Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Beberapa bulan setelah pemakaman, Karan kembali ke Indonesia. Namun sosoknya tak lagi sama seperti sebelumnya.
Wajahnya tetap tampan, tubuhnya tetap tegap, tapi matanya kini dingin. Kehilangan Helena meninggalkan ruang kosong yang tak pernah bisa diisi.
Di kantornya, ia melangkah masuk tanpa sapaan. Lantai kaca berkilau memantulkan bayangannya yang tegap namun menakutkan.
Setiap langkahnya terdengar berat, namun tegas, seperti setiap tapak kaki menandai dominasi dan kekuasaan mutlak.
Para karyawan menatapnya dengan waswas. Mereka sudah mengenal Karan yang keras dan arogan, tapi sekarang aura itu bercampur dengan kesunyian mengerikan.
Tak ada senyum. Tak ada canda. Bahkan sekadar ucapan “selamat pagi” pun tak terdengar.
Ia berjalan dari ruang ke ruang, memeriksa laporan dan memerintahkan staf dengan suara datar dan tajam.
“Hari ini, pastikan semuanya selesai sebelum sore. Tidak ada toleransi untuk kesalahan.”
Seorang manajer mencoba mengangguk, menahan ketakutan.
“Ya, Pak Karan.”
Namun Karan hanya menatapnya tanpa berkedip. Pandangannya menusuk, seolah bisa menembus semua lapisan ketakutan dan keraguan.
Suara ketukan keyboard pun terdengar terlalu keras di ruangan yang sunyi itu.
Di ruangannya, Karan duduk di balik meja besar. Tangannya menggenggam pena dengan erat, tapi tidak menulis apa pun.
Di kepala dan hatinya hanya ada kenangan Helena. Setiap senyum, tawa, sarapan di Paris, bahkan pertengkaran kecil mereka—semuanya membekas seperti luka yang tak pernah sembuh.
Beberapa staf mencoba berbicara ringan, tapi segera terhenti saat melihat sorot matanya yang dingin seperti kaca es.
Tidak ada yang berani menatap lama, tidak ada yang berani menantang.
Kantor itu kini terasa seperti benteng dingin, teratur, dan ditakuti.
Dion dan Sinta, yang masih dekat dengan Karan, hanya bisa diam dari kejauhan.
Mereka tahu, pria yang dulu hangat dan bersemangat kini sudah berubah menjadi bayangan dirinya sendiri — kuat, tajam, tapi kosong.
Hanya pekerjaan yang menjadi teman satu-satunya.
Di malam hari, ketika lampu kantor dipadamkan, Karan duduk sendiri di ruangannya.
Ia menatap foto Helena di meja, masih tersenyum dengan manis.
“Hel, aku kembali seperti dulu. Tapi percayalah kalau aku akan tetap bertahan. Aku akan tetap berjalan… meski dunia terasa hampa tanpamu.”
Dan di luar jendela, kota Jakarta tetap berdenyut.
Tapi bagi Karan, hidupnya kini hanya berputar di antara kesendirian, kesedihan, dan kekuasaan yang menakutkan bagi siapa pun yang berani mendekat.
Malam itu, Jakarta tak pernah tampak sepi.
Lampu kota berkelip, musik klub terdengar sampai ke jalanan, memanggil mereka yang ingin melupakan sesuatu atau diri mereka sendiri.
Karan, tubuhnya masih tegang dari bulan-bulan kesendirian, melangkah ke diskotik besar di kawasan elit.
Pakaian rapi, jas hitam dengan dasinya yang longgar dan sorot matanya kosong, seperti orang yang berjalan tanpa tujuan.
Di dalam, musik berdentum, lampu strobo berputar liar, dan aroma alkohol memenuhi udara.
Ia meneguk minuman demi minuman, suaranya dan gerak tubuhnya mulai kehilangan kendali.
“Tuan, anda mabuk berat.”
Suara itu terdengar di telinga Karan, tapi ia hanya menggeleng, menatap kosong ke gelas yang sudah hampir kosong.
Di tengah keramaian, matanya menangkap sosok seorang wanita yang wajahnya mirip Helena.
Hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat jantung Karan berdentum kencang.
Ia menatap, langkahnya goyah, tangannya menggenggam gelas sampai memucat.
“Imelda, kamu mengenalnya?” tanya seorang pengawal di dekatnya, mencoba menahan Karan yang hampir tersandung.
Imelda menggeleng, wajahnya tegang.
“Tidak, Tuan Aku hanya membawanya tadi, dan...”
Karan menatap wanita itu lebih lama, seolah dunia runtuh di sekelilingnya.
Mata wanita itu sangat mirip Helena yang menatap balik dengan lembut, takut, tapi penuh empati.
Kepalanya terasa berat. Minuman, kesedihan, dan kenangan Helena bercampur menjadi satu.
Dunia berputar dan Lampu Strobo nya seperti menembus otaknya.
Kepalanya limbung dan tiba-tiba, ia pingsan.
Wanita itu, tanpa ragu, memeluk tubuhnya dengan hati-hati.
“Tolong, bantu aku membawanya ke mobil,” bisiknya pada pengawal yang setia.
Tubuh Karan dibopong perlahan ke luar diskotik, menembus malam Jakarta yang basah oleh hujan tipis.
Wanita itu membuka pintu mobil, menaruhnya di kursi belakang, dan menatapnya dengan wajah cemas.
“Jangan khawatir, aku akan membawamu pulang. Aman.”
Ia menyalakan mesin, dan mobil meluncur meninggalkan lampu-lampu kota.
Di dalam, Karan terbaring tak sadarkan diri, tubuhnya lemah, sementara wanita yang mirip Helena memandangnya, bergulat dengan perasaan sendiri antara takut dan ingin menjaga.
Di luar jendela, Jakarta malam itu terus berdenyut, tapi bagi Karan, dunia kini hanyalah kegelapan yang bisa ia rasakan dari dalam mobil.
Dan bagi wanita itu, tugasnya sederhana namun berat yaitu membawa Karan kembali ke rumahnya dengan selamat, sambil menjaga bayangan seorang Helena yang entah mengapa tetap menghantui malam ini.
Sesampainya di rumah, Imelda segera memapah tubuh Karan ke dalam.
Langkahnya ringan namun tegas, menyesuaikan dengan tubuh pria yang lemah dan tak sadarkan diri itu.
“Maaf, Tuan.Aku harus mengganti pakaian Anda,” ucap Imelda pelan, menahan kekhawatiran yang jelas terlihat di wajahnya.
Ia mengambil kaos bersih dari lemari dan mulai melepas pakaian Karan yang basah oleh keringat dan alkohol.
Dengan gerakan hati-hati, ia mengelap wajah dan leher Karan, memastikan setiap tetes keringat dibersihkan.
Sentuhannya lembut, penuh perhatian, namun tetap menjaga jarak agar tidak membuat Karan terkejut saat sadar.
Setelah pakaian diganti dan Karan berbaring di ranjang, Imelda menata bantal dan selimut di sekitarnya.
“Istirahatlah, Tuan. Semuanya akan baik-baik saja,” bisiknya, menatap pria itu yang akhirnya tenang di bawah selimut hangat.
Imelda keluar dari kamar, menutup pintu perlahan, dan duduk di ruang tamu.
Dari sana, ia memantau keadaan Karan, tetap siaga meskipun ia berusaha menenangkan diri sendiri.
Malam pun sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dan suara perlahan dari AC.
Di kamar, Karan tidur pulas, tubuhnya lemah tapi perlahan mulai pulih.
Dan di ruang tamu, Imelda menunduk, menyadari bahwa malam ini ia bukan hanya menjaga seorang pria, tapi juga seolah menjaga bayangan seseorang yang sangat berarti bagi Karan.
Disaat akan memejamkan matanya, Imelda mendengar suara Karan yang mengigau memanggil nama Helena.
Imelda kembali masuk kedalam kamar dan melihat Karan yang sedang menangis dengan matanya yang masih terpejam.
"Tuan, jangan menangis." ucap Imelda yang entah kenapa tiba-tiba merasakan jantungnya berdetak kencang saat melihat Karan menangis dan memanggil Helena.
Karan menggenggam tangan Imelda dan kembali mengigau.
"Sayang, jangan tinggalkan aku lagi. Aku masih mencintai kamu." ucap Karan.
Helena tidak menyadari jika air matanya menetes saat mendengar perkataan dari Karan.
Ia pun memutuskan untuk tidur di bawah samping tempat tidur.