Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi itu udara masih sejuk, matahari baru saja menembus jendela besar rumah Tristan. Aroma omelet dan roti panggang masih menggantung di udara. Tiwi, dengan wajah cerah khasnya, sedang meneguk jus jeruk sambil mengayun-ayunkan kaki di kursi bar dapur.
Tristan menatapnya diam-diam dari balik koran. Tangannya seakan kaku saat memegang cangkir kopi, seolah tubuhnya belum terbiasa dengan pemandangan semacam ini: seorang gadis ceria yang seakan menjadikan rumahnya penuh kehidupan.
“Kenapa bengong?” Tiwi mendadak mencondongkan tubuh, melongok dari sisi koran. “Ada berita pasien kecelakaan yang bikin kamu mikir keras, ya?”
Tristan terkejut sebentar, lalu cepat-cepat menurunkan koran. “Tidak. Aku hanya… heran, kenapa kau bisa ramai sekali sejak pagi.”
Tiwi terkekeh, menyikut lengannya dengan usil. “Hei, rumah kamu itu kayak kuburan, Dok. Sepi, dingin, isinya cuma buku, berkas, dan kamu. Jadi wajar kalau aku datang bikin rame, biar ada energi positif masuk.”
Tristan mendesah, tapi tidak membantah. Diam-diam, ia setuju. Sejak Tiwi datang, rumah itu tak lagi terasa seperti bangunan kosong.
----
Setelah sarapan, Tristan berangkat ke rumah sakit. Rutinitasnya kembali: ruang operasi, pasien kritis, pertemuan dengan tim medis. Namun, berbeda dengan biasanya, wajah Tiwi sesekali muncul di kepalanya.
Saat sedang mencatat perkembangan pasien, salah satu perawat menoleh heran.
“Dok, Anda tersenyum sendiri, ya?” tanya perawat itu
Tristan langsung tersentak, wajahnya kaku kembali. “Fokus saja pada laporan, jangan urusi aku.”
Namun setelah perawat itu pergi, Tristan menunduk, bibirnya sedikit terangkat tanpa sadar.
---
Pukul lima sore, Tristan pulang. Begitu membuka pintu, suara musik dangdut remix terdengar dari dapur. Tristan hampir refleks menutup pintu lagi, mengira salah rumah.
Namun begitu menoleh, ia melihat Tiwi menari-nari kecil sambil menggoreng ayam. Rambutnya diikat asal, apron bergambar kartun kucing menempel di tubuhnya.
Tristan berdiri kaku. “Astaga… ini rumah atau pasar malam?”
Tiwi menoleh, tersenyum lebar. “Selamat datang, Dokter Dingin! Aku lagi nyiapin ayam goreng bumbu rempah. Kamu pasti lapar habis operasi, kan?”
“Siapa yang suruh kamu masak?” Tristan berjalan mendekat, nada suaranya dingin.
Tiwi memutar bola matanya. “Helloo, aku kan ART limited edition kamu. Masak doang aja disuruh izin, ribet banget hidupmu, Dok.”
Tristan ingin protes, tapi aroma harum ayam goreng sudah lebih dulu membuat perutnya berkontraksi.
Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di meja makan. Tiwi dengan lahap mengunyah, sementara Tristan mencicipi hati-hati. Rasa gurih renyah itu membuatnya ingin menambah, tapi gengsinya menahan.
Tiwi melirik penuh curiga. “Aku tahu kamu mau nambah. Cepet ambil aja, nggak usah sok-sok diet.”
Tristan mendengus, akhirnya menyerah mengambil sepotong lagi. “Kau menyebalkan.”
“Tapi enak, kan masakanku?” Tiwi menyeringai.
Tristan diam sejenak, lalu berkata pelan, “Enak.”
Mata Tiwi langsung berbinar. “Yes! Dua kali berturut-turut Dokter Dingin ngakuin masakanku enak. Aku harus catat ini di diary.”
Tristan menggelengkan kepala, tapi tidak bisa menahan senyum samar.
----
Setelah makan, Tiwi membantu membereskan meja. Tapi kali ini, Tristan duduk menatapnya, tidak buru-buru kembali ke ruang kerja.
“Tiwi,” panggilnya.
“Hm?” Tiwi menoleh, tangannya masih sibuk mengelap piring.
Tristan terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Kenapa kau… memilih jadi ART? Dengan latar belakang keluargamu, kau tidak perlu melakukan ini.”
Tiwi berhenti bergerak. Ekspresinya berubah sedikit lebih serius. “Aku cuma… pengen coba hidup dengan cara lain. Aku anak tunggal, dari kecil apa pun yang aku mau selalu ada. Tapi hidupku kosong. Bosan. Aku pengen tahu rasanya kerja beneran, capek beneran. Aku pengen belajar dari bawah, bukan cuma duduk di kursi bos restoran.”
Tristan menatapnya lama, kagum bercampur heran. “Kau berbeda dari kebanyakan orang.”
Tiwi terkekeh, kembali ceria. “Ya iyalah, aku kan limited edition!”
Namun, Tristan menangkap kesungguhan di balik kata-katanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ingin mengenal gadis itu lebih dalam.
----
Sementara itu, di sebuah kafe mewah, Arina duduk bersama seorang pria berjas hitam.
“Video kemarin sudah cukup bikin heboh,” kata pria itu sambil menyodorkan ponsel. “Beberapa akun gosip mulai mengunggah potongan videonya.”
Arina tersenyum sinis. “Bagus. Biarkan dunia tahu siapa Tiwi itu. Perempuan kampung sok jagoan, tidak pantas dekat dengan Tristan.”
“Tapi hati-hati,” si pria memperingatkan. “Kalau terlalu jauh, bisa berbalik ke Anda.”
Arina mengetuk meja dengan kuku runcingnya. “Aku tahu apa yang kulakukan. Tristan itu milikku. Dan gadis itu akan menyesal karena berani masuk ke kehidupannya.”
----
Pagi berikutnya, Tiwi datang lebih awal lagi. Tapi kali ini, ia tidak hanya membawa bahan makanan.
“Dok, aku bawain bekal buat makan siangmu di rumah sakit,” katanya sambil menunjukkan kotak makan berwarna biru.
Tristan mengerutkan dahi. “Untuk apa repot-repot?”
“Karena aku tahu kamu pasti sibuk, nggak sempat makan beneran. Jadi aku bawain bekal. Ada nasi uduk, ayam bakar, sama sambel favorit aku.”
Tristan menatap kotak itu lama, lalu berkata pelan, “Terima kasih.”
Tiwi menepuk dadanya bangga. “Nah, itu baru Dokter Dingin yang aku kenal sekarang. Bisa bilang makasih tanpa aku paksa.”
Hari itu, saat jam makan siang, Tristan benar-benar membuka bekal itu di ruangannya. Perawat-perawat yang lewat sampai berbisik-bisik.
“Dokter Tristan bawa bekal? Siapa yang masakin?”
“Apa mungkin… pacarnya?”
"Loh kalian baru tau, sudah sedak beberapa bulan lalu dokter Tristan di kirim kpmskan siang atau bawa bekal dari rumah "
Tristan hanya diam, tapi di dalam hati, ia merasa aneh. Ada kehangatan baru yang menyelusup dalam hidupnya.
---
Sore hari, setelah selesai tugas, Tristan pulang lebih cepat. Namun begitu ia mendekati rumah, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya dingin.
Pagar rumahnya penuh coretan cat semprot, “Perempuan murahan!” “Bukan kelasnya!” “Pergi dari Tristan!”
Tiwi berdiri di halaman, wajahnya kaget sekaligus marah. Tangannya masih memegang ember air, jelas baru saja mencoba membersihkan.
“Tiwi!” Tristan segera keluar dari mobil, menghampirinya. “Apa yang terjadi?”
Tiwi menoleh, ekspresinya campuran kesal dan sedih. “Aku nggak tahu. Tadi pas aku datang, udah ada coretan ini. Kayaknya ada orang yang sengaja mau bikin aku jatuh.”
Tristan mengepalkan tangan. Ia tahu siapa dalangnya. “Arina…” desisnya pelan.
Tiwi menarik napas panjang, lalu tersenyum hambar. “Nggak apa-apa, Dok. Aku udah terbiasa jadi bahan iri orang. Lagi pula, cat bisa dibersihin.”
Namun Tristan melihat jelas bagaimana sorot mata gadis itu sedikit meredup.
Tanpa banyak bicara, ia mengambil ember dari tangan Tiwi. “Biar aku yang bersihkan.”
Tiwi terbelalak. “Hah? Kamu? Dokter dingin nan sibuk mau ngepel tembok?”
Tristan menoleh dengan tatapan tegas. “Rumah ini rumahku. Kalau seseorang berani mengotori dan menyerang orang yang ada di dalamnya, aku yang harus bertanggung jawab.”
Tiwi terdiam, hatinya berdebar aneh. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain Tristan seorang pria yang bukan hanya dingin, tapi juga melindungi.
Setelah semuanya selesai dibersihkan, keduanya duduk di teras. Lampu taman menyala lembut.
Tiwi bersandar di kursi, rambutnya sedikit basah karena keringat. “Gila juga ya, aku nggak nyangka orang bisa segitunya sama aku.”
Tristan menatapnya serius. “Tiwi, kalau kau merasa tidak aman, kau bisa berhenti bekerja di sini.”
Tiwi menoleh cepat, matanya menyipit. “Hei, jangan pikir aku gampang mundur. Aku bukan tipe yang kabur cuma gara-gara ancaman kayak gitu.”
Tristan menahan napas, lalu mengangguk kecil. “Aku tahu kau kuat. Tapi tetap saja, aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu.”
Keheningan singkat tercipta. Hanya suara jangkrik malam yang terdengar.
Tiwi tiba-tiba tersenyum nakal. “Wah, Dokter Dingin mulai perhatian nih. Jangan-jangan beneran jatuh cinta sama aku?”
Tristan menoleh tajam, wajahnya sedikit memerah. “Jangan bicara sembarangan.”
Tiwi terkekeh, tapi di balik tawanya, hatinya hangat. Ia tahu pria dingin itu mulai membuka pintu hatinya sedikit demi sedikit.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Tristan merasa ia tidak sendirian lagi.
Namun, tanpa mereka sadari, Arina masih mengawasi dari bayang-bayang, menyusun rencana baru.
Badai sesungguhnya baru akan datang.
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥