Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Senyum Arka tak kunjung pudar sejak meninggalkan rumah Hannah. Wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru saja menerima mainan impian. Di tangannya, dia menenteng sebuah cooler bag kecil berwarna biru laut, berisi dua kotak puding susu buatan Hannah dan Yasmin. Di sampingnya, terselip tumbler berisi jus lemon segar yang dibuat langsung oleh tangan Hannah—wanita bisu yang kini memenuhi pikirannya.
Setibanya di kantor, Arka langsung menuju ruang kerja Arman dengan langkah ringan. Hatinya masih terngiang-ngiang oleh tawa Yasmin dan kehangatan Hannah yang menyusup diam-diam ke dalam hatinya.
"Nih, ada paket dari Yasmin!" seru Arka begitu membuka pintu ruangan dan masuk tanpa mengetuk, seperti biasa.
Arman yang tengah menatap layar komputer menoleh sejenak. “Pantas saja datang terlambat, rupanya mampir dulu ke rumah Yasmin,” sahutnya sambil mengulurkan tangan untuk menerima kotak kecil yang diberikan Arka.
“Itu apa? Kok aku nggak dikasih?” tanya Arman begitu matanya menangkap tumbler lucu bergambar karakter kartun kesukaan Yasmin yang kini tergenggam erat di tangan Arka.
Arka buru-buru menyembunyikan tumbler itu di belakang tubuhnya, seolah takut direbut. “Ini khusus buat aku,” jawabnya sambil menyeringai penuh kemenangan.
“Dasar pelit,” gerutu Arman, namun wajahnya tetap semringah. Ia membuka tutup kotak makanan dengan penasaran. Begitu melihat puding bertekstur lembut yang tersusun rapi, matanya berbinar seperti anak kecil melihat kue ulang tahun.
Ia mencicipi sesendok kecil, lalu matanya melebar. “Ternyata enak!”
Arka duduk di sofa dengan gaya santai, kaki bersilang, lalu bersandar sambil menatap langit-langit ruangan. “Bagaimana hasilnya kemarin?” tanyanya dengan nada penasaran, mencoba mencairkan suasana serius yang mulai merambat masuk.
Arman mengembuskan napas kasar, seperti menyingkirkan beban dari dada. Wajahnya terlihat lelah, sorot matanya sendu. “Mereka mau membantu, tapi dengan syarat.”
“Syarat? Apa yang mereka inginkan?” Arka kini duduk tegak, ekspresinya mulai serius.
“Pak Agung ingin Kakak menikahi putri bungsunya,” jawab Arman sambil tersenyum jahil, lalu menunjuk sendok ke arah Arka seperti menggodanya.
Arka mendengus pelan, lalu menanggapinya dengan nada sinis, “Bilang saja Pak Agung ingin kamu jadi menantunya.”
“Aku sudah punya Karin,” jawab Arman, kali ini dengan nada lebih dalam. Gerak tangannya yang hendak menyuapkan puding ke mulut pun terhenti.
Arka tersenyum tipis, lalu balas berkata dengan nada yang tak kalah tegas, “Aku juga sudah punya Hannah.”
Kalimat itu menggantung di udara seperti guntur yang mendadak turun di siang bolong. Arman terkejut bukan main.
“Hannah? Mamanya Yasmin?!” seru Arman. Sendok yang tadi dipegangnya terjatuh ke lantai tanpa sempat disadari.
“Iya. Kenapa?” tanya Arka sambil menatap adiknya dengan pandangan lurus, seolah menantang.
“Kamu serius? Kamu nggak sedang bercanda, kan?” Arman menatap Arka dengan penuh selidik. Tak ada senyum di wajah kakaknya. Tak ada nada guyon di ucapannya. Hanya keseriusan yang membekas jelas di sorot mata Arka—sesuatu yang jarang terlihat sebelumnya.
Arman belum tahu seperti apa sebenarnya sosok Hannah. Yang dia tahu, hanya sekilas bayangan seorang wanita muda yang tertidur di ruang rawat rumah sakit—terkulai lemah, wajahnya pucat, dan mata terpejam rapat. Itulah satu-satunya momen ketika dia melihat Hannah, dan itu pun tanpa sempat benar-benar mengamati.
"Memangnya kamu tidak kenal siapa aku?!" kata Arka sambil menaikkan satu alis, senyumnya menyiratkan sesuatu yang ambigu. Tatapannya menusuk dan nadanya terdengar penuh tantangan, seolah menyimpan rahasia besar yang tidak ingin dibagi, tapi sengaja dipancing.
Arman hanya meringis. Dalam benaknya, wajah Pak Agung melintas—pengusaha senior itu memang mendesaknya untuk menjadi menantu. Tapi yang membuatnya bergidik bukan karena permintaan itu, melainkan karena calon yang disodorkan. Gadis itu, meski secara fisik dewasa, kelakuannya mirip anak kecil yang sulit diatur. Tidak hanya manja, tetapi juga sembrono dan kerap bicara tanpa filter. Dibandingkan dengan Yasmin yang masih kecil tapi cerdas dan sopan, pilihan itu terasa sangat tidak masuk akal.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Arka menatap langit-langit sambil menghembuskan napas. Keningnya berkerut seperti seseorang yang sedang menahan gejolak dalam dada. Ada rasa frustrasi yang sulit dia jelaskan.
"Aku kembalikan kepadamu, Kak. Karena aku tidak akan mengorbankan Karin. Kasihan dia, sudah banyak pengorbanan yang dilakukan untukku," kata Arman mantap. Nada bicaranya lembut, tapi tegas. Sorot matanya meredup, seolah menyimpan rasa bersalah yang mendalam.
Kepala Arka mendadak terasa panas. Hatinya seperti direbus oleh gejolak antara cinta dan dendam. Di satu sisi, dia ingin melindungi Hannah dan Yasmin, tapi di sisi lain, dendam terhadap masa lalu keluarganya yang hancur membuatnya tidak bisa bersikap tenang. Rasanya seperti ada asap yang mengepul di otaknya, membuat pikirannya kacau.
"Mau ke mana?" tanya Arman saat melihat Arka berdiri mendadak dan melangkah ke arah pintu dengan gerakan tergesa.
"Ya, ke ruangan kerja aku," jawab Arka tanpa menoleh. Suaranya datar, nyaris seperti gumaman. "Kenapa?"
"E ... enggak." Arman menyeringai paksa, mencoba menutupi kegelisahannya. Tapi pandangannya terus mengikuti punggung sang kakak hingga menghilang di balik pintu yang tertutup.
Begitu sendirian, Arman memegangi rambutnya. Tangannya mengusap pelipis yang mulai berdenyut. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan kekhawatiran. Karin masih belum menghubunginya. Tidak ada kabar, tidak ada jejak. Seolah wanita itu lenyap ditelan bumi. Hatinya digerogoti rasa cemas yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.
"Aku berharap kamu baik-baik saja, Karin. Di mana pun saat ini kamu berada, selalu dalam keadaan baik," gumamnya lirih. Kata-kata itu terjatuh dari bibirnya seperti doa yang dipaksa keluar karena ketakutan yang tertahan terlalu lama.
Jika saja tidak ada begitu banyak pekerjaan menumpuk, mungkin Arman sudah sejak seminggu lalu menelusuri jejak kekasihnya itu. Sekarang dia hanya bisa pasrah menunggu, menaruh harap pada keajaiban dan kabar baik.
Sementara itu, di ruang kerjanya, Arka membuka laptop dan mulai fokus pada dokumen-dokumen digital yang tersimpan rapi dalam folder yang diberi label: Audit Abimana Grup. Matanya menelusuri setiap angka, setiap baris, dan setiap keterangan dengan penuh kehati-hatian. Dia telah menghabiskan waktu berhari-hari menyusun laporan keuangan fiktif yang dibuat Citra dan Soraya.
Banyak angka dimanipulasi. Banyak laporan laba-rugi yang dipalsukan. Perusahaan sudah terlalu lama dijadikan ladang uang oleh mereka yang rakus dan tak bermoral.
"Aku harap nanti saat rapat dewan direksi bisa menjatuhkan Soraya dan Citra," gumam Arka dengan suara dingin. Genggamannya pada mouse mengencang, matanya menyipit penuh amarah.
Arka tidak lagi sekadar ingin membuktikan sesuatu. Kini, dia benar-benar ingin menggulingkan para pengkhianat yang menghancurkan Abimana Grup dari dalam.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗