Nadia Prameswari menjalani kehidupan yang sempurna dengan suaminya di mata publik. Namun sebenarnya, pernikahan itu hanya untuk kepentingan bisnis dan politik.
Nadia seorang wanita aseksual, membuat Arya selingkuh dengan adik tirinya.
Hal itu membuat Nadia bertekad memasang chip di otaknya untuk mengaktifkan hasrat yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
Namun, apa yang terjadi setelah rasa itu aktif? Apa dia akan menjerat Arya atau justru terjerat pria lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Emosi Arya sudah berada di ambang batas saat Niko dengan berani membela Nadia.
"Itu karena Nadia sama sekali tidak pernah ingin aku sentuh!" balas Arya tajam. Dia mendorong dada Niko dengan sekuat tenaga. Dorongan itu cukup kuat untuk membuat Niko mundur satu langkah, tetapi mata Niko tetap menyala, tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut.
"Apa kamu sudah mengincar Nadia sejak lama?"
Niko melangkah kembali mendekat dan menatap lurus ke mata Arya seolah menantangnya. "Iya, aku sudah mengincarnya sejak lama. Karena aku tahu kamu tidak benar-benar mencintai Nadia. Kamu hanya mencintai uang dan kekuasaannya. Jadi, kenapa kamu sekarang marah aku bersama Nadia? Segera ceraikan Nadia. Jika tidak, aku sendiri yang akan membongkar semua kebusukan kamu."
Mendengar ultimatum itu, kontrol diri Arya putus total. Rasa malu, pengkhianatan, dan ancaman kehancuran karir politiknya menjadi kombinasi yang mematikan. Tanpa berpikir panjang, dengan kepalan tangan penuh amarah, dia melayangkan pukulan keras ke pipi kiri Niko.
Bunyi pukulan itu terdengar memecah keheningan. Kepala Niko terhuyung ke samping, dan tubuhnya kembali mundur selangkah karena hantaman yang tak terduga.
Nadia tersentak dan bergerak maju dengan cemas. "Arya, apa yang kamu lakukan!"
Namun, Niko segera menoleh kembali. Dia menyentuh pipinya yang kini terasa panas, namun tidak ada rasa sakit yang terlihat di matanya. Sebaliknya, yang muncul adalah seringai dingin dan meremehkan.
"Itu saja kekuatanmu, Arya?" tantang Niko. "Kamu sudah berusaha membongkar identitasku dan menggunakan segala cara kotor, tapi tetap saja, pada akhirnya, aku yang menang. Sekarang, aku tidak perlu lagi menyembunyikan siapa diriku. Aku bisa menggunakan kekuasaanku secara terang-terangan."
Niko melangkah satu kali lagi, berdiri sangat dekat dengan Arya. "Masih mau bermain denganku? Coba saja. Ingat baik-baik, tanpa status kamu seorang politisi, kamu bukan siapa-siapa. Kamu tidak punya apa-apa."
Arya masih mengepalkan tangannya, napasnya memburu cepat. Dia ingin sekali menghajar Niko hingga pria itu tersungkur, namun otak liciknya berteriak memperingatkan akan konsekuensinya. Dia tahu ancaman Niko bukan gertakan kosong.
Suasana tegang itu akhirnya diputus oleh suara Nadia yang lantang.
Nadia berjalan ke depan, berdiri di antara kedua pria itu. Matanya menatap Arya dengan dingin.
"Arya, kamu keluar dari rumahku sekarang juga! Aku akan mengurus surat-surat perceraian. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi."
"Nadia, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja! Kamu akan menyesali ini!" ancam Arya.
Nadia hanya menatapnya tanpa ekspresi, mengisyaratkan bahwa ancaman itu tidak berarti apa-apa lagi baginya.
Arya akhirnya berbalik. Dengan langkah kasar, dia meninggalkan ruang tamu itu, membanting pintu depan hingga bergetar, meninggalkan Nadia dan Niko.
Nadia akhirnya menghela napas panjang, dan tanpa ragu, dia membalikkan badan, menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan hangat Niko. "Rasanya aku sangat lega setelah Arya mengetahui semuanya."
Niko mengusap rambut Nadia dengan lembut. "Iya, tapi kita tidak boleh lengah. Aku yakin Arya merencanakan sesuatu."
***
"Papa, Kak Nadia sama sekali tidak memberiku proyek pengembangan yang penting. Lalu, apa yang harus dikerjakan sekarang?" Rissa duduk di sebelah papanya dan menyilangkan tangan di dada, menunjukkan kejengkelan.
Pak Anas, yang sedang membaca dokumen di mejanya, menurunkan kacamatanya dan menatap Rissa. "Nadia tidak memberimu proyek? Lalu dia memproduksi produk di mana? Tidak bisa begitu, Rissa. Perusahaan kita adalah satu kesatuan, proyek penelitian di pusat harusnya terintegrasi dengan divisi produksi yang kamu tangani."
"Justru itu, Pa! Aku tidak punya andil di perusahaan penelitian pusat. Makanya, berikan saham yang berada di perusahaan pusat padaku, biar aku punya kekuatan dan andil di perusahaan itu, setidaknya 10 atau 15 persen!"
Pak Anas menggelengkan kepala perlahan. Wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak terbantahkan. "Tidak bisa, Rissa. Papa tidak bisa memberikan saham inti itu buat kamu. Nadia punya hak lebih besar di sana."
"Papa, kalau Kak Nadia memiliki semuanya, proyek, saham mayoritas, dan kendali penuh, aku pasti akan dilempar keluar dari perusahaan. Kak Nadia sama sekali tidak memberiku kesempatan."
Pak Anas menghela napas panjang, menyingkirkan dokumen pekerjaannya. "Rissa, kamu harus berusaha keras! Perusahaan penelitian pusat itu memang dikembangkan oleh Nadia. Sejak dia masih kuliah, dia sudah langsung terjun dan mengabdikan hidupnya di perusahaan itu. Dia membangunnya dari nol, bukan warisan Papa. Papa tidak mungkin begitu saja mengambil haknya dan memberikannya padamu."
"Papa, Kak Nadia tidak mungkin punya anak. Dia tidak punya keturunan untuk mewarisi perusahaan penelitian itu. Jadi, tidak usah repot-repot memberinya warisan. Biarkan aku yang meneruskannya!"
Kata-kata itu membuat Pak Anas terkejut dan marah. Dia menggebrak meja dengan telapak tangannya. "Rissa, jangan bilang seperti itu! Kamu dan Nadia sama-sama anak Papa! Kalian berdua adalah darah daging Papa!" Suara Pak Anas terdengar keras. "Kamu masih harus banyak belajar tentang perjuangan. Papa tidak mungkin melepaskanmu begitu saja, kamu adalah anak Papa. Tapi jika kamu sanggup, kamu harus bisa mengejar Nadia. Cari proyek sendiri, dan bangun perusahaan produksi itu secara mandiri. Tunjukkan kalau kamu layak. Tidak ada yang instan di dunia ini!"
Wajah Rissa membeku. Dia menatap papanya sejenak, menyadari bahwa dia telah kalah dalam perdebatan ini. Rasa kesal yang membuncah membuatnya tidak mampu berkata-kata lagi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan pintu terbuka di belakangnya.
Begitu Rissa pergi, Pak Anas menyentuh dadanya. Dia memejamkan mata, merasakan detak jantungnya yang berpacu kencang dan nyeri di bagian dada.
Tak lama kemudian, Bu Ratna masuk dengan langkah tenang. Dia membawa segelas air hangat dan obat yang disiapkan di nampan kecil.
"Papa, jangan terlalu keras dengan Rissa. Dia dan Nadia berbeda. Jika kita mampu memberikan, mengapa menyuruhnya berjuang sendiri sampai sakit hati seperti itu."
Pak Anas mengambil gelas dan obat dari tangan istrinya. "Nadia, tidak pernah menuntut dan meminta saham seperti Rissa. Dia fokus bekerja. Aku harus adil, Ratna. Aku tidak ingin kalian berdua merusak apa yang sudah Nadia bangun." Pak Anas meneguk obat itu.
Bu Ratna hanya tersenyum kecil setelah Pak Anas menelan obat itu.
"Sebentar lagi, kamu juga sudah tidak bisa apa-apa lagi."