NovelToon NovelToon
Bukan Cinderella-nya

Bukan Cinderella-nya

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Diam-Diam Cinta / Dijodohkan Orang Tua / Pembantu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Nitzz

Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24.Asing di Dekatku

Pagi itu Nathan bangun dengan perasaan tidak biasa. Ada ruang kosong di dadanya yang entah kenapa makin terasa. Sesuatu yang mengganjal, yang bahkan kopi pahit favoritnya pun tidak bisa menutupinya.

Clarissa duduk di seberangnya, memoles roti panggang dengan selai stroberi sambil bersenandung pelan. Ia tampak seperti gadis yang sempurna dari luar, cantik, bersinar, penuh percaya diri. Tapi semakin Nathan melihatnya hari demi hari, semakin ia sadar, Clarissa adalah teka-teki yang tidak pernah ia pecahkan.

“Aku kepikiran sesuatu,” Nathan membuka percakapan, mengaduk kopinya pelan.

Clarissa mengangkat wajahnya, tersenyum. “Apa?”

“Kamu udah pernah cerita tentang keluarga kamu ke aku?”

Clarissa mendadak diam sejenak. Tangannya yang tadi sibuk memegang pisau selai kini diam di atas piring.

“Pernah, sih. Tapi nggak banyak. Kenapa nanya begitu?”

Nathan mengangkat bahu. “Aku cuma sadar… kita udah beberapa bulan pacaran, tapi aku bahkan nggak tahu siapa nama orang tuamu. Kamu juga belum pernah ngajak aku ketemu mereka.”

Clarissa tersenyum kaku. “Kamu mau ketemu orang tuaku?”

“Kenapa nggak?”

Clarissa meletakkan pisau dan duduk tegak. “Aku… belum siap aja. Keluargaku rumit, Nath. Nggak semua keluarga sehangat keluargamu.”

Nathan menatapnya. “Ribet gimana?”

“Yah, mereka konservatif. Kaku. Aku takut mereka bakal mempermalukan aku. Mereka suka mengatur, menuntut. Aku nggak nyaman kalau harus bawa kamu ke dalam lingkungan itu.”

Penjelasan Clarissa terdengar masuk akal, sekilas. Tapi Nathan merasa ada lubang dalam cerita itu. Ia tahu banyak orang yang punya keluarga rumit, tapi setidaknya tetap bisa menyebut nama mereka. Menggambarkan sedikit saja latar belakang mereka. Clarissa? Hampir tidak pernah. Bahkan fotonya bersama keluarga pun tak pernah terlihat.

“Nama orang tuamu siapa?” tanya Nathan, mencoba terdengar santai.

Clarissa tertawa. “Kamu kayak detektif aja. Tapi serius, aku nggak suka ngomongin keluarga. Bisa kita ganti topik?”

Nathan diam. Hatinya mulai tidak tenang lagi. Beberapa bulan ini, Clarissa begitu mudah hadir dan mengisi hari-harinya, tapi terasa seperti kabut. Dekat, tapi tak pernah bisa benar-benar disentuh.

Nathan tersenyum tipis. “Oke. Ganti topik.”

Tapi hatinya tidak bisa begitu saja mengganti.

*

Hari itu berlalu dengan keheningan yang canggung. Clarissa pergi menemui temannya di luar, sementara Nathan mengurung diri di ruang kerja. Ia membuka laptop, lalu tanpa sadar mengetik nama Clarissa di mesin pencari.

Tak banyak yang muncul. Akun media sosialnya sangat minim informasi. Bahkan unggahannya pun hanya seputar selfie dan kutipan-kutipan manis. Tidak ada jejak keluarga, tidak ada lokasi yang jelas, tidak ada siapa-siapa.

Nathan bersandar di kursi, memijat pelipisnya.

Dia mulai bertanya pada dirinya sendiri: siapa sebenarnya Clarissa?

Di tengah kekalutan itu, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu ruang kerjanya. Celeste berdiri di ambang pintu dengan nampan berisi teh hangat dan camilan.

“Kamu kelihatan mumet,” katanya pelan.

Nathan mengangguk kecil. “Lumayan.”

Celeste masuk tanpa banyak bicara, meletakkan nampan di meja. Lalu, seperti biasa, ia duduk di pojok sofa, tidak berusaha mencampuri. Tapi kehadirannya selalu menenangkan.

Nathan menatap Celeste sejenak, lalu berkata, “Kamu percaya, seseorang bisa hidup serumah, dekat, tapi ternyata kita nggak tahu apa-apa soal dia?”

Celeste menoleh. “Tergantung orangnya. Ada yang memang suka terbuka. Tapi ada juga yang… menyimpan banyak hal.”

“Kalau kamu?” tanya Nathan, setengah bercanda.

Celeste tersenyum samar. “Aku pernah jadi orang yang menyimpan segalanya.” Dustanya.

“Hm.” Nathan menatap cangkir tehnya. “Rasanya aneh ya. Punya hubungan, tapi serasa asing.”

Celeste tidak menjawab. Tapi matanya melembut, seakan mengerti sesuatu yang lebih dalam.

*

Malam itu, Clarissa pulang lebih cepat dari biasanya. Ia membawa sebuket bunga dan sekotak cokelat mahal.

“Buat kamu,” katanya ceria.

Nathan tersenyum, menerima pemberian itu. Tapi senyumannya tidak sepenuh hati.

Clarissa mendekat, merangkul lengannya. “Aku tahu kamu tadi pagi kayaknya agak terganggu. Aku minta maaf ya. Aku nggak mau hubungan kita jadi canggung cuma karena masa lalu.”

Nathan menatapnya, mencari kebenaran di mata Clarissa. Tapi seperti biasa, yang ia temukan hanyalah cermin licin.. memantulkan apa yang ingin ia lihat, bukan apa yang sebenarnya ada.

“Clarissa, jadi...”  katanya pelan..

Clarissa menggigit bibir bawahnya. “Nathan… aku butuh waktu. Bisa nggak kamu kasih itu ke aku?”

Nathan tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Clarissa lama, seakan mencoba mencari celah untuk masuk. Tapi tak pernah bisa.

*

Malam menjelang dini hari.

Celeste menulis lagi di bukunya.

Hari ke-96. Nathan tampak mulai ragu. Aku tahu dia mulai mempertanyakan sesuatu tentang Clarissa. Tapi aku tidak boleh ikut campur. Aku di sini untuk membantu, bukan menjatuhkan.

Walau… kadang aku ingin mengguncang pundaknya dan bilang: “Lihat aku saja...”

Dua bulan lagi. Aku harus tetap kuat.

Ia menutup buku itu, lalu menatap langit dari jendela kamar. Angin malam mengusap pipinya, dan untuk sesaat, ia merasa lebih ringan. Walau hanya sesaat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!