NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 7

Fajar menyingsing di Pondok Nurul Falah dengan udara yang lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman pondok, menutupi pandangan dari kejauhan. Suara burung-burung yang biasanya ramai terdengar di pepohonan pun seolah sayup-sayup, seperti enggan memecah kesunyian yang mencekam.

Dilara duduk di tepi ranjangnya, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan tatapan curiga para santri di ruang tamu tadi malam muncul kembali. Terutama tatapan puas Wulan yang begitu jelas meski hanya sesaat.

Salsa, yang tidur di ranjang sebelah, bangun dan langsung menatap Dilara. “Kamu nggak tidur sama sekali, ya?” tanyanya pelan.

Dilara menggeleng lemah. “Kepalaku pusing, Sal. Rasanya aku pengen pergi jauh aja… tapi aku nggak mau mereka menang.”

Mita, yang baru selesai mengambil air wudhu, masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya terlihat muram. “Lara… hati-hati hari ini. Aku denger dari pengurus, pagi ini Ummi mau manggil beberapa saksi lagi. Dan katanya ada barang bukti tambahan yang mau dibahas.”

Kata-kata itu membuat tubuh Dilara menegang. “Barang bukti… tambahan? Dari mana?”

Mita mengangkat bahu, tapi matanya penuh kekhawatiran. “Aku nggak tahu. Tapi cara ngomongnya pengurus tadi itu… kayak mereka udah yakin kamu salah.”

Salsa langsung memandang Mita dengan geram. “Jangan ngomong gitu! Lara nggak salah. Pasti ini ulah orang yang mau ngejebak.”

Dilara mengusap wajahnya, mencoba mengatur napas. “Aku nggak mau larut dalam ketakutan. Kalau aku takut, mereka yang menjebak akan puas.” Tapi meski bibirnya berusaha tegar, di dalam dadanya, rasa panik mulai tumbuh.

Pagi itu, setelah shalat dhuha, seluruh santri kembali dikumpulkan di ruang tamu asrama. Kain bermotif bunga yang semalam dibicarakan masih ada di meja depan, tapi kini di sampingnya ada sebuah bungkusan plastik transparan berisi… sandal hitam lusuh.

Ummi Latifah duduk dengan ekspresi serius. “Anak-anak, seperti yang sudah kita bahas tadi malam, ada dugaan pelanggaran aturan keluar masuk pondok tanpa izin. Selain kain yang ditemukan, pagi ini kita juga mendapat laporan dari Pak Satpam.”

Ia menoleh pada seorang laki-laki paruh baya yang berdiri di sudut ruangan. “Silakan, Pak Yusuf.”

Pak Yusuf melangkah maju. “Tadi pagi, saat ronda subuh di sekitar pagar timur, saya menemukan sandal ini di dekat tumpukan batu bata, persis di titik yang beberapa kali kami curigai jadi tempat memanjat. Sandal ini masih ada lumpurnya, dan… saya dapat info, sandal ini persis seperti yang sering dipakai salah satu santri.”

Beberapa santri mulai berbisik-bisik, sebagian melirik ke arah Dilara.

Ummi Latifah lalu berkata, “Kami sudah tanyakan pada beberapa pengurus, dan sandal ini cocok dengan milik Dilara.”

Dilara terbelalak. “Itu… bukan sandal saya! Sandal saya masih ada di rak!”

“Boleh kita lihat?” tanya Ustadzah Siti dengan nada dingin.

Dilara mengangguk cepat, lalu Salsa langsung berlari kecil ke kamar mereka untuk mengambil sandal Dilara. Tak sampai dua menit, ia kembali dengan membawa sepasang sandal hitam yang… memang identik dengan sandal di plastik itu.

“Hanya saja… punyaku masih bersih,” kata Dilara dengan suara lirih, memandangi sandal di tangannya.

“Betul,” kata Salsa, “dan kami sama sekali nggak tahu sandal itu dari mana.”

Wulan yang duduk di deretan belakang pura-pura mengangkat tangan dengan ragu. “Ummi, maaf kalau saya salah. Tapi… kayaknya saya pernah lihat Lara pakai sandal yang agak kotor waktu sore-sore di dekat sumur belakang. Tapi saya nggak yakin apakah itu sandal yang sama atau bukan…”

Tatapan semua orang lagi-lagi mengarah pada Dilara.

Salsa langsung mendesis. “Kamu fitnah lagi, Lan!”

“Sudah, sudah,” potong Ummi Latifah. “Kita akan simpan sandal ini untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, demi menjaga nama baik pondok, mulai hari ini Dilara tidak diperkenankan mengikuti kegiatan di luar asrama—termasuk ke kelas—hingga masalah ini jelas.”

“Ummi…!” Dilara memohon, matanya berkaca-kaca. “Tolong percaya, saya nggak keluar pondok!”

“Kalau kamu benar, buktikan. Kita akan panggil semua saksi yang diperlukan,” jawab Ummi Latifah tegas.

Keputusan itu membuat jantung Dilara seolah diremas. Tidak ke kelas berarti ia akan benar-benar terisolasi, dan gosip akan semakin liar.

Sementara itu, di luar ruangan, Wulan melangkah santai menuju halaman belakang. Di tangannya, ada ponsel yang ia sembunyikan di balik mukena. Ia mengirim pesan singkat pada seseorang.

“Bukti kedua sukses. Tunggu saja, sebentar lagi semua percaya.”

Pesan itu terkirim, dan ia menyelipkan ponselnya ke saku. Wajahnya terlihat puas.

Rani muncul dari balik lorong. “Lan, kamu yakin nggak bakal ketahuan? Kok aku jadi deg-degan.”

Wulan menatapnya sinis. “Tenang aja. Semua udah rapi. Kecuali kalau kamu tiba-tiba berubah pikiran dan ngomong ke pengurus, baru masalah. Tapi kan kamu nggak mau kehilangan semua fasilitas yang aku kasih, kan?”

Rani menelan ludah dan mengangguk pelan. “Iya…”

Di sisi lain, Gus Zizan sedang duduk di teras rumah kyai, memandang kosong ke arah halaman pondok. Pikiran tentang Dilara terus mengganggunya sejak tadi malam. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan membaca kitab, tapi setiap kali membuka halaman, wajah Dilara yang tegar namun ketakutan selalu muncul di pikirannya.

Devan, sahabat sekaligus asisten pribadinya, keluar sambil membawa dua cangkir teh hangat. “Gus, wajah panjenengan kok pucat? Sakit?”

Gus Zizan menggeleng. “Nggak… cuma kurang tidur.”

“Kurang tidur gara-gara mikirin masalah di asrama putri itu, ya?” Devan menyipitkan mata.

Gus Zizan terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Devan… aku nggak tahu kenapa. Tapi aku yakin Dilara nggak salah. Matanya itu… nggak mungkin mata orang yang berbohong.”

Devan tersenyum tipis. “Kalau gitu, kenapa nggak coba bantu dia?”

“Masalahnya… kalau aku terlalu ikut campur, orang akan curiga. Apalagi… gosip tentang aku dan dia bisa saja sengaja ditiupkan.”

“Tapi Gus… kadang kalau kita cuma diam, orang yang benar bisa kalah sama yang licik.”

Kata-kata itu membuat Gus Zizan terdiam lama.

Siang hari, suasana asrama makin tegang. Dilara hanya duduk di kamar, menatap keluar jendela. Salsa dan Mita berusaha menghiburnya, tapi pikiran Dilara terus mengembara. Siapa yang meletakkan sandal itu di dekat pagar? Dan kenapa harus sandal yang sama seperti miliknya?

Pukul dua siang, seorang santri pengurus mengetuk pintu kamar. “Dilara, Ummi Latifah mau ketemu kamu di ruang tamu sekarang.”

Jantung Dilara berdebar. Ia melangkah pelan, ditemani Salsa. Saat tiba di ruang tamu, ia terkejut melihat… Gus Zizan duduk di sana bersama Ummi Latifah. Pria itu bahkan sudah pulang cepat dari luar kota.

“Silakan duduk, Lara,” kata Ummi.

Gus Zizan menatapnya dalam-dalam, lalu berkata pelan, “Aku hanya mau tanya satu hal… demi Allah, kamu tidak pernah keluar pondok lewat pagar itu?”

Dilara menatapnya balik tanpa ragu. “Demi Allah, Gus. Saya tidak pernah.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Gus Zizan lalu berbalik pada Ummi Latifah. “Kalau begitu, izinkan saya menyelidiki hal ini. Saya punya cara.”

Ummi Latifah tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baik. Tapi ingat, Gus, kita harus hati-hati. Gosip di pondok bisa lebih tajam daripada pisau.”

Wulan, yang kebetulan melintas di lorong depan, mendengar sebagian percakapan itu. Wajahnya mengeras. Ia tak menyangka Gus Zizan akan turun tangan. Bibirnya menggumam pelan, “Kalau begitu… aku harus percepat rencana ketiga.”

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!