NovelToon NovelToon
KAU DAN AKU DI PANGGUNG TERAKHIR

KAU DAN AKU DI PANGGUNG TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Diam-Diam Cinta / Romansa / CEO / Model
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: amariel

Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.

Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.

Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.

Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?

"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAYANGAN DI LAYAR

Udara Sukabumi pagi itu masih dingin, tapi ruang makan rumah itu sudah penuh hawa aneh—campuran gengsi, ego, dan aroma telur mata sapi yang gosong di pinggir.

Sera duduk di kursi, menatap piringnya tanpa niat makan. Tangannya menopang pipi, dagunya hampir nempel ke meja.

“Besok kita ke klinik Bu Tati aja, deket sini,” kata Kalle santai sambil menyalakan mesin kopi.

“Aku gak mau di tempat biasa,” sahut Sera datar, tanpa menoleh. “Aku mau di rumah sakit Mama aja. Saphira Medical Center.”

Kalle berhenti menekan tombol mesin kopi. Uap hangat naik pelan, tapi atmosfer rumah malah makin dingin.

“Jakarta?” tanyanya pelan.

“Ya, Jakarta,” jawab Sera cepat. “Lebih lengkap, alatnya modern. Sekalian aku mau lihat keadaan rumah sakit itu. Dengar-dengar ada dokter baru yang Mama rekrut. Sekalian aja aku evaluasi.”

Nada suaranya seperti bos besar lagi rapat, bukan perempuan yang baru sadar hamil.

Kalle mengangkat alis, masih dengan ekspresi tenang khasnya.

“Evaluasi rumah sakit atau cari tahu gosip keluarga?”

Sera menatap tajam. “Lo pikir gue sesempit itu?”

“Enggak,” Kalle meneguk kopinya. “Cuma dugaanku jarang meleset.”

Sera mendengus. “Ya udah, duga aja sampe kiamat. Aku tetep mau ke Jakarta.”

“Ya sudah,” jawab Kalle pendek, menaruh cangkir di wastafel.

Sera kaget. “Lo... nyerah gitu aja?”

Kalle menatapnya sebentar. “Kalau aku debat, kamu tetep menang. Kalau aku setuju, kamu tetep ngomel. Mending hemat energi.”

“Ini terkesan aku ngerepotin, ya?”

“Enggak,” jawab Kalle datar, menatap telur di wajan. “Cuma agak bising aja.”

Sera mau protes, tapi melihat wajah tenangnya malah bikin makin kesel.

"Kamu tuh gak bisa ya... marah balik gitu?”

“Bisa,” sahut Kalle sambil mematikan kompor.

“Cuma gak lucu kalau dua-duanya berisik.”

Kalimat itu kena. Diam-diam Sera menelan ludah, tapi tetap jaga gengsi.

“Jadi kamu ngatain aku berisik?”

Kalle hanya mengangkat bahu. “Kalau bukan kamu, siapa lagi di rumah ini yang ngomel jam tujuh pagi?”

Sera mendengus keras, tapi di balik itu ada tawa kecil yang dia tahan.

“Kamu tuh ya, Kal, kalau lagi pengin ngeselin—juaranya.”

“Makanya aku gak ikut lomba,” balas Kalle santai. “Udah menang dari lahir.”

Sera akhirnya berdiri, menyambar jaketnya. “Jam sembilan kita jalan.”

Kalle mengangguk. “Siap, bos.”

Mobil mereka meluncur keluar gerbang rumah pukul delapan lebih lima belas. Udara sejuk Sukabumi perlahan terganti aroma knalpot dan panas Jakarta. Di kursi penumpang, Sera sibuk main ponsel, kadang membaca artikel kehamilan, kadang ngedumel sendiri.

“Katanya trimester pertama tuh gampang mual, tapi gue gak mual. Ini normal gak, Kal?”

“Normal,” jawab Kalle singkat, matanya tetap fokus ke jalan.

“Trus katanya harus makan banyak protein, tapi gue malah doyan mangga muda.”

“Juga normal.”

“Katanya juga ibu hamil gampang nangis.”

Kalle menoleh sebentar. “Kamu gak nunggu hamil juga udah jago di bidang itu.”

Sera mendelik, lalu memukul pelan lengan Kalle. “Sialan.”

Kalle hanya tersenyum tipis.

Perjalanan panjang itu diisi debat kecil dan keheningan yang anehnya terasa akrab.

Sera tetap bicara tanpa henti, Kalle menanggapinya seperlunya.

Kadang Kalle kasih komentar random yang bikin Sera berhenti bicara satu menit—rekor terpanjang sejauh ini.

Begitu memasuki area Jakarta, Sera terlihat sedikit gugup. Gedung-gedung tinggi rumah sakit itu muncul di depan kaca mobil—putih bersih dengan papan nama besar bertuliskan Saphira Medical Center.

Dia menghela napas. “Udah lama gak ke sini.”

Kalle melirik sekilas. “Kamu kelihatan tegang.”

“Enggak,” bantah Sera cepat.

“Keringet kamu turun dari pelipis ke dagu.”

“AC-nya panas.”

“Kita belum nyalain AC.”

“Diam, Kal.”

Kalle hanya mengerling.

Mereka turun dari mobil. Sera berjalan duluan, menegakkan badan seperti atasan yang datang inspeksi.

Sementara Kalle tetap dengan langkah tenang, membawa tas kecil berisi dokumen dan air mineral.

Begitu mereka masuk lobi rumah sakit, beberapa suster menyapa sopan.

“Selamat datang, Mbak Sera. Sudah lama gak mampir ke rumah sakit."

Sera mengangguk kecil, memasang senyum formal khasnya.

"Kebetulan Ibu Ayu lagi di luar. Apa perlu untuk di hubungi ?"

"Oo gak usah. Aku cuma mau cek kehamilan saja. Ngomong-ngomong bagian kandungan sebelah mana ?" tanyanya kikuk.

"Oo, mbak Sera mau check up. Saya antar kalau begitu mbak."

Secepat kilat ketawa itu membawa Sera dan Kalle berbelok kearah kanan tempat di mana bagian kandungan berada. Di balik wajah tenang itu, ada getar halus di jemarinya. Rumah sakit ini bukan cuma milik keluarganya—di sinilah terlalu banyak rahasia berputar.

Sera berjalan di lorong panjang rumah sakit milik ibunya dengan langkah tegak tapi hati berantakan.

Suara langkah sepatunya beradu dengan lantai granit, setiap mata perawat yang melihatnya langsung membungkuk kecil—ada yang berbisik, ada yang panik, dan satu dua langsung memegang ponsel, jelas ingin mengabari seseorang.

“ Mbak Sera datang?”

“Sendiri?”

“Enggak. Sama suaminya, kayaknya dokter juga...”

Bisik-bisik itu terdengar samar, tapi cukup membuat Sera merasa seperti artis yang datang tanpa rencana.

“Kenapa mereka kayak ngeliat hantu, sih?” gumamnya pelan.

Kalle yang berjalan di samping cuma menatap sekilas. “Mungkin karena kamu memang jarang datang ke sini.”

“Dan mereka langsung gosip, gitu?”

“Itu insting manusia. Apalagi perempuan.”

Sera mendelik, tapi belum sempat membalas, seorang perawat menunduk hormat di depan pintu ruang USG.

“Silakan, Mbak Sera. Dokternya kebetulan ada dan sudah menunggu.”

Sera mengangguk kaku, menatap papan nama di depan ruangan—

Dr. Alina Putri, SpOG.

Langkahnya berhenti sepersekian detik.

Kalle di sampingnya ikut membaca nama itu, dan ekspresinya cuma satu: datar. Tapi tangan kanannya otomatis menyentuh punggung tangan Sera, menggenggam pelan seolah bilang tidak usah tegang.

Sera reflek menoleh.

“Kenapa pegang tangan?”

“Biar kamu nggak kabur,” jawab Kalle tenang.

“Siapa juga yang mau kabur.”

“Tubuh kamu bilang iya, mulut kamu bilang enggak.”

Sera diam, tapi genggaman itu tetap di situ.

Untuk sesaat, ruang tunggu yang dingin terasa agak hangat.

Begitu pintu terbuka, aroma antiseptik langsung menyergap.

Dan di balik meja, berdirilah sosok perempuan berjas putih, wajahnya cantik dengan senyum profesional—senyum yang tak sepenuhnya tulus.

“Mbak Sera,” sapanya lembut. “Akhirnya kita bertemu juga. Selama ini saya cuma lihat di televisi atau media sosial."

Sera membalas dengan nada formal, “Terima kasih sudah meluangkan waktu, Dok.”

Alina mengangguk, lalu menatap pria di samping Sera.

“Dan... lama tidak bertemu, Dokter Kalle.”

Suara itu tenang, tapi cukup untuk membuat udara di ruangan berubah.

Kalle cuma mengangguk sopan. “Iya. Lama.”

Sera menatap dua manusia itu bergantian—nada suara mereka terlalu... mengenal.

“Kalian saling kenal?” tanyanya cepat.

Kalle menatap Sera sekilas. “Dulu pernah satu rumah sakit.”

“Oh,” sahut Sera datar, tapi matanya menyipit. “Satu rumah sakit, baru tahu aku."

Alina tersenyum kecil, menyamarkan ketegangan. “Silakan duduk dulu, mbak Sera.”

“Ini juga mau duduk kok, dok,” sahut Sera cepat.

Kalle hanya menghela napas pelan.

Dia tahu kalau perempuan ini bisa membakar ruangan cuma dengan tatapan.

Sera naik ke bed pemeriksaan, mencoba cuek tapi matanya terus curi-curi pandang ke arah Alina.

“Silakan, rileks aja, Mbak,” kata Alina dengan nada profesional. “Nanti saya pasangkan gel di perutnya, ya.”

Sera mengangguk, tapi begitu gel dingin itu menyentuh kulitnya—

“AAAH DINGIN, ASTAGA!”

Kalle spontan menahan tawa, tapi cepat-cepat menutupi mulut.

Alina menahan senyum profesionalnya. “Iya, sabar. Nanti hangat kok.”

“Hangat gimana, ini kayak disiram es!”

“Sabar,” ujar Kalle pendek dari kursi sebelah.

“Aku sudah sangat sabar, tapi ini dingin banget!”

“Sabar level dua,” balas Kalle dengan ekspresi netral.

Monitor menyala, memperlihatkan bayangan hitam putih bergetar pelan.

“Ini kantung janin,” jelas Alina. “Masih sangat muda, tapi detak jantungnya mulai terlihat.”

Sera menatap layar itu lama. “Itu? Yang kayak... titik kecil gitu?”

“Iya.”

“Beneran bayi?”

Alina mengangguk lembut. “Iya, Mbak Sera. Calon anak mbak sama Dokter kalle.”

Sera diam. Dunia seolah berhenti beberapa detik.

Kalle melihatnya—dan tahu betul, itu pertama kalinya Sera benar-benar tampak... takut.

Dia menggenggam tangan perempuan itu lagi.

Sera tidak menepis.

**********************************

"Ini kita nunggu disini sampai jam berapa ?"

Ada dua pria di dalam mobil, salah satu menggenggam handphone erat. Satu lagi menatap lurus ke arah depan sembari memegang stir mobilnya.

"Sampai kita menemukan gambar yang bagus. Aku yakin setelah ini kita bakal kembali trending. Dan bonus menunggu kita."

"Kamu yakin mereka bakal keluar dari pintu yang sama ?"

" Ini tuh pintu utama. Tadi kan kamu lihat sendiri Sera jalan dari arah mana. Gak mungkin dia putar balik atau potong jalan. Dia pasti berpikir gak ada media yang mengikutinya sampai di rumah sakit." Jawab pria yang ada di balik kemudinya." Sudah, kamu pokoknya fokus. Ambil gambar sebanyak dan sebagus mungkin."

*******************************

Sera duduk di sofa ruang tamu apartemen, kaki dilipat ke bawah selimut tipis, rambutnya masih agak berantakan. Di pangkuannya ada selembar kertas hitam-putih hasil USG yang dari tadi belum juga lepas dari tangannya.

Lampu meja di sebelah kanan nyala terang—dan entah sudah ke berapa kali dia menyorotkan foto itu ke arah cahaya, matanya menyipit-nyipit seolah sedang memecahkan kode rahasia negara.

“Ini beneran bayinya, kan?” gumamnya, lebih ke diri sendiri.

Kalle yang duduk di kursi seberang, masih dengan kemeja tapi lengan tergulung, cuma menjawab pelan, “Iya, itu.”

Sera mencondongkan badan, menunjuk titik samar di tengah kertas.

“Terus yang hitam banget ini apa?”

“Itu bayinya.”

“Yang abu-abu?”

“Rahim.”

“Yang kaya awan?”

“Itu cuma bayangan alatnya.”

Sera makin bingung. “Terus kenapa fotonya kayak… planet Saturnus rusak begini?”

Kalle menghela napas, tapi sabarnya masih utuh. “Karena bukan planet, Ser. Itu manusia, kecil banget. Nanti juga keliatan jelas kalau udah minggu depan-minggu depan.”

Sera memajukan bibir, masih tak puas.

“Aku tuh pengen liat yang jelas. Kayak di video-video, yang bayinya gerak, ada kakinya.”

“Itu butuh waktu. Bayimu belum sebesar itu.”

Dia diam sebentar, lalu menatap kalle sambil sok santai,

“Kal, kamu mau baby laki atau perempuan?”

Kalle menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk menyeruput teh. “Yang pasti bakal mirip kamu.”

“Cantik maksudnya ?”

“Berisik.”

Sera mendengus. “Kurang-kurangin ngomong menyebalkan sama wanita hamil. bahaya, tau.”

Kalle cuma senyum tipis. “Yang penting bayinya sehat, kamunya juga sehat. Mau lelaki mau perempuan sama saja.”

Sebetulnya yang jadi rasa penasaran Kalle saat ini lebih kepada sisi emosi Sera. Dia ingat betul malam dimana wanita itu terang-terangan menolak kehamilannya. lalu, sekarang wajah dengan senyum penuh keceriaan terlihat.

Beberapa detik kemudian, Sera kembali menatap hasil USG, mengangkatnya ke arah lampu sampai nyaris nempel di bohlam.

“Tapi kenapa kecil banget, Kal. Nih liat deh.”

Kalle bangkit, jalan pelan ke arah sofa, lalu duduk di sebelahnya. “Memang segitu ukurannya sekarang.”

“Tapi kenapa perutku bagian sini kadang keras banget.”

Kalle menoleh. “Bagian mana?”

Sera menepuk-nepuk sisi kanan perutnya. “Nih.”

Kalle menunduk sebentar, terus menjawab datar,

“Itu feses, bukan calon bayimu.”

Sera langsung melotot. “KALLE..!!”

Kalle tetap tenang, ekspresinya datar setengah dosa. “Aku dokter, bukan motivator. Fakta harus disampaikan. Itu feses, bukan bayimu."

Sera mendengus panjang, tapi ujung bibirnya akhirnya ikut naik. Dia mendengus sekali lagi, mungkin buat jaga gengsi, lalu bersandar ke sandaran sofa.

Beberapa menit kemudian, setelah berdebat kecil tentang mana yang bayi mana yang bukan, Sera tiba-tiba diam.

Kalle melirik—dan mendapati perempuan itu sudah tertidur, kepala miring ke samping, masih memeluk hasil USG di dadanya.

Dia menggeleng kecil, pelan menurunkan kertas dari tangan Sera, lalu menutupinya dengan selimut.

“Berisik tapi cepat capek,” gumamnya pelan, tapi ada senyum di sana.

1
itsme zepi!
alemong ngambang lagi nih cerita 😭😭😭
Ayu Ayuningtiyas
up lagi kak Air💪
Ayu Ayuningtiyas
bagus ceritanya,ringan di awal cerita tapi lama" konfliknya semakin berat.cerita yg bikin penasaran krn byk plot twist nya.
Imam Supriyono
jangan sampai berhenti di tengah jalan....🙏...sampai tamat......gak lucu kalau ceritanya semua ...berhenti di tengah jlan....
Mertysmart MertySmart
yg lebih romantis dong 😄, smangaat selaluuu 💪
ukaza
kak air di tunggu updatenya,jgn ampek kek puasa Senin Kamis ya up nya,
buat kak air sehat selalu dan semangat up up nya 🔥🔥🔥💜
Mertysmart MertySmart
lanjut thor, smangaaat
ukaza
next air
Imam Supriyono
disini karakter ayu lebih dominan .....sera ....kalah jauh ma ayu ibunya.....
ukaza
thanks up nya kak dan di tunggu update terbaru,yg rajin ya Thor up up nya 💜
sukma dewi
/Smile/
ukaza
halo Thor permisi.... tok tok tok, kk air, kapan lanjut
aisyah zahra
menarik bgt
AKU_AIR
😄😄😄😄😄😄
Mertysmart MertySmart
serius nanya thor, sbnernya dulu itu bara beneran cinta sm olive nggak?
Dini Yulianti
tp dsini ga di ceritain kalo si kale punya kakak ya?
ukaza: itu tau jadi jgn banyak ngebahas plis kita nikmatin aja karya air,
(ingat gak harus plek ketiplek kan)
salam damai sejahtera 🤭🙏
total 1 replies
Dini Yulianti
pokoknya jgn ada drama cere aja, cukup sera balas densam aja nanti sama kalle, kalo alurnya sama nanti kaya bara olive
Alleandra_syah
lanjut kak..
Alleandra_syah
ini gundiknya Adipati ada berapa sich....🤭
AKU_AIR: banyakkk🤣🤣
total 1 replies
Mertysmart MertySmart
Smangat thor💪, di tunggu lanjutannya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!