Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Malam itu, rumah besar itu terasa begitu lengang. Hanya suara detik jam dari ruang tamu yang terdengar, berpadu dengan hembusan angin malam yang menyusup lewat sela-sela jendela.
Alya duduk di meja makan seorang diri. Di hadapannya, deretan hidangan tertata rapi di atas meja panjang, sup hangat yang masih beruap, tumis sayur beraroma bawang putih, dan ayam panggang kecokelatan yang menggiurkan. Tapi tatapannya kosong. Sedikit pun ia tak berniat menyentuhnya.
Biasanya, meski tidak terlalu dekat, ia dan Reihan masih akan makan malam bersama. Pria itu sering mengusiknya dengan komentar iseng yang membuatnya menghela napas panjang. Tapi malam ini… kursi di ujung meja itu tetap kosong. Dan anehnya, meski ia sering menganggap Reihan menyebalkan, rasa sepi justru terasa lebih berat.
Perlahan, Alya bangkit dari kursinya. Baru saja hendak melangkah menuju tangga, suara pelayan menghentikannya.
“Nyonya, Anda tidak makan?” tanya pelayan itu hati-hati, melirik ke arah piring yang masih utuh.
Alya menoleh sebentar. “Tidak. Saya tidak lapar.”
Pelayan itu ragu sejenak. “Apa perlu saya ganti menunya?”
Alya menggeleng pelan. “Tidak usah. Dan jangan panggil saya. nyonya. Panggil saja Alya.”
Wajah pelayan itu terlihat khawatir.
“Tapi… jika saya memanggil Anda begitu, Tuan Reihan bisa marah.”
Sebuah senyum tipis, terlintas di wajah Alya. “Tidak apa-apa. Jangan pedulikan dia.”
Pelayan itu menunduk, lalu mundur beberapa langkah.
Alya kembali berjalan, menaiki tangga menuju kamarnya. Begitu masuk, ia duduk di tepi ranjang, menatap jam dinding, jarumnya sudah melewati pukul sembilan malam. Tapi Reihan belum juga pulang.
Tangannya meraih ponsel di nakas. Ia menatap layar itu lama, jemarinya sempat bergerak hendak menekan ikon panggilan. Ada rasa ingin tahu, di mana pria itu? Sedang bersama siapa? Namun, ia mengurungkan niat.
Ia meletakkan kembali ponsel itu, lalu memilih untuk membaringkan diri di ranjang.
...
Pintu utama rumah terbuka perlahan, disertai derit engsel yang terdengar nyaring di tengah kesunyian malam. Udara dingin langsung menyapa wajah Reihan begitu ia melangkah masuk.
Lampu ruang tamu sudah dimatikan, hanya cahaya redup dari lampu lorong yang menuntunnya melewati sofa dan meja yang tertata rapi. Rumah itu terasa terlalu sunyi, nyaris seperti tak berpenghuni.
Ia melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi, lalu mengendurkan dasi yang sejak sore terasa mencekik. Napasnya panjang dan berat, seolah setiap tarikan mengandung beban yang sulit diurai.
Matanya sempat tertuju pada meja makan. Beberapa piring masih tertata, sebagian makanan sudah mengering. Ia menghela napas tipis, membayangkan Alya duduk sendirian di sana tadi.
Langkahnya kemudian mengarah ke lorong menuju kamar. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi percakapan sore tadi dengan ibunya. ucapan yang terasa seperti tali yang semakin kencang menjerat.
Begitu sampai di depan pintu kamar, ia berhenti sejenak, memegang gagang pintu tanpa segera membukanya. Ada jeda panjang, seakan ia sedang mengumpulkan keberanian, bukan untuk menghadapi kemarahan, tapi untuk menghadapi tatapan mata yang mungkin menyimpan tanya.
Barulah setelah beberapa detik, ia mendorong pintu itu perlahan.
Suasana kamar gelap dan tenang. Di atas ranjang, Alya sudah terlelap, wajahnya teduh dalam bias cahaya remang dari luar jendela.
Reihan melangkah mendekat, menatapnya cukup lama, lalu menunduk untuk mengecup kening istrinya dengan lembut, sentuhan singkat yang diam-diam ingin ia jadikan penawar bagi kegelisahan yang ia bawa pulang.
Tanpa menunggu lebih lama, Reihan berbalik dan masuk ke kamar mandi. Pintu tertutup, menyisakan suara air mengalir yang terdengar sayup.
Alya membuka matanya perlahan. Pandangannya terarah pada langit-langit, namun pikirannya melayang jauh. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berdesakan di kepalanya, tentang di mana Reihan berada sepanjang hari, dengan siapa ia menghabiskan waktu, dan kenapa pulangnya selalu larut.
Tapi bibirnya memilih diam. Ia hanya menarik napas panjang, lalu mengembuskan nya pelan. Pernikahan ini… sejak awal dibangun di atas kesalahpahaman, dan mungkin itu alasan kenapa ia tak pernah merasa punya hak untuk bertanya.