Bukan Suami Pilihanku

Sungguh pasangan yang cocok. Tatapannya sama-sama mengerikan. batin Rey.

"Tu,, Tuan. Tatap-tatapannya dilanjutkan nanti di rumah saja. Karena sebentar lagi ada rapat dengan perusahaan G. Corp." ucap Rey sambil menatap jam di pergelangan tangannya.

Nira yang tahu, tanpa harus menunggu diusir oleh Arka, dia melenggang pergi tanpa pamit. Saat akan keluar, bersamaan dengan masuknya wanita tinggi berkulit putih, halus, dengan memakai pakaian seksi.

"Ck! Pakaian kurang bahan saja dipakai!" sindir Nira dengan sangat pelan, bahkan mungkin tak didengar oleh wanita cantik itu. Cintya yang tak lain adalah sekretaris Arka, hanya menatap Nira sekilas lalu masuk menghadap atasannya.

_____

Di dalam mobil, Nira celingukan mencari keberadaan mama mertuanya yang seharusnya masih menunggunya.

"Mama kemana, Pak?" tanya Nira pada pak Tono, supir pribadi mama Sovi.

"Oh, Nyonya besar tadi pesan, kalau beliau mendadak harus segera pulang dan langsung bertolak ke Jerman karena Tuan besar sakit, katanya." jawab pak Tono.

"Papa sakit? Sakit apa, Pak?" Nira pasang wajah serius.

"Saya tidak tahu, Nona." jawab pak Tono.

Setelah sejenak termenung, Nira lalu membuka pintu mobil. "Pak, tunggu sebentar ya!" pesan Nira dan dibalas anggukan oleh pak Tono.

Sedangkan Arka, setelah kepergian Nira dari ruang kerjanya, dia duduk kembali di kursi kerjanya sambil memijat keningnya.

"Kamu lihat, Rey? Dia sudah sangat berani sekarang. Kalau bukan karena saham milik orang tua menyebalkan yang sudah pernah mempermalukanku itu, mana mau aku menikahi anaknya yang tak tahu diri itu." ujar Arka dengan wajah geramnya.

"Tapi untuk apa saham itu, Tuan? Bukankah itu tak ada apa-apanya bagi Anda?" tanya Rey dengan wajah bertanya-tanya. Karena memang dia tidak tahu jalan pikiran tuannya. Untuk apa meminta saham yang tak ada nilainya bagi seorang Arka Wiratama. Bukankah perusahaan milik pak Hendra tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan milik Arka?

"Ck! Kau itu bodoh sekali, Rey. Apa kamu lupa, aku pernah dipermalukan oleh si tua bangka itu? Dulu dengan sombongnya menolak kerja sama denganku! Ini awal pembalasan untuk si tua bangka itu. Aku tidak sabar untuk segera melihat kehancurannya. Perusahaannya bangkrut, ditambah anaknya aku ceraikan." ujar Arka dengan senyum sinis menghiasi wajah tampannya. Dia lalu bersandar di kursi kerjanya sambil membayangkan betapa terpuruknya keluarga Hendra saat itu juga.

Tanpa Arka dan Rey sadari, dari luar ruang kerjanya, ada orang yang sedang mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Nira, yang kembali lagi karena hendak memberi tahu Arka kalau papanya sakit.

Tapi ternyata dia tidak sengaja mendengar percakapan antara Arka dan Rey. Nira tak menyangka, ternyata karena itulah alasan Arka mau menikahinya. Dia mengurungkan niatnya dan segera meninggalkan tempat itu.

Pak Tono menatap Nira yang baru saja masuk kembali ke dalam mobil dari kaca spion. Entah apa yang terjadi karena wajah nonanya terlihat sedih.

Nira duduk di belakang sambil melamun menatap keluar jendela. Beberapa tetes air mata jatuh ke pipi mulusnya. Sesekali Nira menyeka air mata itu. Bukan sedih karena tersakiti akan ucapan yang keluar dari mulut Arka yang tak sengaja didengarnya tadi. Tapi dia terharu pada papinya yang rela memberikan saham perusahaan yang sudah dirintis dari nol kepada Arka demi meminta Arka agar mau menikahinya. Betapa besar pengorbanan papinya demi dirinya.

"Nona, kenapa menangis? Apakah tuan Arka menyakitimu?" tanya pak Tono.

Nira tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak." jawab Nira singkat.

"Antar ke rumah papa saya, Pak." imbuh Nira dibalas anggukan oleh pak Tono.

🍃🍃🍃

Luxury Residence,

Rumah Arka tampak sangat sepi karena Arka sendiri belum pulang. Padahal sudah jam delapan malam, tapi dia belum menunjukkan batang hidungnya.

Sedangkan mama Sovi, pulang ke Jerman ke rumahnya yang berada di sana. Dia mendadak pergi tanpa pamit karena papanya Arka tiba-tiba saja jatuh sakit.

Nira yang sudah pulang sejak sore tadi dari rumah papanya, saat ini sangat merasa kesepian. Bagaimana tidak, saat makan malam tadi, dia hanya makan seorang diri. Seharusnya, dia makan malam bersama suaminya, tapi apa boleh buat karena suaminya tak pulang-pulang, dari pada mati kelaparan lebih baik makan seorang diri.

Nira duduk di sofa ruang tengah dengan tangan menyangga dagunya. Sudah berapa banyak cemilan yang ia habiskan untuk menemani kesepiannya. Bisa-bisa belum genap satu bulan menikah dengan Arka, dia sudah gemuk, bulat seperti bola.

"Ahh, bosan! Aku mau ngapain?" Nira berfikir keras.

"Oiya! Kenapa aku sampai melupakannya?" ucapnya dengan sumringah lalu berjalan menuju kamar yang dari tadi tertutup rapat. Sesampai di depan kamar itu, tanpa mengetoknya, Nira langsung membuka pintu itu.