NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:762
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24 LUKA DI BALIK SENYUM

Tangis pelan terdengar di kamar tamu rumah aman. Amara berdiri di depan pintu, menahan napas sebelum masuk. Ibunya duduk di tepi ranjang, masih mengenakan daster sederhana, matanya bengkak. Di pangkuannya ada foto lama Amara kecil yang selalu ia simpan di dompet.

“Ibu…” suara Amara pecah. Ia berlutut di samping ranjang, memeluk tangan ibunya yang dingin.

“Mar…” Ibunya membelai rambutnya pelan. “Apa benar ini semua karena kamu? Karena pernikahanmu? Sampai ada yang mengancam hidup kita begini?”

Amara tidak bisa menahan air matanya. “Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah ingin menyeretmu. Semua ini permainan mereka. Aku hanya berusaha bertahan.”

Ibunya menghela napas berat. “Kamu tahu, sejak kecil aku selalu bilang kamu keras kepala. Ternyata keras kepala itu yang membuatmu bisa berdiri sampai sekarang. Tapi melihat foto wajahku dicoret begitu… itu lebih sakit daripada kalau mereka menyakitiku langsung.”

Amara menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku janji, Bu. Mereka tidak akan pernah menyentuhmu lagi. Aku akan melindungimu dengan caraku sendiri.”

Sementara itu, di rumah besar Atmadja, Meylani duduk di ruang kerjanya. Di meja ada segelas anggur merah, berkilat di bawah lampu kristal. Senyumnya tipis, matanya tajam.

“Dia masih bertahan,” gumamnya. “Bahkan ketika kita tarik ibunya ke permainan ini, dia tetap tidak jatuh.”

Seorang pria berpakaian hitam berdiri di sudut ruangan. “Perintah berikutnya?”

Meylani memutar gelasnya perlahan. “Jangan sentuh dia langsung. Itu akan membuatku terlihat terlalu kotor. Sebarkan gosip baru—bahwa ibunya sakit parah karena stres. Biar orang-orang percaya Amara membawa sial bagi keluarganya sendiri.”

Pria itu mengangguk lalu pergi. Meylani menyesap anggurnya, senyumnya melebar. “Mari kita lihat, Amara. Seberapa lama kau bisa menahan serangan ini?”

Keesokan siangnya, di kampus, Amara menerima pesan berantai di ponselnya. Berita anonim menyebutkan bahwa ibunya jatuh sakit parah, dan itu akibat tekanan yang diberikan oleh gosip seputar dirinya.

Mahasiswa kembali berbisik-bisik.

“Kasihan ibunya. Kalau benar sakit karena anaknya, itu tragis.”

“Amara bawa masalah ke mana-mana.”

“Kalau gosip ini benar, dia harusnya mundur dari yayasan dan kampus.”

Amara meremas ponsel di tangannya, matanya panas. Mereka bahkan tega memanfaatkan kesehatan Ibu untuk menjatuhkanku.

Indra datang menghampiri, menepuk bahunya. “Jangan dengarkan. Aku lihat langsung di rumah aman, ibumu sehat. Mereka hanya memelintir cerita.”

Amara menoleh, terkejut. “Kamu… ke sana?”

Indra mengangguk. “Aku ikut Arman mengantar logistik. Ibumu sehat, hanya lelah. Jadi jangan biarkan gosip ini menjatuhkanmu.”

Ada kehangatan mengalir di dada Amara. Ia menatap Indra penuh rasa syukur. “Terima kasih sudah jadi saksi.”

Sore harinya, Bagas memanggil Amara ke ruang kerjanya. Ia menaruh tumpukan koran dan cetakan artikel daring di meja.

“Lihat ini,” katanya singkat. “Gosip sakitnya ibumu sudah tersebar luas. Tapi kita punya bukti rekam medis bahwa beliau sehat. Kita akan rilis klarifikasi besok. Aku ingin kamu yang membacakan di depan media.”

Amara tertegun. “Aku?”

“Ya,” jawab Bagas tegas. “Kalau aku yang bicara, publik hanya melihat ini sebagai permainan politik keluarga Atmadja. Tapi kalau kamu yang bicara, mereka akan melihat keberanian. Kau harus tunjukkan kalau kamu tidak sembunyi.”

Amara menunduk, hatinya bergetar hebat. Tugas itu berat, tapi ia sadar ini kesempatan untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan korban.

“Aku akan lakukan,” katanya akhirnya.

Bagas menatapnya lama, lalu mengangguk. “Bagus. Besok, semua mata akan melihatmu. Jangan biarkan mereka melihat kelemahan.”

Malam itu, Amara kembali ke rumah aman. Ia duduk di samping ibunya, yang sudah lebih tenang. Lampu redup membuat ruangan terasa hangat.

“Ibu, besok aku harus bicara ke media,” katanya pelan. “Mereka sudah menuduh Ibu sakit karena aku. Aku ingin orang tahu kebenarannya.”

Ibunya menggenggam tangannya. “Kalau itu membuatmu lebih kuat, lakukan. Tapi jangan lakukan hanya untuk melawan mereka. Lakukan karena kamu ingin melindungi dirimu sendiri.”

Air mata Amara mengalir lagi, tapi kali ini bukan karena takut. Itu air mata seorang anak yang menemukan kembali sumber kekuatannya.

Larut malam, ia membuka buku catatannya. Pena bergerak cepat, seakan pikirannya tumpah dalam tulisan.

“Hari ini, mereka mencoba merenggut ketenanganku dengan menyeret Ibu ke dalam gosip. Tapi aku tidak akan mundur. Besok aku akan berdiri di depan media, bukan sebagai korban, tapi sebagai perempuan yang tahu kebenarannya. Aku akan buktikan bahwa setiap luka bisa menjadi kekuatan.”

Amara menutup buku itu, lalu menatap jendela. Bulan pucat menggantung di langit, seolah menjadi saksi tekadnya. Kali ini, ia benar-benar siap menghadapi dunia.

Pagi menjelang, udara dingin menusuk tulang. Amara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Lingkaran hitam di bawah mata jelas terlihat, tapi sorot matanya sudah berbeda. Ada tekad, ada keberanian yang baru tumbuh.

Arman masuk, membawa setelan sederhana. “Nyonya, ini baju untuk konferensi pers siang nanti. Tim media sudah menunggu instruksi Bagas.”

Amara menoleh, menelan ludah. “Apakah semua wartawan sudah tahu?”

“Ya. Gosip sakitnya Ibu sudah menyebar. Mereka menuntut klarifikasi. Dan Tuan Bagas ingin Anda yang bicara.”

Amara menghela napas, menutup matanya sejenak. “Baik. Aku akan lakukan.”

Siang itu, aula yayasan dipenuhi wartawan. Kamera, lampu sorot, dan kilatan blitz membuat suasana terasa seperti ruang interogasi. Amara duduk di kursi depan, sementara Bagas berdiri di sampingnya, wajahnya dingin.

Salah satu wartawan langsung bertanya lantang, “Benarkah ibumu sakit parah akibat tekanan gosip? Bagaimana Anda menjelaskan foto coretan merah yang tersebar di forum?”

Amara menarik napas panjang, lalu berdiri. Tangannya gemetar, tapi suaranya tegas.

“Ibu saya sehat. Beliau hanya lelah akibat dipindahkan ke tempat aman. Gosip bahwa beliau sakit parah adalah kebohongan yang kejam. Foto coretan merah itu adalah ancaman yang dikirim ke rumah kami, bukan bukti kebenaran. Dan saya berdiri di sini untuk mengatakan: saya tidak akan membiarkan orang-orang yang bersembunyi di balik bayangan merusak nama keluarga saya.”

Ruangan mendadak hening. Blitz kamera berhenti sesaat.

Amara melanjutkan, “Saya tahu, banyak yang ingin melihat saya jatuh. Tapi saya memilih untuk berdiri. Yayasan ini bukan milik saya seorang. Ada ratusan anak yang belajar di sini, dan mereka berhak mendapat ruang aman. Jadi, seranglah saya, tapi jangan seret mereka atau ibu saya ke dalam permainan ini.”

Beberapa wartawan mulai menunduk, bahkan ada yang menepuk pelan mejanya, tanda menghormati keberanian Amara.

Bagas menoleh singkat, sorot matanya berbeda. Untuk pertama kalinya, ia tampak bangga.

Malam harinya, Amara kembali ke rumah aman. Ibunya menunggu dengan wajah cemas. “Mar, aku lihat beritanya. Kau bicara di depan semua orang…”

Amara berlutut di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya. “Aku harus lakukan itu, Bu. Mereka menyerangmu dengan gosip. Kalau aku diam, mereka akan menang. Aku tidak mau lagi menjadi korban.”

Air mata ibunya jatuh, tapi senyum hangat muncul. “Kamu sudah lebih kuat dari yang kukira. Aku bangga.”

Larut malam, Amara membuka buku catatannya sekali lagi. Pena bergetar, tapi tulisannya tegas.

“Hari ini aku berdiri di depan media. Aku gemetar, tapi aku bicara. Aku tahu ini baru awal, musuh belum berhenti. Tapi aku juga tahu: aku tidak sendirian. Ada Bagas, ada Ibu, ada segelintir orang yang percaya. Dan itu cukup untuk membuatku terus melangkah.”

Ia menutup buku itu dengan senyum samar. Di luar, bulan masih pucat, tapi malam tidak lagi terasa terlalu gelap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!