NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MENGHABISKAN WAKTU DENGANNYA

Nayara melangkah masuk ke dalam The Hollow Quill, toko buku yang sudah terasa begitu akrab baginya. Aroma kertas dan kayu tua langsung menyapa, menenangkan hatinya setelah hari-hari yang penuh tekanan.

Namun, bukan hanya buku yang membuat langkah Nayara menuntunnya ke sini. Di sudut hatinya, ada dorongan lain keinginan untuk bertemu dengan Jayden. Pria penjaga kasir itu, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat dan kata-kata ringan yang entah mengapa bisa membuat dadanya lega.

Seperti sudah bisa menebak, Jayden berdiri di balik meja kasir, tengah menata tumpukan buku baru yang baru saja masuk. Saat ia mengangkat wajahnya, matanya langsung menangkap sosok Nayara.

“Selamat datang kembali, tuan putri,” ucap Jayden dengan senyum kecil yang khas.

Nayara tersipu, pura-pura menunduk sambil mengusap ujung rambutnya. “Kau selalu saja punya panggilan aneh untukku.”

Jayden terkekeh, lalu menutup buku yang baru saja ia pegang. “Kalau begitu, apa aku harus mencari panggilan lain? Atau mungkin… tetap dengan yang ini karena membuatmu datang lagi ke sini?”

Pipi Nayara memanas. Ia melangkah mendekat, pura-pura menatap rak di sebelah kasir, mencoba mengalihkan rasa gugupnya. “Aku hanya ingin membeli buku… dan, yah, mungkin mengobrol sedikit.”

Jayden menatapnya sekilas, ada tatapan hangat yang lebih lama dari biasanya. “Kalau begitu, aku tahu rak mana yang harus kau kunjungi dulu. Rak yang penuh dengan cerita-cerita yang bisa menghibur orang yang sedang kelelahan.”

Jayden keluar dari balik meja kasir, langkahnya santai namun penuh percaya diri. “Ayo, aku antar. Aku yakin ada beberapa buku yang akan cocok untukmu.”

Nayara mengangguk kecil, lalu mengikuti Jayden yang berjalan menuju rak di sisi kanan toko. Suasana toko saat itu tidak terlalu ramai, hanya ada dua pengunjung lain yang asyik dengan pilihannya masing-masing.

“Di sini,” Jayden menunjuk salah satu rak yang berisi deretan novel dengan sampul warna-warni. “Aku sering merekomendasikan buku-buku ini untuk orang yang sedang mencari pelarian dari penatnya hidup.”

Nayara menyapu pandangannya ke rak itu, jemarinya menyusuri punggung buku satu per satu. “Kau terdengar seperti tahu apa yang kupikirkan,” katanya pelan.

Jayden tersenyum samar, menundukkan kepala sedikit mendekat. “Mungkin karena aku sudah cukup sering mengamatimu saat kau datang ke sini.”

Nayara tersentak kecil, pipinya memerah. Ia buru-buru menarik sebuah buku secara acak dari rak, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Aku… aku rasa buku ini bagus.”

Jayden melirik judul yang Nayara ambil, lalu tersenyum lebih lebar. “Ah, buku itu. Tentang seorang gadis yang belajar menerima dirinya sendiri di tengah segala kerumitan hidup. Cocok sekali untukmu, tuan putri.”

Nayara menunduk, menggenggam buku itu erat-erat. “Kalau begitu… aku akan membelinya.”

Jayden mengangguk, lalu kembali berjalan ke kasir. Nayara mengikutinya sambil memeluk bukunya, jantungnya berdebar aneh. Saat tiba di meja kasir, Jayden memproses buku itu dengan cekatan, lalu menatapnya lagi.

“Aku senang kau memilih buku ini. Tapi aku lebih senang lagi karena bisa melihatmu hari ini.”

Nayara terdiam, lalu tersenyum tipis, matanya sedikit berkaca-kaca tanpa ia sadari.

“Apa besok kau senggang?” tanya Jayden sambil menyerahkan buku yang sudah terbungkus rapi pada Nayara.

Nayara mengangkat wajahnya, sedikit heran. “Entahlah… kenapa memangnya?”

Jayden tersenyum, matanya menatapnya penuh arti. “Ada satu tempat yang ingin kutunjukkan padamu. Aku yakin kau akan menyukainya.”

Nayara menggenggam buku di pelukannya, menunduk sejenak seolah menimbang. Ia menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya menghela napas pelan.

“Tempat seperti apa?” tanyanya hati-hati, nada suaranya setengah ingin tahu setengah ragu.

Jayden terkekeh kecil, jelas menikmati sikap waspada gadis itu. “Kalau kukatakan sekarang, bukankah tidak seru lagi? Anggap saja ini kejutan kecil.”

Nayara menatapnya, sedikit kesal tapi juga tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Kau selalu penuh rahasia.”

“Bukan rahasia, Nayara,” jawab Jayden, kali ini lebih lembut. “Aku hanya ingin kau merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mungkin bisa membuatmu tersenyum lebih lama dari biasanya.”

Nayara terdiam, memeluk bukunya lebih erat. Ia bisa merasakan bagaimana tatapan Jayden membuatnya sulit menolak, tapi di sisi lain ada sesuatu di dalam dirinya yang masih ragu.

“Aku… akan coba meluangkan waktu besok,” ucap Nayara akhirnya, suaranya pelan tapi cukup jelas untuk membuat Jayden tersenyum puas.

“Bagus,” jawab Jayden singkat, ekspresi wajahnya seolah lega. “Aku akan menjemputmu setelah kau selesai dari kampus. Tidak perlu khawatir, tempat itu tidak jauh dari kota.”

Nayara menunduk, merasa pipinya memanas tanpa alasan jelas. “Baiklah, tapi jangan buat aku menyesal.”

Jayden terkekeh. “Kau akan berterima kasih padaku, aku jamin itu.”

Nayara hanya bisa menggeleng sambil menahan senyum kecil, sebelum akhirnya berpamitan untuk pulang.

Malam harinya, Nayara melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati. Ia mendapati Kaelith sedang duduk santai di sofa ruang tengah, matanya fokus menatap layar televisi yang menyiarkan program olahraga.

Nayara duduk di sampingnya, pura-pura ikut menonton, meski pikirannya jelas tidak tenang. “Latihanmu tadi melelahkan?” tanyanya pelan, mencoba membuka percakapan.

“Tidak juga,” jawab Kaelith singkat tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Nayara menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Kael… besok aku ingin keluar sebentar. Ada urusan dengan Nazerin. Dia minta bantuanku untuk sesuatu.”

Barulah Kaelith menoleh, tatapannya tajam menelusuri wajah Nayara. “Nazerin?”

Nayara mengangguk cepat. “Iya, dia butuh aku untuk menemaninya. Hanya urusan kecil kok, tidak akan lama. Aku janji akan selalu memberi kabar.”

Kaelith menyandarkan tubuhnya, masih menatapnya penuh selidik. “Dan kenapa harus kau yang menemaninya?”

Nayara menarik napas dalam, mencoba menyusun alasan. “Karena… aku orang yang dia percaya. Lagipula, aku merasa tidak enak menolak. Dia sudah baik padaku.”

Keheningan menggantung, hanya suara televisi yang terdengar di antara mereka.

Kaelith menatap Nayara cukup lama, seakan ingin menembus isi pikirannya. Tatapan itu membuat jantung Nayara berdegup tak karuan, ia bahkan menggenggam jemari di pangkuannya agar tidak terlihat gugup.

“Aku tidak suka,” ucap Kaelith akhirnya dengan nada dingin. “Aku tidak percaya pada Nazerin. Dia terlalu licik untuk bisa dipercaya.”

Nayara mencoba tersenyum tipis, walau jelas gugup. “Kael, ini hanya sebentar. Aku bisa menjaga diri. Aku janji akan pulang sebelum malam.”

Kaelith menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya seolah menahan amarah. “Kau selalu membuatku khawatir. Apa sulit bagimu untuk tetap di sisiku, hm?”

“Bukan begitu…” Nayara mencoba menenangkan, suaranya lirih. “Aku hanya ingin membantu.”

Kaelith mendekat, tangannya meraih dagu Nayara, memaksanya menatap lurus ke matanya. “Baiklah. Kalau kau tetap ingin pergi besok, lakukan. Tapi satu syarat aku akan menjemputmu tepat di mana pun kau berada. Jangan coba-coba menghindar atau berbohong padaku, Nayara.”

Nayara terdiam, hatinya campur aduk antara lega karena diizinkan, dan takut karena tahu Kaelith bisa saja berubah murka jika ada yang salah. Ia mengangguk pelan. “Baik, Kael.”

Kaelith menempelkan keningnya pada kening Nayara, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Ingat, kau milikku. Dan aku tidak akan biarkan siapa pun mengambilmu.”

Keheningan di ruang tengah hanya tersisa suara televisi yang samar-samar menyiarkan pertandingan. Kaelith masih menempelkan keningnya pada kening Nayara, jemarinya bergerak turun, mengusap leher rapuh gadis itu.

“Nayara…” suara Kaelith terdengar rendah, nyaris berbisik, tetapi sarat akan hasrat yang ditahannya sejak tadi. “Kau membuatku gila.”

Nayara tertegun, tubuhnya seakan membeku. Ia tahu ke mana arah tatapan itu, ke mana nada suara Kaelith membawanya.

Tangan Kaelith kemudian menarik Nayara lebih dekat, hingga tubuh gadis itu jatuh dalam dekapan hangatnya. Bibirnya mendarat di bibir Nayara, kali ini lebih dalam, lebih menuntut.

Nayara sempat mencoba menarik napas, namun Kaelith tidak memberinya banyak ruang. Hanya ada dirinya, aroma maskulin Kaelith, dan sentuhan yang membuat lututnya lemas.

“Jangan biarkan aku kehilanganmu,” bisik Kaelith di sela ciuman, suaranya parau. “Aku menginginkanmu, Nayara… malam ini, hanya untukku.”

Nayara memejamkan mata, dadanya naik-turun cepat. Ia tahu Kaelith tengah rapuh, marah, dan butuh pelampiasan tapi sekaligus penuh kasih yang mengekangnya.

Dengan ragu, Nayara membalas dekapannya, meski hatinya diliputi rasa bersalah.

Kaelith mengangkat tubuh Nayara dengan mudah, mendekapnya erat seakan tak ingin melepaskan. Gadis itu refleks melingkarkan tangannya di leher Kaelith, merasakan detak jantung pria itu yang berdentum cepat, sama seperti dirinya.

Tanpa sepatah kata pun, Kaelith melangkah menuju kamar. Setiap pijakan kakinya terdengar mantap, penuh tekad, sementara bibirnya tak berhenti menempel di bibir Nayara.

Saat pintu kamar tertutup, Kaelith menurunkan Nayara perlahan ke ranjang. Sorot matanya tajam, penuh rasa memiliki, namun di balik itu ada kelembutan yang hanya ditunjukkan pada gadis itu.

“Aku tidak ingin berbagi dirimu dengan siapa pun…” ucap Kaelith pelan, jemarinya menelusuri pipi Nayara. “Hanya aku yang berhak melihatmu seperti ini.”

Nayara terdiam, matanya basah menahan perasaan yang bercampur aduk antara rasa takut, pasrah, sekaligus hangatnya perhatian Kaelith.

Pria itu lalu menunduk, mencium kening Nayara, turun ke hidung, hingga akhirnya kembali pada bibirnya yang lembut. Ciumannya kali ini lebih dalam, penuh hasrat, membuat tubuh Nayara bergetar.

Tangan Kaelith mengusap rambut panjang Nayara, sementara tangan lainnya menahan pinggang gadis itu agar tetap dekat dengannya. Setiap sentuhan membawa Nayara semakin larut dalam arus perasaan yang tak mampu ia tolak.

Malam itu, hanya ada mereka berdua. Kaelith mungkin mencintai Nayara dengan cara yang keras namun penuh rasa memiliki, sementara Nayara menyerahkan dirinya, meski hatinya masih diliputi kebingungan ia belum benar-benar tahu apa yang ia rasakan pada Kaelith.

Pagi harinya, Nayara duduk di depan meja rias dengan rambut yang masih tergerai lembut, menatap bayangannya sendiri di cermin. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Kaelith tengah sibuk di lemari pakaian, memilah satu demi satu gaun dan pakaian santai, seolah-olah sedang memilih untuk dirinya sendiri.

"Yang ini akan terlihat cantik dipakai," ucap Kaelith sambil mengangkat sebuah dress berwarna krem, nada suaranya tegas, seakan tidak memberi ruang bagi Nayara untuk menolak.

Gadis itu hanya menarik napas panjang, lalu menatap jengah pada pantulan Kaelith di cermin. Ingin rasanya ia protes, mengatakan bahwa ia ingin memilih sendiri, namun lidahnya kelu. Ada rasa takut sekaligus pasrah karena pada akhirnya, pria itu selalu punya kuasa atas dirinya.

Kaelith yang menyadari tatapan Nayara mendekat, meletakkan gaun pilihan di atas meja rias, lalu membungkuk hingga wajah mereka sejajar.

"Apa yang kau tatap? Kau terlihat tidak puas," katanya sambil mengusap perlahan pipi Nayara.

Nayara buru-buru menggeleng. "Bukan begitu…" ucapnya pelan.

Kaelith tersenyum samar, kemudian menatapnya tajam. "Kalau begitu, kenakan apa yang kupilih. Aku ingin semua orang melihatmu hanya sebagai milikku."

“Hanya kau pesepakbola yang sibuk menentukan outfit seorang gadis,” cibir Nayara sambil melipat tangannya di depan dada. Tatapannya beralih ke arah gaun yang Kaelith letakkan di atas meja rias, jelas tidak seantusias pria itu.

Kaelith terkekeh lirih, lalu berdiri tegak dengan tatapan yang penuh percaya diri. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang melakukannya? Aku tidak percaya orang lain bisa memilihkan sesuatu yang pantas untukmu.”

Nayara menghela napas berat, ingin membalas tapi ia tahu percuma. Ia pun kembali menatap bayangan dirinya di cermin, mencoba menutupi keresahan yang sebenarnya mulai tumbuh di dalam dada.

Kaelith mendekat, menunduk hingga bibirnya hanya berjarak beberapa inci dari telinga Nayara. “Lagipula… aku suka melihatmu mengenakan apa yang kupilih. Itu membuatku merasa kau benar-benar milikku.”

Nayara menegang, hatinya berdebar tak karuan. Ia ingin menolak, tapi kalimat itu justru membuatnya terdiam, terperangkap antara logika dan perasaan yang masih belum jelas arahnya.

Nayara akhirnya meraih gaun pilihan Kaelith, meski matanya sempat melirik sekilas dengan tatapan enggan. Ia menghela napas panjang, lalu mengambil cardigan panjang yang tak pernah absen dari setiap outfit yang pria itu tentukan. Harus selalu menutupi lengan putihnya, seolah menjadi aturan tak tertulis yang Nayara tak bisa bantah.

Sementara gadis itu duduk kembali di kursi rias, Kaelith berdiri di belakangnya. Tatapannya di cermin begitu serius, tangannya terampil menyisir rambut hitam Nayara dengan jari-jarinya. Lalu perlahan, ia mulai mengepang rambut itu dengan penuh ketelatenan, seolah tak ada hal lain yang lebih penting saat ini.

“Kau tahu?” suara Kaelith terdengar rendah, nyaris berbisik di telinganya. “Aku lebih suka melihatmu seperti ini. Rapi, anggun… dan hanya untukku.”

Jari Nayara yang bertumpu di pangkuan mengepal perlahan. Gadis itu ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya membisu. Ia hanya menatap bayangan dirinya di cermin seorang gadis yang dikepang rambutnya, dipakaikan gaun pilihan orang lain, dan perlahan-lahan kehilangan kuasa atas dirinya sendiri.

Sekarang Nayara sudah duduk di kursi penumpang mobil Kaelith. Gadis itu hanya memandang keluar jendela, menyaksikan jalanan Sevilla yang ramai dengan aktivitas sore hari. Suara mesin mobil terdengar halus, sesekali bercampur dengan deru angin yang menerpa kaca.

Kaelith melirik sekilas ke arahnya, tangan kirinya memegang setir sementara tangan kanannya sempat terulur untuk menyentuh jemari Nayara. Namun gadis itu justru merapatkan tangannya ke pangkuan, pura-pura tak menyadari.

“Kenapa hanya diam? Kau tidak suka gaun yang kupilihkan?” tanya Kaelith, suaranya datar tapi jelas mengandung nada ingin tahu.

Nayara tetap menatap jendela, seakan mencari alasan untuk tidak bertemu dengan tatapan pria itu. “Aku hanya… sedang berpikir,” jawabnya singkat.

“Pikirkan aku saja,” balas Kaelith sambil terkekeh kecil, meski matanya tetap fokus ke jalan. “Bukankah itu lebih mudah?”

Nayara mendesah pelan. Gadis itu ingin melawan, ingin menjawab sinis, tapi hatinya justru terasa berat masih penuh kebingungan tentang perasaan yang ia miliki untuk pria di sampingnya ini.

Mobil berhenti tepat di depan gerbang kampus Nayara. Gadis itu meraih tasnya, bersiap turun, ketika Kaelith tiba-tiba menahan tangannya dengan genggaman kuat.

“Ingat, Nayara…” suara Kaelith merendah, namun tajam bagai pisau yang menusuk. Nafas hangatnya terasa di telinga gadis itu.

“Jika kau macam-macam… aku tidak akan segan-segan mematahkan kakimu. Atau…” ia mencondongkan wajahnya lebih dekat, hingga Nayara menegang ketakutan, “…melenyapkan wanita yang kini tengah melayani pelanggannya di rumah gubuk itu.”

Nayara membelalak. Ia tahu betul siapa yang dimaksud Kaelith yaitu adalah ibunya, Fredericka. Jantungnya berdegup kencang, tangan yang digenggam Kaelith gemetar tanpa ia sadari.

Kaelith tersenyum tipis, seolah ancaman itu hal sepele. Ia mengecup punggung tangan Nayara dengan perlahan, namun terasa menyesakkan.

“Sekarang turunlah. Jangan sampai aku berubah pikiran.”

Dengan wajah pucat, Nayara membuka pintu mobil. Langkahnya terasa berat, seakan rantai tak kasat mata masih mengikat tubuhnya pada pria yang kini menatapnya dingin dari balik kemudi.

Sepulang dari kampus, Nayara menyingkirkan semua keresahan yang masih menggelayuti hatinya. Ia memilih mengikuti langkah kakinya sendiri, menuju toko buku tempat Jayden bekerja. Saat pintu kaca berdering lembut, senyum lega langsung menyambutnya.

“Hai, Jayden. Maaf menunggumu lama,” ucap Nayara dengan nada sedikit canggung, namun matanya berbinar melihat wajah ramah pria itu.

Jayden menggeleng, bibirnya melengkung tipis. “Tidak apa. Padahal aku bisa menjemputmu di kampus, daripada kau harus repot kembali kemari.” Senyum hangatnya seperti selalu berhasil mengikis rasa takut Nayara.

Gadis itu hendak menjawab, tapi Jayden lebih dulu melangkah mendekat, menyingkirkan jarak di antara mereka. Ia meraih tangan Nayara dengan kelembutan yang membuat hati gadis itu bergetar berbeda jauh dari genggaman keras Kaelith yang selalu dipenuhi ancaman.

“Ayo kita pergi,” ucap Jayden sambil menatapnya tulus. “Aku akan mengajakmu ke suatu tempat… yang sudah aku janjikan kemarin.”

Nayara terdiam sejenak, menatap tangan mereka yang kini bertaut. Ada ketenangan aneh yang menyusup ke dalam hatinya, meski jauh di sudut pikirannya ia masih dihantui bayangan ancaman Kaelith.

Namun, untuk kali ini… ia ingin memilih mengikuti Jayden.

“Naik motor?” tanya Nayara ragu saat melihat Jayden kembali dengan membawa helm.

Pria itu tersenyum sambil menyerahkan helmnya pada Nayara. “Iya, lebih asyik menikmati angin sore dengan motor. Kenapa?”

Nayara menunduk sebentar, memegang ujung dress yang ia kenakan. “Tidak apa-apa… hanya saja aku merasa salah outfit. Aku pakai dress, Jayden.”

Jayden terkekeh kecil, matanya melirik lembut ke arah Nayara. “Dress-mu cantik, kok. Tenang saja, aku akan pelan-pelan supaya kau nyaman.”

Jayden melepas jaket hitam yang melekat di tubuhnya, lalu dengan sigap menyampirkannya ke pangkuan Nayara.

“Tutuplah kakimu dengan jaketku,” ucap Jayden lembut, seakan mengerti kegelisahan gadis itu.

Nayara terdiam sejenak, menatap wajah Jayden yang begitu tenang. Hatinya menghangat, bukan hanya karena jaket yang menutupi kakinya, tapi karena perhatian sederhana yang terasa begitu tulus.

“Terima kasih…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Jayden tersenyum, lalu menyalakan motornya. “Pegangan yang erat ya, Tuan Putri. Kita akan berpetualang sore ini.”

Motor Jayden melaju perlahan melewati jalanan Sevilla yang mulai ramai oleh cahaya lampu sore. Angin senja menerpa wajah Nayara, membuat helai rambutnya yang terlepas dari kepangan ikut berterbangan. Gadis itu awalnya ragu untuk memeluk, tapi getaran motor membuatnya akhirnya menggenggam erat jaket Jayden dari belakang.

Di sepanjang jalan, Nayara menatap gedung-gedung klasik bercampur modern, orang-orang yang tertawa di kafe terbuka, dan jalan batu yang dipenuhi musisi jalanan. Semua terasa hidup, seakan kota itu ingin memeluk dirinya yang selama ini merasa terkekang.

Tak lama, motor Jayden berhenti di sebuah dataran tinggi di pinggiran kota. Dari sana, Sevilla terhampar indah, cahaya senja berbaur dengan lampu kota yang mulai menyala.

Jayden turun lebih dulu, kemudian membantu Nayara melepas helmnya. “Aku ingin menunjukkan tempat ini. Biasanya aku datang ke sini kalau sedang ingin tenang,” ucapnya sambil menatap pemandangan kota di bawah sana.

Nayara terdiam, matanya berkilat karena cahaya jingga senja. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa bebas.

“Aku… tidak pernah melihat Sevilla seindah ini,” ucap Nayara lirih.

Jayden menoleh padanya, tersenyum kecil. “Sevilla selalu indah, Nayara. Hanya saja… kau mungkin baru berani melihatnya sekarang.”

Nayara berdiri di sisi pembatas batu, matanya terpaku pada gemerlap lampu kota yang perlahan menyala. Angin malam menyapu wajahnya, membuat cardigan yang ia kenakan berkibar pelan.

Jayden berdiri tak jauh darinya, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Sesekali ia melirik Nayara, melihat ekspresi gadis itu yang campuran antara takjub dan… rapuh.

“Cantik sekali, ya?” gumam Nayara pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

“Ya,” jawab Jayden singkat. Tapi ketika Nayara menoleh padanya, ia menyadari bahwa tatapan Jayden bukan pada kota, melainkan padanya.

Nayara buru-buru mengalihkan pandangannya, merasa wajahnya panas. “Kau… selalu ke sini sendirian?” tanyanya mencoba mengalihkan suasana.

Jayden mengangguk. “Biasanya. Aku ke sini kalau ingin mengingat… bahwa hidup, seberat apa pun itu, masih punya sisi yang layak disyukuri.” Ia terdiam sebentar, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. “Kau tahu, Nayara… aku juga pernah merasa seperti kau. Terjebak. Seolah dunia hanya memberiku beban. Tapi aku belajar kalau aku terus memandang luka, aku takkan pernah melihat cahaya.”

Nayara menggigit bibirnya. Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hatinya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia mencoba menahannya.

Jayden mendekat, menjaga jarak agar Nayara tidak merasa tertekan. “Kalau kau lelah, jangan paksa dirimu untuk kuat sendirian. Kadang, kita hanya perlu seseorang yang mau duduk diam di samping kita. Tidak menuntut apa-apa. Hanya… hadir.”

Air mata akhirnya lolos dari mata Nayara, mengalir di pipinya. Gadis itu menunduk, cepat-cepat menyeka wajahnya dengan punggung tangan.

“Maaf,” bisiknya.

Jayden menggeleng, lalu dengan hati-hati menyodorkan saputangan dari sakunya. “Tidak ada yang perlu kau minta maaf, tuan putri. Tangisan bukan kelemahan. Itu hanya tanda bahwa kau masih manusia.”

Nayara menerima saputangan itu dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dipahami tanpa paksaan, tanpa ancaman, hanya dengan ketulusan sederhana.

Jayden menatap Nayara yang masih diam sambil menggenggam saputangannya. Untuk mencairkan suasana, ia menoleh ke arah lampu kota lalu tersenyum kecil.

“Kau tahu,” katanya sambil menunjuk ke bawah bukit, “kalau dilihat dari sini, lampu-lampu itu seperti ribuan bintang yang jatuh ke bumi. Tapi kalau kau turun ke bawah, itu cuma lampu jalan biasa. Jadi… terkadang, keindahan cuma soal dari mana kita melihatnya.”

Nayara terdiam, lalu menoleh dengan wajah yang masih basah oleh air mata. “Kau selalu bisa membuat sesuatu yang sederhana terdengar… indah.”

Jayden terkekeh. “Atau mungkin aku hanya pandai berbicara omong kosong.”

Nayara menghela napas, lalu tanpa sadar tersenyum tipis. “Omong kosongmu cukup berhasil membuatku tenang.”

Jayden menoleh, pura-pura terkejut. “Benarkah? Wah, itu prestasi besar. Berarti aku harus lebih sering mengatakannya. Siapa tahu aku bisa jadi penulis buku motivasi murah.”

Nayara tertawa kecil, meski masih terdengar parau. “Aku tidak bisa membayangkanmu jadi penulis motivasi. Kau terlalu… cuek.”

“Cuek?” Jayden mengangkat alisnya, pura-pura tersinggung. “Hei, aku justru sangat perhatian, tahu. Buktinya…” ia menepuk jaket yang kini dipegang Nayara, “…aku rela kedinginan supaya seorang tuan putri tidak malu memakai dress-nya di motor.”

Pipi Nayara merona. Ia cepat-cepat menunduk, pura-pura melihat lampu kota lagi. “Kau ini… selalu saja membuatku tidak tahu harus bilang apa.”

Jayden tersenyum, kali ini lebih lembut. Ia tidak menambahkan kata-kata lagi, hanya berdiri di samping Nayara, membiarkan angin malam dan hening yang hangat di antara mereka berbicara.

Jayden yang sejak tadi hanya memandang Nayara akhirnya mengeluarkan ponselnya.

“Nay, berdirilah di sana, menghadap ke arah lampu kota,” ujarnya sambil menunjuk pagar besi di tepi bukit.

Nayara menoleh heran. “Untuk apa?”

“Sudah, ikuti saja.” Jayden tersenyum penuh misteri.

Dengan ragu, Nayara berdiri lalu membelakangi Jayden, pandangannya lurus ke hamparan lampu kota Sevilla yang berkelip di bawah sana. Angin malam menerbangkan helaian rambut panjangnya, membuat siluet tubuh mungilnya tampak begitu lembut di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.

Jayden mengangkat ponselnya, membidik sudut yang tepat, lalu tanpa ragu mengambil beberapa foto. Klik! Klik! Suara jepretan terdengar jelas.

Nayara menoleh cepat, matanya membesar. “Jayden! Kau… memotretnya?”

Jayden menyembunyikan senyumnya di balik ponsel, lalu memperlihatkan hasil fotonya. “Lihatlah. Kau… terlihat seperti bagian dari malam ini. Seperti… bintang yang lupa tempatnya.”

Pipi Nayara langsung memerah, ia cepat-cepat meraih ponsel Jayden, tapi pria itu lebih gesit menariknya ke belakang. “Hei! Hapus!”

Jayden terkekeh. “Tidak akan. Ini… koleksi pribadiku.” Ia menepuk dada sendiri dengan gaya main-main. “Hanya untukku.”

Nayara menggembungkan pipinya, antara kesal dan malu. “Dasar menyebalkan.”

Jayden hanya tertawa, menatap gadis itu dengan tatapan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi hangat, tulus, dan penuh rasa kagum.

Jayden akhirnya menyelipkan ponselnya kembali ke saku jaket, masih tersenyum puas melihat wajah Nayara yang merona.

“Ayo, tuan putri, sebelum anginnya makin dingin,” ucapnya sambil menepuk jok motor di belakangnya.

Nayara hanya bisa mendengus kecil, lalu mengenakan helmnya. Ia duduk pelan di belakang Jayden, ragu-ragu sebelum akhirnya tangannya melingkar di pinggang pria itu.

Jayden tersenyum tipis, merasakan dekapan lembut Nayara di punggungnya. “Pegangan yang erat, atau kau bisa jatuh kalau aku ngebut.” godanya setengah serius.

“Jangan gila, Jayden! Kalau kau ngebut, aku turun sekarang juga,” sahut Nayara cepat, membuat Jayden tertawa keras.

Mesin motor menyala, lalu mereka meluncur menuruni jalan berbukit. Angin sore menerpa wajah Nayara, membawa aroma asin laut Sevilla yang samar-samar. Lampu jalan mulai menyala, dan langit berubah jingga keemasan.

Di balik punggung Jayden, Nayara menutup mata sejenak, membiarkan dirinya menikmati momen itu rasa bebas yang sudah lama tidak ia rasakan.

Jayden melirik sekilas lewat kaca spion, senyumnya mengembang melihat Nayara begitu tenang bersandar di punggungnya. “Kau tahu?” ucapnya pelan, hampir tersapu oleh suara angin. “Aku senang kau mau ikut denganku hari ini.”

Nayara membuka mata, menatap punggung Jayden. Bibirnya terbuka sedikit, tapi kata-kata enggan keluar. Ia hanya mengeratkan pelukan kecilnya, seakan itu sudah cukup menjawab.

Motor itu terus melaju, membawa keduanya masuk lebih dalam ke dalam kebersamaan yang entah mengarah ke mana.

1
Widia Ar
udh dah kata gua mah nay nurut aja jadi cewe manis itu laki mau nya lu gitu nay pasti bakal dikasih dunia dan seisinya percaya dah Iyah kan othor .
Widia Ar
thor keren ihh tambah gemes Ama mereka berdua.
Widia Ar
the best
Widia Ar
thor semangat yah aku selalu menunggu mu
Seraphina: Terimakasih kak🥹
total 1 replies
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!