"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
"Udah sore. Mau pulang?" Revano mendongak, melihat matahari yang hampir terbenam di ufuk barat. Tanpa terasa, hari terakhir di Kalimantan sangat berkesan bagi Risya. Tapi tidak sampai nanti.
"Di sini nggak ada puncak, ya? Atau apa gitu yang bisa lihat matahari tenggelam," ucap Risya sambil memperhatikan sekitar.
Revano terdiam, berfikir cepat.
"Ada." Revano mengangguk.
Risya bersorak girang, akhirnya. "Kita ke sana, ayo."
Revano menahan pergelangan tangan Risya. "Pesawat kita terbang malam ini, setengah sembilan. Yakin mau lihat sunset dulu? Kamu nanti nggak punya waktu istirahat."
Risya tersenyum. Baginya, ucapan Revano kali ini adalah ungkapan perhatian Revano untuknya. "Jangan khawatir, aku bisa istirahat di pesawat, 'kan?"
Revano mengangguk. Terlintas satu ide dalam benaknya. Ini bisa menebus kesalahannya terhadap sahabat lamanya yang ia temui di Kalimantan.
***
Risya berdecak kagum. Revano tidak membawanya ke puncak, tetapi ke pantai. Tepat di hadapannya kini tengah ramai para pengunjung yang mungkin memang sengaja menunggu sunset yang akan datang.
"Suka?" Revano tersenyum simpul melihat wajah Risya yang terkena pancaran siluet matahari. Terlihat merona bahagia.
"Suka banget. Makasih ya, Pan." Risya tanpa sadar memeluk lengan Revano. Senyumnya mengembang dengan tatapan tidak terlepas dari matahari yang siap menghilang.
"Di sini aku mau jelasin sesuatu sama kamu." Risya segera tersadar tengah memeluk lengan Revano kala Revano bersuara. Dengan cepat ia menarik tangannya, kemudian menatap Revano dengan wajah memerah, malu.
"Sepertinya kamu belum menemukan seseorang yang membantu kamu melupakan Alex," ucap Revano.
Risya terdiam. Dalam hati bergumam, 'Kamu orang yang membantuku melupakan Alex, Pan.'
"Kamu ingat ucapanku saat itu?" Risya mengangguk, dia selalu mengingat ucapan Revano.
"Apa?" Revano bertanya, menaik-turunkan alisnya.
"Aku harus jadi matahari yang membuat Alex kepanasan. Intinya itu. Aku nggak bisa jelasin panjang lebar kayak kamu saat itu," ucap Risya sambil cengengesan.
"Caranya gimana?" Revano kembali bertanya.
"Aku harus bisa lupain Alex dan ..." Risya mengetuk dagunya, berfikir. Kemudian menggidikkan bahunya. "Apa ya?"
"Kamu harus bisa buka hati untuk orang yang baru," ucap Revano sambil menjentikkan jarinya ke hidung Risya, reflek.
Risya terdiam, tersenyum kecut. 'Kalau aku buka hati buat kamu?' batin Risya bertanya. Tidak mungkin ia berani mengatakan itu pada Revano.
"Jadi ...?"
"Jadi?" Risya mengulang pertanyaan Revano, bingung.
"Jadi kamu harus bisa buka hati untuk orang yang akan dijodohkan untuk kamu," ucap Revano, tersenyum.
Deg!
Risya terdiam. Sempat terbesit difikirannya kalau Revano akan mengatakan, membuka hati untuk dirinya bukan orang yang dijodohkan Papanya.
"Nggak pa-pa. Awalannya memang berat, tapi kamu pasti bisa. Mulai pendekatan dengannya, mengenal satu sama lain ...."
"Kamu tahu siapa orangnya?" Risya dengan cepat bertanya. Menghalau rasa tidak nyaman kala Revano membahas hal yang sama sekali di luar keinginannya.
Lihatlah. Matahari hampir terbenam, sunset sebentar lagi akan terbentuk. Tapi, kenapa Revano membahas hal yang membuat Risya tidak nyaman?
"Aku tahu, bahkan kamu juga tahu. Kita bertemu pertama kali bertemu di rumahmu," ucap Revano sambil tersenyum. Sebenarnya ada yang tidak nyaman dalam hatinya, tapi Revano berusaha menghalau itu.
"Siapa?" Risya bertanya dengan nada bergetar. Berusaha keras agar bulir bening yang siap meluncur tidak segera meluncur.
"Itu orangnya," ucap Revano sambil menunjuk seseorang di belakang Risya. Dimas.
Dimas tersenyum riang, melambaikan tangannya pada Risya dan Revano. Revano membalas lambaian tangan Dimas, tapi tidak dengan Risya.
"Hai, Risya."
Risya membuang muka, menghapus air mata yang berhasil lolos. Kemudian menghadap Dimas yang tersenyum riang di hadapannya.
"Kalian sudah lama di sini?" tanya Dimas.
"Belum lama. Kita lagi nunggu kamu, Dim," Revano menjawab, melirik Risya yang diam saja.
"Sya, kamu ingat apa kataku tadi? Berusahalah. Semuanya akan baik-baik aja," ucap Revano sambil tersenyum. Senyum yang satu hari ini begitu mudah Risya dapatkan.
Dimas menatap Risya.
"Aku harus pergi, kalian berdua di sini nggak pa-pa, 'kan?" tanya Revano sambil memperhatikan jam tangannya, seolah ia sudah ada janji dengan seseorang.
"Kamu mau ke mana?" Risya bertanya, dengan nada bergetar. Masih berusaha mengendalikan.
"Membuat kesempatan agar kamu mengenal calon tunanganmu," bisik Revano agar tidak terdengar Dimas.
"Hati-hati, Bro. Dia aman sama aku," ucap Dimas sambil mengedipkan matanya, memberi kode pada Revano.
Revano mengangguk. "Sebelum jam delapan kamu antar pulang, Dim. Masih ingat alasannya, 'kan?"
Dimas mengangguk, Revano sudah memberitahunya tadi.
"Tapi, aku ke sini sama kamu, Pan." Risya masih berusaha membujuk Revano agar tidak meninggalkannya bersama Dimas.
"Sama aku aja, Ris. Kan sama aja," ucap Dimas, menggandeng tangan Risya, tersenyum.
Revano berjalan meninggalkan dua orang di belakangnya. Ada rasa tidak nyaman kala mendengar nada suara Risya yang benar-benar seperti memohon padanya tadi.
Tapi Revano berusaha menghalau rasa itu. Ini sudah tugasnya dari Putra. Dia pasti bisa.
Risya menatap punggung Revano. 'Teganya dia ninggalin aku di sini. Sama orang asing. Padahal dia bilang, dia adalah sunset-ku. Aku belum nagih kata-kata itu.'
***
Revano tidak benar-benar pergi dari sana. Dia memantau Risya dan Dimas dari dalam mobil. Entahlah. Revano merasa, dia memang harus melakukan itu.
Revano baru pergi saat sunset telah benar-benar terbentuk.
Sunset jelas terlihat dari tempat Risya berdiri saat ini, bersama Dimas. Pemandangan yang menakjubkan. Ini lebih menakjubkan dari sunset yang pernah Risya lihat saat di Surabaya, bersama Revano.
Tapi ... entahlah. Risya merasa sunset ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan pemandangan di danau yang ada di Surabaya. Masih indah di sana, karena ....
"Cantik ya, Ris?" Dimas menoleh pada Risya, bertanya.
Risya melirik Dimas, mengangguk sekali.
"Seperti kamu." Dimas mencoba menggoda Risya. Sejak dari perginya Revano, Risya lebih banyak diam. Pun sekarang.
"Sejak kapan kamu dijodohin sama aku?" Risya bertanya, pertanyaan yang di luar akal Dimas.
"Revano udah ngasih tahu?" Dimas tersenyum senang.
Beberapa hari lalu Revano bertanya pada Dimas, apakah Dimas adalah calon tunangan yang pernah Putra katakan padanya. Dimas mengatakan iya, dan meminta bantuan Revano agar mendekatkan ia dengan Risya.
Revano setuju. Jelas, karena itu tugas yang diberikan Putra. Dan dua hari kemarin Dimas dibuat kecewa oleh Revano, dan saat ini Revano membayar rasa kecewa itu. Dengan memberi tahu Risya siapa Dimas sebenarnya.
"Siapa yang memberitahu Epan? Kamu? Atau Papa?" Risya bertanya, nada suaranya terdengar tidak bersahabat.
Dimas memandang Risya, wajahnya terkena pancaran siluet matahari yang sudah tenggelam. Menyisakan warna jingga yang sangat-sangat menakjubkan.
"Dia pernah memastikannya denganku, sepertinya dia sudah diberitahu Om Putra," ucap Dimas, tersenyum.
Risya terdiam, menghadap ke depan. Keadaan hening, sampai Risya memutuskan untuk pulang.
••••
Bersambung