Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Aku yang Kau Ingat Setelah Terlambat
Langit malam menyembunyikan bulan di balik mendung. Di kota kecil yang mulai akrab dengan sunyi, Nayla duduk di bangku taman dekat jembatan tua yang pernah ia kunjungi bersama Arvan bertahun lalu. Tak banyak berubah di tempat itu. Kursi kayunya masih berdecit, angin malam masih terasa menggigit. Tapi kali ini, hatinya yang berbeda.
Ia mengusap layar ponsel, membuka galeri yang penuh dengan foto kegiatan sosialnya. Anak-anak di pelosok desa, tawa relawan muda, dan dirinya yang tampak benar-benar tersenyum tanpa keterpaksaan. Di sela itu, satu folder tak pernah ia hapus: "Arvan & Aku."
Tangannya ragu. Tapi tetap membuka.
Satu per satu foto muncul. Sebagian usang, sebagian buram. Tapi ingatannya masih tajam. Arvan yang tertawa lepas di pantai, memandangnya seolah dunia tak punya orang lain. Arvan yang menggenggam tangannya saat ia gugup bicara di depan umum. Arvan yang dulu bukan yang mencampakkannya demi wanita lain.
Dan di saat yang sama, di sebuah kamar hotel mewah di Jakarta, Arvan duduk termenung. TV menyala tapi tak didengar. Tangannya memegang dokumen penting, tapi tak dibaca. Di hadapannya, segelas wine yang tak disentuh. Ia hanya memandangi satu foto.
Bukan foto Laras. Bukan foto dirinya sebagai CEO sukses. Tapi foto Nayla saat tertidur di sofa, kelelahan karena menemaninya lembur.
“Nayla…”
Nama itu mengalir seperti doa. Ia membisikkan nama itu hampir setiap malam sekarang.
“Maaf… Aku baru sadar saat kau tak lagi di sini.”
Ponselnya bergetar. Laras menelepon.
Arvan menatap layar, lalu memencet tombol merah. Sudah tiga hari ini ia tak lagi menjawab panggilan Laras. Bahkan ia tak kembali ke rumah. Semuanya terasa hambar. Dingin. Tak ada yang bisa menggantikan kehangatan yang pernah Nayla beri, bahkan dalam diam sekalipun.
Satu minggu sebelumnya.
Nayla berdiri di depan ruangan kelas kecil, memandu workshop motivasi untuk perempuan korban pernikahan toksik. Ia tak menangis, tapi suaranya mengguncang setiap jiwa yang hadir.
“Kita semua pernah berharap pada orang yang salah,” katanya. “Tapi luka tidak untuk terus dipeluk. Luka untuk diobati. Dan… dilepaskan.”
Di antara peserta, seseorang diam-diam merekamnya. Pria itu mengirim potongan video itu ke nomor asing.
Arvan menerimanya malam itu.
Tangannya gemetar saat menekan play. Ia mendengar suara Nayla kuat, lantang, namun tetap hangat.
Matanya mulai basah.
"Dia tak pernah menyakitiku dengan tangan," suara Nayla menggema, "tapi dia membunuhku perlahan dengan pilihan-pilihan yang tak pernah melibatkan aku."
Arvan memukul meja. Napasnya sesak. Ia berdiri, meraih kunci mobil, dan malam itu juga terbang ke kota tempat Nayla tinggal sekarang. Bukan untuk mengemis kembali. Bukan untuk membuat drama. Tapi… entah untuk apa. Ia hanya tahu, ia harus melihat Nayla lagi.
Keesokan harinya.
Nayla sedang duduk di sebuah kedai kopi kecil. Ia membaca novel sambil sesekali mencoret jurnalnya. Di depannya, secangkir kopi yang mulai mendingin.
Lonceng pintu berdentang.
Ia tak menoleh, hingga seseorang berdiri terlalu lama di dekat mejanya. Saat ia mengangkat kepala, pandangannya membeku.
Arvan.
Wajah itu masih sama. Tapi mata itu… lebih dalam, lebih lelah, lebih… rindu?
Mereka saling memandang, diam panjang. Tak ada sapaan. Tak ada senyum. Hanya detik-detik yang berat menahan air mata yang tak boleh tumpah.
“Boleh duduk?” Arvan bertanya, suaranya serak.
Nayla menatapnya, lalu memalingkan wajah. “Silakan. Tapi jangan berharap aku akan menjawab semua yang belum pernah kau tanyakan dulu.”
Arvan duduk.
“Aku… tahu aku tak layak ada di sini. Tapi aku datang bukan untuk menjelaskan semuanya. Aku hanya ingin melihatmu… hidup. Dan aku lihat kau memang hidup lebih baik tanpaku.”
Kata-katanya menghantam Nayla seperti ombak. Tapi ia menegakkan bahu.
“Benar. Aku hidup. Dan akhirnya tahu, bahwa hidup tak harus bersama orang yang dulu kupikir tak tergantikan.”
Arvan menunduk.
“Aku kehilangan semuanya, Nay.”
“Kau masih punya segalanya. Jabatan, uang, bahkan dia yang dulu kau pilih.”
“Tidak. Aku kehilangan bagian terbaik dari hidupku saat aku melepaskanmu.”
Kedai itu terlalu sunyi untuk dua orang yang sedang mencoba berdamai dengan bayangan masing-masing.
Beberapa hari kemudian.
Arvan mulai sering datang ke kota itu. Tidak untuk mengganggu Nayla, tapi mengikuti kegiatan sosial, diam-diam. Membantu proyek sosial. Memberi beasiswa atas nama “seseorang yang pernah aku kecewakan.”
Suatu ketika, Nayla melihat Arvan berdiri di tengah hujan, membagikan nasi bungkus untuk gelandangan.
“Apa yang kau cari, Van?” tanya Nayla akhirnya, saat mereka kembali bertemu di pelataran masjid.
Arvan tersenyum tipis. “Kau.”
“Arvan…”
“Tapi bukan sebagai milikku. Aku hanya ingin… melihatmu bahagia, tanpa aku jadi penyebab lukamu lagi.”
Nayla terdiam. Matanya basah. Tapi ia tahu, maaf bukan berarti kembali. Dan menyesal bukan berarti diperbolehkan mengulang.
Malam itu, Nayla menulis di jurnalnya:
"Kau datang lagi saat aku sudah belajar membangun diriku dari puing. Tapi aku bukan rumah yang bisa kau masuki seenaknya hanya karena kau kedinginan setelah memilih pergi."
"Aku mencintaimu, pernah. Tapi kini aku mencintai diriku lebih dari yang pernah aku lakukan saat bersamamu."