuhnya.
Ia akhirnya menutup mata lagi, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekap Jovan yang hangat dan menenangkan.
Suara ombak dari kejauhan berpadu dengan detak jantung Jovan yang berirama lembut di dadanya.
Untuk pertama kalinya setelah semua luka dan air mata, Husna merasa benar-benar aman dan dicintai sepenuhnya.
Matahari Bali bersinar cerah pagi itu, langit biru tanpa awan membentang luas di atas kepala.
Burung-burung beterbangan di antara pepohonan tropis, sementara suara ombak terdengar samar dari kejauhan.
Jovan menggenggam tangan Husna saat mereka keluar dari hotel.
“Ayo, kita cari sarapan. Katanya di dekat sini ada warung yang enak banget,” ucapnya dengan senyum riang.
“Boleh. Tapi jangan lupa nanti kita ke GWK, ya. Aku pengin banget lihat patung Garuda Wisnu Kencana dari dekat.”
“Sudah masuk daftar rencana hari ini, Bu Jovan.”
Mereka berdua menikmati sarapan di sebuah kafe pinggir pantai dimana suasananya tenang, angin laut membelai rambut Husna, sementara Jovan tak henti memotret istrinya yang tertawa malu-malu setiap kali kamera diarahkan padanya.
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Setibanya di sana, Husna terpukau melihat megahnya patung raksasa yang berdiri gagah di tengah langit biru.
“Wah, aku baru sadar, ini lebih besar dari yang aku bayangkan,” ucap Husna takjub.
Jovan tersenyum dan mendekat, lalu menyalakan kamera ponselnya.
“Coba sini, sayang. Lihat ke kamera. Satu… dua… senyum.”
Husna tersenyum manis, dan Jovan memotretnya dengan latar belakang patung megah itu.
Mereka tertawa, saling menggoda, bahkan sempat berfoto berdua seperti pasangan yang sedang benar-benar menikmati bulan madu pertama mereka.
Namun, kebahagiaan itu mendadak terhenti ketika ponsel Husna yang ada di dalam tasnya tiba-tiba bergetar keras. Ia menoleh kaget, kemudian mengambilnya.
Di layar tertera nama “Nadia – Adik Arkan.”
Husna mengernyit, sedikit bingung. “Kenapa Nadia telepon pagi-pagi begini?” gumamnya pelan.
Jovan menatapnya penasaran. “Angkat aja, siapa tahu penting.”
Husna mengangguk dan menekan tombol hijau.
“Halo, Nadia?”
Suara di seberang terdengar tergesa, bercampur isak tangis.
“Kak… Kak Husna… ini aku, Nadia…”
Husna mulai merasa tidak enak. “Iya, Nadia. Kenapa? Suaramu kenapa gemetar begitu?”
Beberapa detik hening, lalu terdengar suara tangisan yang lebih keras.
“Kak Arkan kecelakaan, Kak…”
Darah Husna seolah berhenti mengalir. Matanya membesar, tangannya gemetar memegang ponsel.
“A-apaan, Nad? Kecelakaan? Di mana?!”
Jovan langsung menatapnya khawatir, melihat wajah istrinya yang tiba-tiba pucat.
Suara Nadia makin terdengar panik. “Di Jakarta, Kak… mobilnya terguling di jalan tol. Kak Arkan… kritis.”
Husna menutup mulutnya, air matanya langsung menetes tanpa bisa ditahan.
“Ya Tuhan…”
Jovan segera memeluk pundaknya. “Na, ada apa? Siapa yang kecelakaan?”
Husna menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar hebat.
“Van, Arkan kecelakaan…”
Udara hangat Bali seketika terasa dingin. Kebahagiaan pagi itu berubah menjadi kecemasan yang mencekam.
Langit sore Jakarta tampak kelabu ketika pesawat yang ditumpangi Jovan dan Husna mendarat.
Perjalanan dari Bali terasa begitu panjang dan hening tangan Husna tak pernah lepas dari genggaman Jovan, sementara wajahnya pucat dan matanya sembab karena tangis yang tak kunjung reda.
Begitu tiba di rumah sakit, Husna langsung berlari menuju ruang gawat darurat.
Di sana, Nadia sudah menunggunya dengan mata bengkak dan wajah panik.
Begitu melihat Husna, Nadia langsung memeluknya erat.
“Kak Husna…,” isaknya pecah di bahu kakak iparnya itu.
Husna ikut memeluk, suaranya bergetar,
“Bagaimana keadaannya, Nad? Bagaimana Arkan?”
Nadia mengusap air matanya sambil menahan isak.
“Dokter masih di dalam, Kak."
Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius.
“Siapa yang bernama Husna?” tanyanya sambil melihat daftar pasien.
Husna langsung berdiri dan mengangkat tangan pelan. “Saya, Dok…”
Dokter menatapnya dengan lembut tapi hati-hati. “Pasien, Tuan Arkan… sudah melewati masa kritis. Tapi…” ia menarik napas berat, “…ada sedikit komplikasi pada otaknya. Dia mengalami amnesia parsial. Ingatannya tidak sepenuhnya kembali, dan saat sadar tadi… dia menyebut nama Anda, Ibu Husna.”
Husna membeku di tempat. Jovan yang berdiri di sampingnya ikut menatap dokter itu dengan wajah tegang.
“Boleh saya lihat dia, Dok?” tanya Husna pelan.
Dokter mengangguk. “Silakan, tapi jangan buat dia terlalu terkejut. Kondisinya masih lemah.”
Dengan langkah pelan, Husna memasuki ruang rawat. Arkan terbaring di tempat tidur, wajahnya penuh perban, namun matanya terbuka, menatap kosong ke arah langit-langit.
Saat Husna mendekat, tatapannya berubah matanya berkaca-kaca, seolah menemukan sesuatu yang hilang.
“Husna…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan.
Husna menelan ludah, matanya langsung berkaca-kaca.
“Iya, ini aku, Arkan.”
Tiba-tiba Arkan mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, lalu menarik tubuh Husna ke dalam pelukannya.
“Aku merindukanmu, sayang…” bisiknya lemah namun tulus.
“Aku akan melamarmu setelah aku sembuh, aku janji…”
Husna terpaku, matanya membesar, sementara tubuhnya kaku dalam pelukan itu.
Jovan yang berdiri di ambang pintu menatap pemandangan itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan antara terkejut, bingung, dan sedikit perih.
Dokter yang berdiri di belakang berbisik pelan kepada Jovan,
“Dia mengalami disorientasi waktu dan kehilangan sebagian ingatan. Di pikirannya, sekarang dia masih berada di masa sebelum kecelakaan, mungkin di masa ketika dia masih bersama Bu Husna.”
Husna menatap Arkan yang masih memegang tangannya erat, air mata menetes tanpa henti.
Sementara Jovan hanya bisa berdiri diam, menatap istrinya dan berusaha menenangkan hatinya yang mulai diliputi rasa cemburu dan iba di saat yang sama.