Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.
Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.
Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Toko bunga
Kael masih memejamkan matanya saat Kai membantunya masuk ke dalam kamar. Tubuhnya lemah, demam tinggi membuat napasnya berat. Sementara itu, Izara duduk di samping ranjang, tak beranjak sedikit pun.
Matanya tampak terus memperhatikan Kael yang belum sadar. Sesekali, ia merendam handuk kecil dalam air dingin dan mengompres kening pria itu dengan penuh kesabaran.
“Apa aku perlu memanggil dokter?” tanya Kai dari ambang pintu, suaranya pelan namun khawatir.
“Tidak usah, Kak. Dia hanya demam. Tidak ada luka serius juga. Aku akan menjaganya.” jawab Izara sambil tetap menatap Kael.
Kai mengangguk. Ia tak menanggapi lebih jauh, hanya memandangi keduanya sejenak—lalu melangkah keluar dari kamar. Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat mengintip kembali dari balik pintu. Wajahnya tak menunjukkan cemburu, tapi ada sorot campur aduk di matanya yang sulit dijelaskan.
Beberapa saat kemudian, Kael perlahan membuka matanya.
Izara segera mendekat. “Kael? Kau sadar?”
Kael menoleh lemah. Matanya masih berat, tapi saat melihat wajah Izara, ada kekuatan yang muncul dalam dirinya.
“Izara... Kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanyanya pelan.
Alih-alih memikirkan kondisinya sendiri, Kael justru langsung mengkhawatirkan Izara. Meskipun tubuhnya sendiri sedang kesakitan,itu karena hatinya telah berubah. Ia tidak lagi ingin menyakiti gadis itu—ia ingin melindunginya.
“Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir.” jawab Izara dengan lembut.
Kael menghela napas lega,
“Punggungmu?” lirih Izara,
Kael mengerang pelan, berusaha tersenyum. “Ahh... punggungku. Tidak apa-apa.”
Tapi ekspresinya tak bisa berbohong. Jelas ia kesakitan.
“Maaf... Kau jadi terluka karenaku.” ucap Izara pelan, merasa bersalah.
“Tidak, Izara. Justru aku yang minta maaf... karena terlalu banyak menyakitimu selama ini.” Kael menatapnya dalam-dalam, suaranya tulus dan penuh penyesalan.
Hening.
Suasana di antara mereka mendadak canggung, namun tidak kaku—lebih kepada keheningan yang penuh makna.
“Luka itu masih ada... Tapi untuk apa menyimpannya terlalu dalam.” ujar Izara pelan, lalu menatap mata Kael. “Aku sudah memaafkanmu... meski belum sepenuhnya.”
Kini, Izara menatap Kael bukan lagi dengan kemarahan atau kekecewaan. Tapi dengan keikhlasan. Ada pengertian yang tumbuh perlahan di sana. Bukan untuk kembali... tapi mungkin, untuk menyembuhkan.
• • •
Malam nya setelah Kael lebih baik, pria itu pamit untuk pulang.
"Aku pamit pulang, terimakasih untuk makan malam nya." Ucap nya pada Kai, yang disadari sejak hanya diam memperhatikan.
Kai tidak menjawab pria itu hanya mengangguk pelan, lalu melangkah pergi meninggalkan Izara dan Kael.
"Terimakasih Izara," Ucap Kael lagi.
Izara mengangguk. "Sama-sama. Hati-hatilah dijalan."
Kael tersenyum tipis lalu memberi anggukan kecil. Pria hendak hendak berbalik tetapi tidak jadi, ia kembali menatap Izara.
"Ada apa? Ada yang tertinggal?” tanya Izara.
“Tidak... Aku hanya ingin bertanya. Apa kau akan beristirahat setelah ini?”
Izara mengangguk. “Iya, tapi mungkin akan membaca sebentar.”
“Kalau begitu... Boleh aku mengajakmu ke suatu tempat? Hanya sebentar.”
“Tapi... aku harus izin dulu pada Kak Kai.”
“Silakan. Aku tunggu di sini.”
Beberapa menit kemudian, Izara keluar dengan tas kecil yang melingkar di tubuhnya. Mereka pergi bersama, menelusuri jalanan yang sunyi hingga tiba di depan sebuah bangunan kecil.
Kael membuka pintu itu dengan kunci yang sempat dia beri pada Izara.
Clek!!
Pintu terbuka, aroma lembut bunga langsung menyambut mereka. Di dalamnya, berbagai jenis bunga tersusun rapi dalam rak dan pot. Dindingnya dicat hangat, dan di sudut ruangan berdiri sebuah kursi pijat.
“Ini untukmu. Semoga kau suka,” ucap Kael.
Izara terdiam, matanya menyapu seluruh ruangan. Ada kekaguman dan rasa haru di wajahnya.
“Dan satu lagi,” Kael menunjuk kursi pijat itu. “Kalau kau lelah... kau bisa langsung beristirahat di sini.”
“Terima kasih... Tapi untuk apa semua ini?” tanya Izara pelan.
“Sedikit hadiah kecil, agar kau tidak bosan,” jawab Kael.
Izara menggeleng. “Maaf, tapi ini terlalu berlebihan. Aku tidak bisa menerimanya begitu saja.”
Bagaimanapun, Izara merasa tidak enak.
"Aku mohon terima Izara, aku sudah terlanjur membeli ini.... Jika kau tidak mau bagaimana aku akan mengelola dan merawat nya, pekerjaanku sudah terlalu banyak." Pintanya.
"Aku mengerti tapi..."
"Aku mohon..." Sela Kael dengan cepat.
Izara terdiam sejenak, dia mempertimbangkan, sebelum akhirnya mengangguk. "Aku terima, tapi bukan sebagai hadiah... Anggap saja aku akan bekerja disini."
Kael tersenyum kecil. “Baiklah. Sesukamu saja kau ingin menganggapnya.”
Setelah cukup lama di sana, mereka kembali pulang ke rumah masing-masing.
Malam itu, Izara duduk di tepi kasur, mengelus perutnya yang mulai membesar.
"Kau sabar ya, mama akan cari tempat yang baru agar kita bisa lebih nyaman " katanya.
Bagaimanapun, ia tahu tak bisa lama-lama tinggal di rumah Kai. Selain merasa tidak enak, ia tahu… jika Kai tahu semuanya, ia pasti akan kecewa. Dan Izara paham betul, betapa besar rasa dan ketulusan yang Kai berikan padanya.