Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4.Lelaki Salah Target
Beberapa jam sebelum hujan meratap di atap apartemen kami—malam yang kemudian membuatku dan Kalea saling menuding luka—aku masih bersandar di bar Klub Violetta. Lampu ungu memercikkan ilusi glamor ke dinding cermin. Dentum EDM menyeret detak jantungku ke ritme hedonis, sementara tubuhku dibungkus gaun satin merah darah, belahan dada rendah, paha tersingkap tiap langkah.
Seperti biasa, kami datang berdua: aku eksekusi, Kalea mengawasi. Begitu melewati pintu kaca Violetta, kami bertukar pandang; satu anggukan kecil cukup menyalakan rencana. Sore tadi, di antara mi instan yang kebanyakan garam, Kalea merincikan target—Meister Arta, kursi VIP tengah, jam Patek Philippe asli, gelang LV palsu, saldo berlimpah namun percaya diri keropos. Kalau Arta menenggak gelas ketiga, aku akan mulai memainkan kisah masa kecil sedih, lalu kartu hitamnya berakhir di tangan kami. Pola lama yang selalu berhasil.
Aku menyelusuri lorong bar, wajah dikipasi hawa pendingin ruangan bercampur asap rokok elektronik. Ketika kutemukan Arta, ia persis seperti deskripsi Kalea: rambut menipis tapi dipertebal hairspray, jas abu mahal, mata haus pujian. Aku duduk tak jauh darinya, menepuk bangku bar seolah tak sengaja.
“Vodka soda, tanpa lemon,” kataku pada bartender, nada dibuat setengah bosan.
Arta menoleh dengan senyum manis tergesa. “Selera yang berani.”
“Berani? Vodka itu air putih yang bercita-cita jahat,” balasku sambil memutar rambut. Ia terkekeh; kail pertama mengait. Dari ujung cermin, kulihat Kalea mengetuk gelasnya sekali—kode: aman, lanjutkan.
Aku sudah siap menuang cerita luka remaja ketika suara lain, lebih rendah dan dalam, mengiris udara.
“Sayang sekali, tapi kau duduk di kursi yang salah.”
Aku menoleh. Waktu terasa retak perlahan. Lelaki itu tinggi, mengenakan kemeja hitam tanpa satu kerutan, jaket tipis warna arang gelap. Matanya obsidian—pekat, tak memantulkan lampu klub, seperti lubang hitam yang menelan warna. Senyum nyaris tak tampak di bibirnya, lebih mirip ancaman ketimbang ramah.
“Pardon? Klub ini bebas, kan?” Suaraku ringan, peran gadis tersesat.
“Bebas, sampai seseorang menaruh umpan di kolam yang bukan miliknya.”
Arta mengerutkan dahi, tak paham dia jadi latar. Aku tersenyum pada lelaki itu, mencoba menahan gemetar halus di jemari.
“Kau pemilik kolam?”
“Bukan. Tapi aku mengenali bau umpan.” Ia mencondongkan tubuh. “Parfum terlalu mahal bercampur kegugupan yang tak bisa dibeli. Kau bukan tamu malam ini, Aurora.”
Namaku keluar dari bibirnya begitu mudah. Darahku menyusup ke tengkuk. “Menguntit ku?”
“Kau yang meninggalkan jejak. Instagram palsu mu terlalu sering memperlihatkan TeBet dan anjing jalanan, tapi kau nongkrong di lounge lima bintang.” Ia mengetukkan jari ke gelasnya. “Dan seseorang yang masuk lewat pintu pegawai seharusnya tak duduk di bar utama tanpa diundang.”
Aku meneguk minuman, sekadar alasan agar bibir tak bergetar. “Kalau kau benci kebohongan, kenapa di sini?”
“Tempat terbaik memburu pembohong adalah sarang pembohong.” Ia meneliti wajahku seperti ahli bedah mencari urat rapuh. “Delapan puluh persen ruangan ini menjual ilusi. Termasuk kau.”
Di cermin, Kalea mengetuk gelas tiga kali cepat—kode darurat untuk angkat kaki. Lututku berat seolah terikat. Lelaki ini membongkar topengku lapis demi lapis, dan entah kenapa aku tak bisa berpaling.
“Aku seniman sulap,” kataku, bibir tetap melengkung. “Trik tergantung penonton.”
“Masalahnya, malam ini penonton mu bukan Arta. Penonton mu aku.”
Degup di dada berloncatan tak beraturan. “Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?”
“Tak ada,” jawabnya ringan. “Aku hanya menikmati cara kau berusaha mengendalikan sesuatu yang sudah jatuh ke tanganku.”
“Aku bisa pergi kapan saja.”
“Kau akan tetap kuingat. Permainan jarang selesai dalam satu malam.” Ia menyesap minumannya dengan tenang, memerhatikan ku seperti pemilik papan catur menilai bidak lawan.
“Siapa kau sebenarnya?”
Dia mengulurkan tangan, sentuhannya dingin namun menjerat. “Tristan.”
Genggaman itu tak keras, tetapi menempel di kulitku seperti borgol tak terlihat. Ia memiringkan kepala sedikit.
“Kau main catur?”
“Sedikit.”
“Bagus. Kadang pion bisa jadi ratu.” Ia menatapku tajam. “Tapi ratu pun bisa diposisikan untuk dimakan kalau tak sadar siapa yang mengatur papan.”
Mulutku terasa pahit vodka. Dari belakang bahu Tristan, lampu ungu berganti merah, membakar udara dengan warna bahaya. Aku mengangkat dagu, pura-pura bold.
“Mungkin aku pion, mungkin ratu. Tapi papan selalu bisa ku lempar kalau permainan tak adil.”
“Permainan baru disebut curang kalau kau kalah,” bisiknya pelan, cukup untuk mengguncang syaraf.
Ku paksa tersenyum, kemudian bangkit perlahan. Kalea sudah menunggu di dekat pintu samping, pura-pura memeriksa ponsel. Ketika ku mundur selangkah, Tristan tak menahan, hanya menatap seolah tali panjang masih melingkari leherku.
“Kita akan bertemu lagi, Aurora,” katanya tanpa nada pasti—seperti fakta kosmik.
Aku berbalik, menahan serpihan gemetar di lutut. Begitu keluar lingkar lampu, udara klub terasa terlalu pengap untuk paru-paru yang baru saja diaduk ketakutan dan rasa terpikat yang ganjil.
Kalea meraih sikuku sebelum aku roboh.
“Kau pucat,” bisiknya tajam.
“Salah orang,” sahutku lirih, masih merasakan tatapan itu menempel di punggung. “Namanya Tristan.”
“Apa dia bilang?”
“Segalanya. Tentang bahasa tubuh, akun palsu, caraku menunduk. Seolah… seolah dia membaca kontrak suci di tulangku.”
Kalea menahan napas, wajahnya menegang. “Kita tutup misi. Sekarang.”
Aku menggigit bibir, menoleh sekali lagi. Di balik sinar temaram bar, Tristan masih duduk—tenang, seolah yakin mangsanya akan kembali. Ada gelombang magnet di udara, menarik ku walau langkahku sudah menjauh.
“Lea, aku justru ingin tahu siapa dia,” bisikku, nyaris malu pada diri sendiri.
“Rora, rasa ingin tahu itu bisa membunuh kita.” Kalea menggenggam ku lebih erat. “Kau janji pulang sekarang.”
Aku mengangguk, meski bayangan mata obsidian itu terus menari di pelupuk. Kami meluncur keluar klub, melewati trotoar basah yang berkilau lampu, lalu masuk taksi yang berbau kulit palsu. Namun getar di ponselku—pesan tak dikenal bertuliskan satu kata “Aurora.”—membuatku menyadari papan catur lama telah hancur. Dan bidak pertamaku, entah sadar atau tidak, sudah bergerak menuju garis kekalahan.