Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios. Yaitu percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lainnya. Raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, bahkan binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia.
Hingga terbentuklah 12 pertandingan untuk menghentikan peperangan akbar itu. Panah melawan mesiu, otot melawan baja, sihir melawan sains.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinju Dibalas Tinju
...Street Fighter vs The Forest Guard...
...#2...
Hening sejenak. Udara di Colosseum Langit seolah menahan napasnya sendiri. Dua sosok di tengah arena berdiri berhadapan, seperti dua dunia yang menolak saling tunduk.
Tiago sedikit memutar lehernya. Suara sendi yang keras menggema di ruang yang terlalu sunyi. Angin mengibaskan rambut cokelatnya yang berantakan, dan dari celah bibirnya keluar senyum kecil yang sulit ditebak: antara sombong dan benar-benar siap mati.
Asterion masih diam. Tatapannya tajam, tapi tidak kejam. Seolah dia sedang menilai, bukan membenci. Tangan besarnya terangkat perlahan, menutup dada, lalu menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan kepada lawannya,
“Untuk kehormatan hutan, dan jiwa yang berani.”
Tiago hanya mengangkat dua jarinya ke pelipisnya, gaya salut khas manusia mabuk bar yang entah mengandung makna atau sekadar olok-olok. Namun pada momen itu, entah mengapa, semua yang melihatnya bisa merasakan bahwa dia tidak main-main.
Aroma marmer terbakar mulai muncul di udara.
Getaran kecil menjalar di lantai arena, pertanda energi fisik kedua petarung mulai naik.
Asterion menginjak keras tanah di bawahnya, membentuk retakan halus. Suara berat seperti guntur bergema dari dadanya.
Sedangkan Tiago, masih tanpa gerakan besar, hanya memutar bahunya, menepuk pipinya dua kali, dan berujar pelan,
“Baiklah… mari berdansa, kuda besar.”
Kubu manusia menahan napas. Presiden kini berdiri, kedua tangannya mencengkeram pinggiran meja logam di depannya.
Johan menatap lurus, pupil matanya menyempit. Ia tahu dalam sepersekian detik lagi, benturan itu akan menjadi sejarah.
Kubu mitologi, sebaliknya, penuh tawa. Siren menirukan gerakan Tiago dengan nada mengejek.
Minotaur berseru keras, “Hei manusia! Jika kau ingin berdansa, aku akan kirimkan musik pemakamanmu nanti!”
Namun, di antara tawa itu, mata Huli Jing kembali menyipit. Ekor-ekor rubahnya bergetar lembut.
“Diamlah, makhluk bodoh. Ada sesuatu yang berbeda dari manusia itu…” gumamnya pelan.
Sementara Sang Libra, di atas takhta tengah, memandangi mereka dengan tatapan netral.
Timbangan di tangannya mulai bergerak perlahan ke kiri dan kanan. Pertanda energi keduanya mulai seimbang, setidaknya di awal. Cahaya lembut dari rambut ungunya bergetar ringan seperti api lilin yang menari.
Dan kemudian—
dalam satu momen yang terlalu cepat untuk diukur oleh mata manusia biasa, Tiago melangkah maju.
Satu langkah kecil, tapi dentumannya membuat marmer di bawah kakinya retak seperti kaca.
Asterion menyeringai, kaki depannya menjejak tanah keras dan tanah itu langsung pecah, menimbulkan gelombang kecil yang menabrak kaki Tiago.
Pertarungan mereka belum dimulai, tapi dunia sudah tahu—
Ini bukan sekadar duel antar ras.
Ini adalah benturan dua keyakinan.
Akal melawan naluri.
“Aku mulai ya?”
Suara Tiago terdengar ringan, tapi langkah kakinya menghentak keras. Ia melesat ke depan dengan cepat, namun belum secepat Hayama yang dulu membuat angin pun gemetar. Kecepatannya manusiawi, tapi cara berlarinya penuh keyakinan, seperti seseorang yang tak mengenal kata mundur.
Kubu mitologi mulai mencibir,
“Manusia itu… bahkan berlari pun lamban!” seru seekor orc.
“Dia bahkan tak membawa senjata!” tawa satyr di sisi lain menggema.
Asterion menunduk, menancapkan empat kakinya di lantai, membentuk posisi bertahan sempurna. “Seranglah,” katanya tenang.
Tiago melompat tinggi, tapi arah tubuhnya mudah ditebak. Tinju kanannya melesat lurus ke arah wajah Centaur,
“Serangan langsung seperti itu… sangat mudah ditebak,” ejek Asterion, dan dengan refleks satu tangan raksasanya mencengkeram pergelangan tangan Tiago di udara.
“Oiya? Kalau begitu, bagaimana dengan ini?”
Satu tangan terkunci, tapi tangan lainnya bebas. Tiago memutar pinggangnya, tubuhnya berputar seperti obor manusia. Tinju kiri meluncur cepat, ditangkis lagi oleh siku Asterion. Tapi belum berhenti di sana. Dalam momentum putaran yang sama, lutut Tiago naik tinggi dan menghantam sisi kepala sang Centaur.
Duk!
Asterion hanya bergeser setapak ke belakang. Tak terhuyung, tapi debu marmer berjatuhan dari rambut cokelatnya. Ia mengelap bagian yang terkena pukulan, sedikit heran, sedikit terhibur.
Sedangkan Tiago mendarat ringan, dengan satu lutut menyentuh tanah, lalu berdiri lagi sambil menepuk debu di bahunya.
“Hewan itu,” gumamnya pelan, “kokoh sekali pertahanannya.”
Sang Libra di atas singgasana mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Rambut ungunya bergetar lembut, mata keemasannya berkilat kagum,
“Omong kosong yang beralasan… rupanya,” bisiknya pelan. Ia melihat setiap serangan Tiago bukan asal hajar. Tiap langkahnya seperti puzzle, disusun untuk membuka pola gerak lawannya.
Asterion berdecak kagum. “Kau cepat belajar, Manusia. Tapi belum cukup cepat untuk melawanku.”
Ia menegakkan tubuhnya dan mengangkat kaki depan, lalu menapak keras ke lantai, hingga getarannya membuat udara di sekitar mereka berdenyut.
Tiago hanya menyeringai.
“Kalau begitu… ganti gaya sedikit.”
Ia menunduk, menurunkan pusat gravitasinya, dan berlari kembali. Kali ini dengan langkah berirama, seperti tarian yang tak asing bagi sebagian manusia di tribun. Gerakannya melingkar, lalu merunduk rendah, dan sebelum siapapun menyadari, tubuh Tiago sudah melesat di bawah kaki Asterion.
Kedua kakinya terangkat membentuk gunting yang langsung mengunci salah satu kaki depan Centaur itu.
Asterion terkejut sesaat. Tapi ia bukan makhluk lemah. Satu kakinya terkunci, namun tiga lainnya menahan beban dengan sempurna. Ia menendang ke belakang, mencoba menghantam Tiago dengan kuku kerasnya.
Tiago lepas, lalu berbalik dengan backflip sempurna, menapak di lantai dengan ringan.
“Dia menurunkan posisinya… lihat itu!” seru seorang penonton dari kubu manusia.
“Itu! Kuda-kuda capoeira!” ujar seorang petarung MMA dari tribun atas.
“Tapi apakah bisa menumbangkan centaur dengan tarian itu? Capoeira hanya mengandalkan serangan kaki!” timpal yang lain, terdengar pesimis.
Tiago hanya menatap mereka sekilas, lalu kembali ke posisi tarian unik itu. Tubuhnya berayun, tangan dan kaki bergerak ritmis.
Ia melesat lagi, kali ini bukan untuk memukul, tapi untuk menipu. Tubuhnya berguling melewati sisi kanan Asterion, lalu masuk ke kolong tubuh centaur itu.
“Berani sekali dia masuk ke bawah sana!” pekik seseorang.
Asterion yang sadar langsung mengangkat kaki depannya tinggi, hendak menginjak Tiago dengan kekuatan penuh. Tapi Tiago berputar pada satu tangan, menghindar, dan — Wham! — dua kakinya menghantam perut bagian bawah sang Centaur dengan kekuatan penuh!
Suara dentuman keras menggema di seluruh arena.
Asterion terhempas beberapa meter ke belakang, menabrak lantai marmer hingga pecah serpihannya. Seekor centaur (makhluk penjaga hutan yang gagah itu) jatuh terduduk untuk pertama kalinya.
Sorakan manusia meledak. Beberapa yang sebelumnya mencibir kini berdiri, berteriak namanya.
Sementara Tiago berdiri perlahan, tangannya menepuk debu di dada. Ia tersenyum lebar, nyaris seperti anak kecil yang berhasil menjatuhkan raksasa.
“Aku menyebut serangan itu…” ia memutar tubuhnya sedikit, mengedipkan mata ke arah tribun manusia.
“Capoeira Breakdance.”