Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 24 - Bakti Seorang Istri
“Sepertinya kita tidak jadi pergi ke klinik untuk melakukan terapi sore ini,” kata Darius dengan suara parau.
Aku yang sudah melakukan persiapan sejak beberapa jam lalu, tentu merasa bingung. Dengan langkah pelan, aku menghampiri Darius yang tengah meringkuk di kasur membelakangiku.
“Kenapa, Mas?” tanyaku sambil mendaratkan bokong ke tepian kasur, persis di sebelah tubuh Darius.
“Aku merasa tidak enak badan,” timpalnya sembari menarik selimut hingga batas dada. “Aku akan bicara dengan dokter dan minta untuk menjadwalkan ulang sesi terapiku. Jadi kamu bisa melakukan urusan penting yang sempat tertunda. Aku—”
“Kamu sakit kenapa, Mas?” Aku langsung beringsut untuk memeriksa keadaannya.
Menaruh punggung tangan pada dahinya, yang dalam seperkian detik sudah ku tarik kembali—syok karena terlampau panas. Ini aneh, padahal tadi dia tampak biasa-biasa saja. Maksudku, Darius tidak menunjukkan gejala akan sakit.
“Kamu demam. Tinggi sekali.” Aku sedikit panik, mengingat di sini hanya kami berdua saja.
“Aku panggil dokter, ya?” Aku hendak melesat mengambil ponsel, tetapi Darius lebih dulu menahannya.
“Tidak usah, Soraya. Aku hanya perlu meminum obat, besok pagi juga sudah sembuh. Bahkan aku tak masalah jika ditinggal sendirian di apartemen, kamu kan—”
“Kamu ini bicara apa, sih, Mas?” Untuk kesekian kalinya aku memotong ucapannya yang terdengar melantur itu.
“Aku tidak sekejam itu untuk meninggalkan kamu dalam kondisi seperti ini, Mas,” tambahku kemudian.
Lantas aku bergegas menuju dapur, mengambil benda apapun yang bisa menampung air juga handuk kecil untuk mengompres agar panasnya turun.
Pontang-panting aku mencari dan mengambil ini itu yang memungkinkan bisa aku gunakan dalam kondisi seperti ini. Juga dengan cekatan aku membuatkan bubur, sedikit berasumsi apa mungkin dia jatuh sakit karena sambal yang kubuat tadi?
Sambal yang bahkan terlalu manis untuk dikatakan sambal? Entahlah, mungkin Darius masih belum boleh makan sembarang.
“Ganti posisi tidurmu, Mas. Jangan begitu. Berbaring yang benar agar dahimu itu bisa aku kompres,” titahku sambil membantu tubuhnya untuk bergerak.
Kaus panjang yang dikenakannya itu terasa basah. Mungkin karena keringat? Tapi yang jelas itu tampak menembus—mencetak jelas bagian punggung dan dadanya.
Aku berpikir sejenak, tak mungkin semalaman nanti Darius mengenakan pakaian basah.
“Mas, sebaiknya kamu ganti pakaian dulu,” ujarku yang sudah beranjak menuju lemari, memilihkan beberapa pakaian yang tidak terlalu tebal.
“Biarkan saja,” katanya dengan mata yang sudah terpejam, aku yang melihat itu pun langsung mengembuskan napas panjang.
“Biarkan saja bagaimana, Mas? Baju kamu basah, kamu tidak mungkin kan tidur dengan baju seperti itu,” kataku sambil membawakan baju yang sudah kupilihkan padanya.
“Tapi aku juga tidak punya tenaga untuk sekadar mengganti pakaian. Tanganku lemas, tidak bisa diangkat. Memangnya kamu mau memakaikan baju itu pada tubuhku?” timpalnya menjelaskan.
Aku semakin bingung. Sebentar termenung. Di sisi lain aku tak mungkin membantunya setengah-setengah.
Dengan perasaan ragu dan sedikit berat hati, aku pun kembali mendaratkan bokong di ujung kasur. Melebarkan pakaian yang kubawa dan tanpa mengatakan apa-apa, segera membantu Darius untuk bergerak ke sisi kanan dan kiri agar kaus panjang itu bisa terlepas sempurna dari tubuhnya.
“Maaf kamu harus mengalami ini,” bisiknya teramat pelan.
“Tidak usah berpikir macam-macam. Ini salah satu upaya atau baktiku sebagai seorang istri untuk membantu kamu yang sedang sakit, Mas,” balasku dengan ekspresi datar.
Dalam setiap hela napas, aku mencoba mengesampingkan apapun yang ada dalam pikiran saat ini: yang mengingatkanku pada kejadian malam itu.
“Meski pernikahan ini tidak memiliki arti apapun?” tanyanya kemudian.
Aku menaikan pandangan. “Iya. Karena tak mungkin aku melihatmu mati di sini dan nantinya aku menjadi seseorang yang disalahkan karena tak bisa melakukan apapun sebagai istri, setidaknya dalam pandangan orang lain.”
Darius justru terkekeh mendengarnya. “Hei, aku tidak semudah itu mati hanya karena terkena demam.”
Usai memasangkan baju baru padanya, aku bergegas menuju dapur. Mengambilkan bubur yang baru saja kumasak, segera mengantarkannya pada Darius.
“Aku sudah membuatkanmu bubur. Apa aku perlu menyuapi kamu juga, Mas?” tanyaku sambil meletakkan semangkuk bubur panas itu ke atas nakas.
Darius diam sebentar, kemudian melirik singkat ke arah bubur yang masih mengepulkan uap panas. “Hm, tak apa simpan saja dulu. Nanti setelah agak mendingan aku akan memakannya. Sekarang aku perlu obat dulu, bisa tolong kamu ambilkan?”
Aku memutar mata malas. “Bagaimana ceritanya kamu minum obat tanpa minum dulu?”
Kakiku kembali bergerak ke samping kasur, membantu Darius untuk berubah posisi—setengah duduk. Setelahnya aku mengambil bubur itu. Lantas duduk, menaruh semangkuk bubur ke atas paha, mengaduknya sebentar dan mulai menyuapi Darius.
“Ibu bilang aku bisa meminum obat itu kapanpun, bahkan sebelum makan,” katanya setengah terpejam, mulutnya tampak malas mengunyah.
Keningku mengernyit. “Memangnya obat macam apa yang diberikan ibumu?”
“Tidak tahu. Katanya bisa membantu lebih cepat pemulihanku, termasuk ingatanku yang sempat hilang,” papar Darius yang terdengar janggal.
Tetapi mengingat kondisinya yang seperti ini, aku mana sempat memikirkan hal semacam itu. Aku hanya fokus mengurusnya sampai ketika menemukan waktu luang, aku bisa kembali pada urusanku yang sempat tertunda.
Sesaat aku sendiri merasa aneh. Aku tidak pernah membayangkan akan merawatnya seperti ini. Padahal sebelumnya, dia terlihat menakutkan tempo hari.
Darius menggeliat pelan, seperti berusaha berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya gumaman lirih.
“Kenapa?”
“Terima kasih, Soraya...” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Aku tertegun sesaat, sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. “Aku cuma nggak mau punya tanggungan,” sahutku, pura-pura ketus.
“Makanku sudah cukup. Sekarang aku mau minum obat dan segera istirahat. Kamu bisa melanjutkan aktivitasmu,” katanya dengan napas yang sedikit ngos-ngosan.
Sejurus kemudian Darius mencoba menarik selimutnya sendiri dengan tangan gemetar, aku tanpa sadar membantu, merapikannya di sekitar tubuhnya. Entah kenapa, melihat dia dalam kondisi selemah ini membuat ada sesuatu yang menegang di dadaku—perasaan asing yang berusaha kutepis.
Beberapa jam berlalu. Aku tetap di sampingnya, membasahi kompres yang mulai mengering, memastikan dia minum obat tepat waktu, dan sesekali memeriksa pergerakan kecilnya.
Sudah hampir jam 9 malam, selama itu pula aku duduk di sofa yang bersebrangan dengan ranjang yang ditempati Darius. Dan di sela-sela kesibukanku untuk mengurusnya, aku diam-diam mengamati layar laptop milik mendiang Soraya.
Sebelum membuka laptop, aku sudah berekspektasi akan ada berderet pesan masuk—karena sebelumnya aku sempat mengirimi Dipta pesan, meminta bertemu untuk meluruskan beberapa hal.
Tetapi hanya ada satu pesan yang kuterima. Di sana pesan itu hanya menyebutkan bahwa aku—sang pengirim pesan, dianggap sebagai peretas akun yang iseng.
Sampai ketika aku tahu akun tersebut menampilkan tulisan online, aku langsung memberondong pesan. Termasuk menjelaskan pada intinya, mengenai sosoknya yang pernah kulihat di pemakaman.
Hasilnya? Dia tetap menolak. Dia bilang enggan ditemui, enggan dimintai keterangan, yang pada intinya dia tetap tidak mau ditemui hanya untuk membahas soal mendiang Soraya.
“Huh, kenapa harus sesulit ini untuk memintanya bertemu?” gumamku sambil memijit pelan pelipis yang mulai berdenyut.
“Bertemu siapa?”
Aku terkesiap di tempat ketika mendengar suara barusan, kupikir Darius sudah tidur pulas. Tahu-tahu dia menyahut dan membuyarkan pikiranku detik itu juga.
***