Demi bisa mendekati cinta sejatinya yang bereinkarnasi menjadi gadis SMA. Albert Stuart rela bertransmigrasi ke tubuh remaja SMA yang nakal juga playboy yang bernama Darrel Washington.
Namun usaha mendekati gadis itu terhalang masa lalu Darrel yang memiliki banyak pacar. Gadis itu bernama Nilam Renjana (Nilam), gadis berparas cantik dan beraroma melati juga rempah. Albert kerap mendapati Nilam diikuti dua sosok aneh yang menjadi penjaga juga penghalang baginya.
Siapakah Nilam yang sebenarnya, siapa yang menjaga Nilam dengan begitu ketat?
Apakah di kehidupannya yang sekarang Albert bisa bersatu dengan Cinta sejatinya. ikuti kisah Darrel dan Nilam Renjana terus ya...
Novel ini mengandung unsur mitos, komedi dan obrolan dewasa (Dimohon untuk bijak dalam membaca)
Cerita di novel ini hanya fiksi jika ada kesamaan nama dan tempat, murni dari kreativitas penulis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Ilusi Atau Nyata
...Happy Reading 🩷🫶...
💎POV NILAM
Semilir angin di malam itu...
"Rel, ini kita gak akan jatuh kan?" tanyaku dengan cemas.
Darrel tersenyum tipis, senyuman itu terlihat... Manis. Sorot matanya yang menghipnotis tidak pernah lepas dari mataku. "Percayalah padaku, aku selalu menjagamu," katanya, suaranya santai, namun ada ketegasan di balik suaranya yang membuatku harus bergantung hanya padanya.
Aku mengangguk pelan dengan terus menatap lekat manik matanya yang seperti langit, terkadang berwarna kelabu menyimpan banyak amarah dan terkadang berwarna biru. Kucoba memberitahu perasaanku padanya lewat tatapanku. Aku berusaha menetralisir degup jantungku untuk mencerna apa yang terjadi saat ini.
Tangan Darrel menyentuh rahangku dengan lembut, mengusap pipiku dengan ibu jarinya hingga ke bibirku yang baru saja ia kecup secara perlahan. Seolah ciuman tadi hanyalah sebuah appetizer yang akan menambah selera makannya lebih lahap lagi.
"You're so beautiful... " bisiknya seraya menatapku lebih dalam seolah mengunci pandanganku sepenuhnya.
Jantungku semakin berdegup kencang, iramanya semakin terdengar di telinga. Sepertinya udara di sekitarku terasa kian menipis.
Ciuman itu kembali, lembut... Dan penuh intensitas yang tidak terduga. Aku kesulitan mengimbanginya. Sentuhannya halus, tapi ada kehangatan yang luar biasa, seolah dia ingin menyalurkan perasaan yang selama ini ia pendam.
Bibirnya bergerak pelan, penuh dengan rasa yang sulit ku gambarkan—perpaduan antara kehangatan dan gelora. Seolah setiap gerakan bibirnya melukiskan perasaannya yang begitu dalam padaku.
Darrel yang selama ini selalu dingin dan pemarah jika melihatku, kini ia memelukku dan mencium ku dengan penuh perasaan.
Apakah cintaku bersambut?
Sejak kelas satu SMA aku diam-diam menyukainya, karena suatu hal. Dia membelaku di depan semua orang di sekolah. Hal yang tidak pernah aku jumpai di lingkunganku, selain pembelaan dari Bram dan Mariana, kedua sahabatku.
Namun setelah itu, Darrel kembali dingin dan angkuh padaku. Dia hanya sesekali melirikku dari jauh, lalu kemudian kembali tak acuh.
Jemarinya meraba pinggangku hingga bo kongku, aku berontak sontak mendorong dadanya dengan kuat. Aku seperti melayang dari ketinggian dan...
Bruaakk!
"Kamu bilang gak akan jatuh, Rel!" omel ku dengan wajah kesal.
Tangannya dengan kasar menarik-narik ku dan samar kudengar "Nil! Beliin aku ketoprak, laper nih??"
Namun aku dengar itu suara Rose. Mataku terbuka perlahan. 'Ah, sial! Lagi-lagi aku dipermainkan oleh ilusi tentang Darrel.' gumamku sambil memukul kepala dengan pelan.
"Roseee!!!" aku berteriak kesal. Karena dia yang memutus mimpiku tentang Darrel. Gadis sengklek itu yang menarik tubuhku hingga membentur lantai marmer.
"Gue laper, Nil. Lo enak pulang kerja langsung tidur, gue harus balikin kostum maskot dulu ke madam. Cepet sana keluar beliin gue ketoprak." Rose membentak ku.
Aku berdiri tegak di depannya. Menarik kerah bajunya dan mencondongkan tubuhku sedikit dekat wajahnya. "Kaki dan tanganmu kemana? Mau aku patahin kakimu, iya?!" bentakku.
"Pemalas!! Kamu pikir aku babumu! Kamu yang pantas menjadi babuku, karena kamu sudah menikmati harta pemberian ibuku, Nyimas Maheswari!" desisku mengingatkan hutang-hutang keluarganya.
Rose menggigil ketakutan, "Ja-jaaddii... Kamu sudah tahu siapa ibumu?" tanyanya dengan pupil mata yang semakin mengecil, tanda ia stress dengan kenyataan yang baru saja ia dengar. Antara keinginan untuk berjuang atau melarikan diri.
Aku menepuk pipinya dengan sedikit kasar, "Jika kamu masih mau hidup, ikuti aturan ku. Mengerti?!"
Rose mengangguk pelan lalu ia berjalan dengan cara menyapu pahanya di lantai (mengesot), menarik tubuhnya keluar dari kamarku.
Aku merentangkan tubuh, tangan dan kaki kubentangkan di ranjang yang dulu di tempati Rose, ranjang ini begitu lembut dan empuk. Jauh berbeda dengan ranjang yang dulu aku tempati. Berbau lembab dan busanya sangat tipis karena di makan usia. Kamar yang sekarang menjadi tempat peristirahatan Rose setiap hari.
~POV NILAM END~
...🦇 🦇...
...🦇...
Ku ingin hari ini tanpa ilusi.
Seorang maid kembali membawa nampan yang masih penuh, makanan yang ia sajikan tadi pagi tidak ada yang disentuh. Kepalanya menggeleng lemah saat di tatap majikannya.
"Pa, apa papa nggak curiga dengan Darrel... dia lebih sering menurung diri di kamar dan membaca buku berjam-jam di dalam sana. Padahal dulu dia paling tidak suka jika di suruh baca," ucap Cleo.
"Kamu itu aneh, anak nggak pulang khawatir, anak di rumah terus dan hobi baca juga khawatir. Anakmu memang berbeda dari yang lain mam, jangan kamu bikin khawatir berlebihan," Santanu yang sedang menandatangani dokumen mulai memfokuskan diri pada wajah istrinya.
"Kondisi dia seperti itu, apa yang kamu khawatirkan?" imbuhnya.
"Ma... mama khawatir dia punya trauma dan memendam sesuatu. Mama lihat sekarang dia seringkali senyum-senyum sendiri, semua pakaian santainya ia buang dan seharian memakai jas dan baju formal.
"Mungkin udah saatnya papa beri dia tanggung jawab perusahaan, ma" jawab Santanu
"Pa, biar dia lulus SMA dulu. Anak itu jangan di kasih beban yang berat,"
"Mama terlalu memanjakan dia, putra papa cuma Darrel kalau dia tidak di didik mimpin perusahaan dari sekarang, kapan lagi."
"Apa yang kalian ributkan?" suara dingin Darrel menambah ketegangan di antara mereka.
"Rel, papa ingin kamu belajar menjalankan bisnisnya, mama bilang kamu harus fokus sekolah dulu, begitu kan mau kamu?" tanya Cleo hati-hati.
"Tidak masalah, kapan kita mulai... " tantang Darrel dengan sikap dan nada dinginnya.
Santanu dan Cleo saling pandang.
Senyuman segaris menghias di wajah Santanu, "setiap kamu pulang sekolah, kamu bisa langsung ke kantor cabang di Jakarta Selatan, kamu akan di bimbing Leonard untuk semua hal," ucap Santanu.
Darrel menganggukkan kepalanya, "tapi aku butuh assisten, dan aku ingin teman sekolahku yang menjadi assistenku, Pa... dan, beri kami salary sesuai jabatan, bukan salary anak magang." Darrel menaikkan alisnya, senyuman asimetris menghias wajahnya.
"Okay'... bulan pertama hanya 70% dari gaji yang seharusnya, papa harus melihat dulu kinerja kalian. Selanjutnya tergantung Leo menilai pekerjaan kalian."
Darrel manggut-manggut, lalu pergi begitu saja meninggalkan kedua orangtuanya.
Cleo dan Santanu nyaris kehabisan napas saat Darrel berada di antara mereka, aura anaknya kini sangat berbeda, kemanjaan dan sikap masa bodoh Darrel yang dulu tidak pernah mereka rasakan lagi.
"Kenapa setiap ada di dekatnya, nafasku terasa berhenti Pa," Cleo meraba dadanya yang berdegup kencang.
Santanu juga merasakan seperti itu, tapi sebagai seorang kepala keluarga, ia harus menjaga image di depan anak dan istrinya. "Papa rasa biasa saja, mama terlalu berlebihan," ucapnya, suaranya terdengar goyah.
Keesokan harinya, Darrel menemui Nilam di perpustakaan. Gadis itu seperti biasa, menjadi relawan di perpustakaan sekolah untuk mendata buku-buku dan membersihkan rak dari debu.
"Nilam Renjana" panggil Darrel dengan nada dingin dan menggelar.
Semua mata menatap tajam padanya karena kegiatan membaca mereka terganggu karena ulah Darrel
"Ya Tuhan! Kamu bikin aku kaget aja!" desis Nilam seraya membulatkan matanya. Lalu menarik Darrel ke luar perpustakaan.
Meski jantung Nilam berdegup kencang saat di dekat Darrel, ia harus terlihat tegang dan... Jutek!
"Kamu kenapa sih senang sekali bikin heboh, dan selalu mencari masalah denganku akhir-akhir ini!" omel Nilam.
Tatapan Darrel terus ke arah bibir Nilam, gadis itu mengerti kemana arah tatapan Darrel, Nilam mengulum bibirnya ke dalam dan menguncinya dengan rapat hingga bibir itu membentuk sebuah garis tipis. Darrel tersenyum, lalu menaikan pandangannya ke arah mata Nilam, menatapnya dengan mesra.
"Apa kamu berharap, aku datang untuk menciummu lagi, Nilam?" ucapnya dengan tatapan nakal.
Nilam melebarkan bola matanya dan membuka mulutnya, "Apa maksudmu dengan... 'lagi' ?" Kontrol diri Nilam mulai goyah, "kita tidak pernah melakukannya, jangan mimpi kamu!" bentak Nilam.
"Kamu pikir itu hanya mimpi, Nilam? Kamu bilang ingin menjadi pacarku daripada dipacari si genderuwo yang bernama Wisesa, atau siapa namanya yang kamu kenal ya, ehm... Megantara" ucapnya dengan tatapan mengejek.
Wajah Nilam berubah merah padam, malu dan marah bercampur jadi satu. "Aku tidak mengerti ucapanmu, jangan membual Darrel, kita tidak pernah berciuman!" bantah Nilam dengan tegas
Karena kemarin yang ia rasakan hanya sebuah mimpi atau mungkin ilusi. Ya, Nilam meyakini kejadian kemarin hanya sebuah ilusi hingga terbawa sampai ke alam mimpi.
Darrel melangkah mendekat, Nilam melangkah mundur, hingga beberapa langkah akhirnya punggung Nilam membentur tembok. Menciptakan ketegangan di antara mereka.
Kedua mata mereka saling terpaut.
Hingga Darrel membungkukkan tubuhnya mensejajarkan tinggi Nilam, dan kini bibir mereka saling berdekatan beberapa Milimeter saja, jarak yang teramat tipis. Mereka sampai bertukar napas karena terlalu dekat.
Cup!
Kecupan itu tipis dan sangat singkat, namun membuat jantung Nilam serasa ingin keluar dari dadanya.
'Tuan, jangan beri aku ilusi lagi. Jika ini ilusi hangus lah kau terpanggang matahari, tuan!' pinta Nilam di dalam hatinya.
Ketegangan begitu kental memeluk mereka.
"Mulai besok, setelah pulang sekolah kamu akan jadi assisten di kantorku, berhenti bekerja di restoran siap saji itu, aku akan menanggung biaya hidupmu, Nilam."
Setiap gerakan bibir Darrel saat bicara menyentuh bibir Nilam, hingga gadis itu memejamkan matanya. "Bawa baju ganti, aku tidak ingin kamu memakai seragam sekolah di kantorku," ucap Darrel lagi.
Darrel menjauhkan wajahnya dari wajah Nilam, lalu telapak tangannya mengukur kepala Nilam dengan tembok. "Kalau kamu tidak menginginkan ciuman ini, seharusnya kamu bisa memundurkan kepalamu ke belakang. Dan lihatlah, aku tidak terpanggang matahari, artinya, ini bukan ilusi," ucap Darrel dengan suara pelan, namun mampu membuat jantung Nilam berhenti berdetak.
Darrel terus menatap Nilam dengan intens dan tatapan itu begitu dalam, kakinya melangkah mundur menjauhi Nilam hingga di jarak tertentu, ia mengedipkan sebelah matanya lalu berbalik meninggalkan Nilam yang terpaku dan bersandar di tembok.
Ketegangan yang tadi menghimpit mereka, kini pecah meninggalkan rasa gugup dan kemarahan dalam diri Nilam.
"Apa barusan dia benar-benar... menciumku?" Nilam memegang bibirnya yang hangat. Lalu menatap ke depan di mana tadi Darrel melangkah mundur dan menggodanya dengan kedipan mata.
"Dasar Darrel sialan!" teriak Nilam lalu ia menghentakkan kakinya di konblok halaman perpustakaan.
B e r s a m b u n g...
aku yang polos ini... pengen ngintip dikit 🙈🤭
malah nyanyi... gw 🙈
😵