Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Di Dalam Kesunyian Gua
Suara burung-burung hutan memecah keheningan siang yang terlambat disambut. Embun sudah lama menguap. Sinar matahari menyusup melalui celah-celah daun tinggi, jatuh di atas rerumputan tempat Nieville tertidur.
Ia membuka mata perlahan. Nafasnya masih berat. Di sampingnya, Sword menggoyangkan sayap dan mengaum pelan. Seolah memanggil pelindungnya untuk kembali waras setelah mimpi buruk.
Nieville bangkit perlahan, mengusap wajahnya yang masih tampak lelah. Jubahnya kusut, rambutnya sedikit basah oleh embun.
“Aku bahkan belum merasa tidur,” gumamnya ke Sword. “Semalam... sungguh mengerikan.” Griffin itu hanya mengangguk pelan, lalu berdiri di sisinya.
Nieville bangkit berdiri, menatap langit. “Baru kali ini aku bertemu wanita agresif, nekat, dan ….” ia berhenti sejenak, “paling mengerikan dari semua putri bangsawan yang pernah kutemui.”
Suara derap kuda terdengar dari kejauhan. Val muncul di antara pepohonan, menuntun kudanya sambil membawa sebuah bungkusan kain dari pelana.
“Kau sudah bangun, Yang Mulia,” sapa Val, turun dari kudanya. “Aku membawakan makanan.”
Nieville duduk di atas batu, menghela napas. “Kalau itu dari rumah Fayye, buang saja. Aku tak mau muntah untuk kedua kalinya.”
Val tertawa pendek. “Tenang. Ini dari penginapan desa, bukan dari dapur keluarga Fayye.”
Ia duduk di batang kayu tumbang, melemparkan kantong makanan ke arah Nieville, yang hanya memandanginya tanpa niat membuka.
“Romanel menitipkan permohonan maaf,” lanjut Val. “Dia tidak tahu adiknya akan bertindak sejauh itu. Dia bersumpah akan mengurung Zetta sampai musim gugur datang.”
Nieville mengangkat alis. “Aku telah menerima banyak bentuk penghormatan. Tapi belum pernah ada yang datang dengan pakaian tidur dan niat menyerangku dari dalam selimut.”
Val menahan tawa. “Aku kira kau bisa menghadapinya.”
“Val,” bisik Nieville dengan nada getir, “aku bisa menebas dua orc sekaligus dalam sekali tebasan. Tapi menghadapi seorang wanita yang tersenyum sambil berkata ingin menyenangkanku… aku tidak punya pelatihan untuk itu.”
Val akhirnya tertawa keras. Tapi tawanya segera mereda saat ia menunduk, “Ada satu hal lagi… yang perlu kau tahu.”
Nieville melirik, “Apa?”
Val menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. “Zetta. Dia yang membuka jalur di tembok ladang Fayye. Dia tahu celah tua di balik bukit. Dia... yang memberi jalan pada orc untuk masuk.”
Dada Nieville terasa sesak, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Ia menatap jauh ke arah langit yang terang, tapi seolah tidak memantulkan cahaya ke matanya.
“Kenapa?” tanyanya pelan.
“Katanya… dia ingin menarik perhatian kerajaan. Membuat wilayah mereka dilirik. Menjadikan dirinya... bagian dari istana.”
Nieville mengusap wajahnya, napasnya makin berat. “Dengan membakar ladangnya sendiri?”
“Orang putus asa kadang tak tahu di mana batas bahaya,” jawab Val datar. “Atau mungkin mereka terlalu yakin semua akan berjalan sesuai rencana mereka.”
Tak ada yang bicara sesaat. Hanya suara daun jatuh dan napas dua lelaki muda yang sama-sama merasa lelah.
“Kalau semua bangsawan mulai bertindak seperti ini… Acalopsia akan runtuh, bukan karena orc, tapi oleh kaum kita sendiri.”
*****
Pegunungan utara selalu gelap. Bahkan siang hari pun tampak seperti senja yang tak selesai.. Kabut tebal menggantung abadi di celah-celah batu. Suara angin membawa jeritan samar dari masa lalu yang telah mati.
Pada sebuah gua besar yang menyembul dari tebing curam, kegelapan hidup seperti makhluk yang bernapas. Cahaya obor menyala sepanjang hari di dinding-dinding gua. Membentuk bayangan-bayangan mengerikan. Asap hitam menyeruak membawa bau darah, logam, dan daging yang membusuk.
Seekor orc pincang tertatih-tatih memasuki lorong utama dengan napas tersengal. Tubuhnya penuh luka. Hanya dia yang tersisa, dari ratusan orc yang dikirim ke ladang gandum Fayye.
Ia berjalan melewati sesama orc yang menunduk, membisu. Tak satu pun menyambutnya. Mereka tahu: kembali dalam keadaan kalah lebih buruk daripada mati di ujung pedang elf.
Sampai di ujung gua, Dorion tengah duduk di singgasananya.
Sosok besar itu tak tampak jelas. Tubuhnya tinggi melebihi orc lain, kulitnya bukan hijau atau abu, tapi hitam legam Dari balik jubah hitamnya, hanya matanya yang menyala … dua titik merah seperti bara yang tak pernah padam. Bahkan api pun enggan menyentuh kegelapan Dorion.
Suaranya dalam, berat, dan menggema hingga dinding gua bergetar.
“Siapa... yang kembali?”
Setiap kata darinya mengalir bagaikan racun.
Orc itu menunduk, lalu berlutut dengan gemetar.
“Aku, Tuanku… hanya aku yang selamat dari ladang Fayye... Pasukan kerajaan tiba-tiba datang… mereka menghabisi kami. Mereka …. mereka tahu kedatangan kami….”
Suasana sejenak hening. Dorion berdiri. Satu langkahnya menggema. Tiba-tiba, dalam satu ayunan kasar, ia mencengkeram tubuh orc itu dan mengangkatnya dengan mudah ke udara.
“Mereka tahu karena kalian bodoh!”
Suara Dorion terdengar menggelegar menunjukkan kemurkaan. Angin kencang menyapu isi gua. Beberapa obor padam.
“Elf-elf itu menipu kalian! Mereka membuka ladang untuk memancing kita seperti binatang.” Tangannya meremas orc malang itu, tulangnya berderak.
“Dan kau… membawa kekalahan ini ke hadapanku?!”
Dengan satu gerakan brutal, tubuh orc itu dicabik, daging dan tulangnya tercecer di lantai gua, menjadi genangan darah pekat. Lalu berubah menjadi lumpur hitam berbau busuk.
Semua orc yang menyaksikan menunduk lebih dalam. Tak satu pun berani bergerak. Tak satu pun berani bernapas terlalu keras.
Dorion menoleh pada pasukan yang tersisa. Suaranya menurun, tapi tak kalah mengerikan.
“Dengarkan aku, kalian yang bertubuh busuk dan berhati keruh…”
Ia menunjuk dinding gua, di mana lukisan kasar terpahat—lukisan elf dengan sayap cahaya, dikelilingi bintang.
“Mereka adalah musuh sejati. Mereka membuat dunia ini terang agar bayangan tak punya tempat bersembunyi. “Kita akan menguasai daratan ini... hanya jika mereka semua lenyap dari permukaan.”
Ia melangkah mundur, kembali ke singgasananya yang terbuat dari tumpukan tulang belulang hewan.
“Jika kau ingin menaklukkan para elf… jangan masuk ke ladang mereka seperti binatang lapar. Tunggulah saat mereka lalai … baru setelah itu, kita serang!”
Dari bagian gua yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih sunyi, terdengar suara aneh. Berisik … bergetar seperti batu yang retak. Disusul suara geraman berat, bukan seperti suara orc… melainkan sesuatu yang lebih besar. Lebih buas. Lebih haus darah.
Trrkk… clang! Clangg! Suara rantai diseret. Ditarik. Dihantamkan.
Satu jeritan rendah terdengar, campuran amarah dan kegilaan. Dinding-dinding gua bergetar, membuat nyala obor bergoyang.
Pasukan orc yang ada langsung mundur setapak. Sebagian membungkuk dalam ketakutan.
Dorion tidak menoleh.
Ia hanya duduk kembali di singgasananya. Lalu ia tersenyum tipis.
“Jangan ganggu dia…” katanya dingin. “Belum saatnya dia keluar. Tapi sebentar lagi … waktu itu… akan tiba.”
Suara rantai dari kedalaman gua kembali terdengar, kini lebih ganas. Seolah makhluk itu sudah muak dikurung. Hanya menunggu perintah terakhir untuk dilepas ke dunia.