Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Duri di Balik Luka
Suasana rumah megah keluarga Dirgantara pagi itu dingin dan hampa. Arumi terbangun lebih awal dari biasanya, matanya masih sembab. Ia duduk di sudut kamar, memeluk lutut, membiarkan pikirannya melayang jauh. Sudah hampir dua minggu sejak pernikahan paksa itu, tapi luka di hatinya belum juga mengering. Rasa takut, cemas, dan putus asa menyatu jadi satu. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hanya satu yang ia yakini—ia bukan pembunuh Rose, dan suatu hari kebenaran itu harus terbukti.
Pintu kamar terbuka kasar. Damian berdiri di ambang pintu dengan kemeja rapi dan wajah yang tetap dingin seperti biasanya.
“Turun. Kita sarapan,” perintahnya tanpa emosi.
Arumi hanya menunduk. “Saya… belum lapar.”
Damian menghampiri, menarik tangan Arumi hingga berdiri. “Aku tidak tanya kamu lapar atau enggak. Aku bilang, turun.”
Arumi mengangguk pelan. Ia berjalan di belakang Damian, mencoba menahan gemetar. Di meja makan, hanya ada mereka berdua. Para pelayan berdiri di kejauhan, tahu betul tak ada satu pun yang boleh ikut campur saat suasana sedang tegang.
Selama makan, Damian hanya diam, memotong roti dan menyeruput kopi hitam. Sementara Arumi sesekali meliriknya, bingung dengan sikap pria itu. Ia tak pernah tahu kapan Damian akan tenang, dan kapan amarahnya akan meledak.
Setelah beberapa menit hening, Damian berkata pelan namun tajam, “Kalau kamu berniat kabur, jangan lupa. Aku punya rekaman CCTV rumah ini. Dan kamu nggak punya siapa-siapa.”
Arumi menatapnya. “Saya tidak berniat kabur. Saya hanya ingin… membersihkan nama saya.”
Damian mendengus. “Nama kamu sudah kotor sejak malam itu.”
“Saya bersumpah… saya tidak membunuh Rose.”
“Sudah kubilang, jangan bawa-bawa nama adikku dengan mulutmu,” bentaknya, menghentak meja hingga gelas hampir terjatuh.
Arumi memejamkan mata, mencoba menahan air mata. Tapi Damian melihatnya. Sekilas saja, dan lagi-lagi, hatinya bergetar sedikit. Tapi egonya menolak untuk luluh.
---
Beberapa hari berlalu. Arumi mulai melakukan pekerjaan rumah sekadar untuk menjaga kewarasannya. Ia menyiram tanaman, membersihkan kamar, bahkan menyiapkan makanan meski tahu Damian hampir tidak pernah menyentuhnya.
Suatu sore, Arumi duduk di taman belakang. Ia menulis sesuatu di buku kecil—semacam jurnal pribadi yang menjadi satu-satunya teman curhatnya.
> Hari ke-13 setelah pernikahan kutukan.
Damian masih belum percaya padaku.
Tapi aku mulai melihat sisi lain darinya. Luka yang begitu dalam… mungkin lebih dalam dari milikku.
Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat dia percaya. Tapi aku tidak akan menyerah.
Aku akan mencari siapa yang membunuh Rose. Demi dia… dan demi diriku sendiri.
“Menulis tentang cara kabur dariku?”
Suara itu membuat Arumi terlonjak. Damian berdiri di belakangnya, menyilangkan tangan.
Arumi buru-buru menutup bukunya. “Bukan. Saya cuma menulis… pikiran saya.”
Damian melangkah mendekat. “Kalau aku baca… apa aku bakal menemukan alasan buat percaya kamu?”
Arumi menatapnya, kali ini dengan berani. “Entahlah. Tapi kalau kamu mau membaca luka seseorang, kadang kamu harus menurunkan senjata dulu.”
Damian terdiam sejenak. Ucapan itu menusuk sesuatu dalam dirinya. Tapi seperti biasa, ia menyembunyikan semuanya di balik tatapan tajam dan nada datar.
“Mulai besok, kamu ikut aku ke kantor,” ucapnya tiba-tiba.
Arumi mengernyit. “Kenapa?”
“Aku butuh pengawasan lebih dekat. Supaya kamu nggak main-main di belakangku.”
---
Hari pertama Arumi di kantor Dirgantara Company penuh tekanan. Semua karyawan menatapnya dengan berbagai ekspresi—ada yang penasaran, ada yang mencibir, ada juga yang kasihan. Damian mengenalkan Arumi sebagai "istri", tapi caranya menyebut itu penuh dengan sindiran. Seolah dia hanya sekadar ‘hukuman berjalan’.
Saka, sang asisten pribadi Damian, menyambut Arumi dengan sopan. Ia tampak berbeda dari yang lain. Pandangannya tidak menghakimi.
“Saya Saka. Kalau Ibu Arumi butuh bantuan, bisa bicara pada saya,” katanya ramah.
“Terima kasih. Tapi… panggil saya Arumi saja,” jawab Arumi, tersenyum lemah.
Di hari itu juga, Saka memperlihatkan beberapa data penyelidikan pribadi yang ia kumpulkan. Ia belum memberi tahu Damian, tapi ia merasa ada yang janggal sejak awal.
“Saya percaya Anda tidak bersalah, Arumi. Tapi saya butuh lebih banyak bukti,” bisik Saka saat mereka berada di ruang arsip.
Arumi matanya berbinar. “Saya bersedia bantu. Apa pun. Demi Rose.”
---
Malam harinya, Damian mendapati Arumi tertidur di sofa ruang kerja rumah mereka. Di pangkuannya, beberapa dokumen dan berkas tentang kasus Rose berserakan. Pria itu mendekat, mengangkat berkas-berkas itu, dan tanpa sadar menatap wajah Arumi dalam diam.
Perempuan itu… terlihat damai saat tidur. Tidak ada jejak niat jahat. Tidak ada ekspresi penipu.
Damian mendesah, kemudian memungut selimut dan menyelimuti tubuh Arumi secara perlahan. Tapi sebelum ia menjauh, tangan Arumi menggenggam ujung bajunya.
“Jangan pergi…” gumam Arumi dalam tidurnya, entah sedang bermimpi apa.
Damian membeku di tempat. Dadanya terasa sesak, tapi ia segera menarik diri dan pergi tanpa suara.
---
Beberapa hari kemudian, Saka menemukan petunjuk baru. Ia menunjukkan pada Arumi sebuah foto dari CCTV toko kelontong di dekat lokasi kejadian. Terlihat dua orang mencurigakan dengan jaket hitam dan masker—mirip dengan deskripsi Rose sebelum meninggal.
“Kalau kita bisa menemukan siapa yang beli masker ini, mungkin kita bisa buka jalannya,” kata Saka.
Mereka mulai menelusuri penjualnya, sampai menemukan satu toko yang mencatat pembelian besar-besaran masker dan sarung tangan sehari sebelum Rose ditembak.
Arumi langsung bersemangat. “Kita bisa pakai ini buat buka penyelidikan ulang!”
Tapi Saka menahan. “Tenang dulu. Kita butuh lebih dari ini. Kalau terlalu cepat, bisa-bisa pelaku kabur.”
Namun sayangnya, percakapan mereka terdengar oleh salah satu staf yang ternyata punya hubungan dengan keluarga Adam. Informasi itu langsung diteruskan diam-diam…
---
Malamnya, Arumi kembali tidur di sofa. Tapi kali ini Damian duduk di kursi seberang, memperhatikannya dengan tatapan kosong. Ia teringat bagaimana adiknya sering bercerita tentang kisah cintanya dengan Adam—terlalu sempurna hingga membuat Damian khawatir. Dan kekhawatiran itu terbukti benar.
Arumi terbangun dan kaget melihat Damian di sana.
“Kenapa… kamu di sini?”
“Menjaga. Takut kamu kabur sambil bawa semua dokumen,” jawabnya sinis.
Arumi tersenyum miris. “Kalau aku kabur, kamu akan kehilangan satu-satunya orang yang masih mencoba cari tahu kebenaran tentang Rose.”
“Berhenti sok suci.”
“Berhenti bersikap seolah kamu satu-satunya orang yang kehilangan, Damian.”
Damian terdiam. Ucapan itu menyentak hatinya keras.
“Kamu bukan satu-satunya yang merasa hancur. Aku juga. Aku kehilangan masa depanku, kehilangan kebebasan, kehilangan diriku sendiri. Tapi aku tetap di sini… untuk Rose. Untuk kamu.”
Air mata Arumi mengalir, dan kali ini, Damian tidak membentaknya. Ia hanya memalingkan wajah, karena ada sesuatu di matanya juga—air yang belum jatuh, tapi sudah menumpuk.
---