Di kota Plaguehart, Profesor Arya Pratama melakukan eksperimen berbahaya untuk menghidupkan kembali istrinya, Lara, menggunakan sampel darah putrinya, Widya. Namun, eksperimen itu gagal, mengubah Lara menjadi zombie haus darah. Wabah tersebut menyebar cepat, mengubah penduduk menjadi makhluk mengerikan.
Widya, bersama adiknya dan beberapa teman, berjuang melawan zombie dan mencari kebenaran di balik wabah. Dengan bantuan Efri, seorang dosen bioteknologi, mereka menyelidiki lebih dalam, menemukan kebenaran mengerikan tentang ayah dan ibunya. Widya harus menghadapi kenyataan pahit dan mengambil keputusan yang menentukan nasib kota dan hidupnya.
Mampukah Widya menyelamatkan kota dengan bantuan Dosen Efri? Atau justru dia pada akhirnya ikut terinfeksi oleh wabah virus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widya Pramesti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alexa Bangkit Kembali
Widya dan Arif terhantam keras ke aspal, tubuh mereka terseret, terguling sejauh beberapa meter, menciptakan suara berdebam yang menggema, hingga akhirnya terhenti di tengah jalan. Luka-luka mereka cukup parah, terutama Arif yang merasakan sakit luar biasa di lengannya dan bagian pinggangnya yang tergesek tajam oleh aspal. Darah mengalir deras dari lengan Arif yang tergores parah, dan begitu juga dengan sikunya yang terkilir.
Sementara Widya, terkulai di atas lengan Arif. Perlahan membuka mata, dia langsung merasakan rasa sakit di bahunya, tubuhnya lemas dan terdengar suara napasnya tersengal. Namun Arif, meski terluka lebih parah dari Widya, dengan napas terengah-engah, Arif menatap Widya dengan cemas. "Kamu... baik-baik saja?" tanyanya, suaranya parau, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya.
"Kamu yang harus aku tanya," jawab Widya dengan terbata, menatapnya dengan cemas, menggigit bibirnya, mencoba untuk bangkit, tapi tubuhnya masih sedikit gemetar kesakitan.
Widya menatap lengan Arif yang terluka, memeriksanya, dan seakan merasa bersalah. "Lenganmu… lenganmu ini… terluka cukup parah," serunya, kebingungan antara panik, cemas dan hampir menangis.
Arif menanggapi dengan senyum kecil. "Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, ini hanya luka ringan, Widya," katanya, mencoba memberi kepercayaan. "Keselamatanmu lebih penting," lanjutnya pelan.
Widya menggeleng keras, perasaan bersalah mulai memenuhi benaknya. "Tidak, ini bukan luka ringan, Arif! Ini cukup berat!" balas Widya, suaranya hampir pecah karena kebingungannya. "Kamu harus diobati sekarang juga!"
Dengan terburu-buru, Widya mulai merobek pakaiannya untuk membalut luka itu, namun Arif menahan tangannya dengan lembut. "Tunggu dulu!" serunya dengan suara yang lebih berat, penuh rasa khawatir.
Widya menatapnya bingung. "Kenapa? Apa kamu mencegahku untuk mengobatimu?" tanyanya, bingung dan tak mengerti.
Arif menatapnya dalam-dalam, sejenak dia menghela napas dengan berat, dan menatap ke arah truk yang berhenti tak jauh dari mereka. "Widya," katanya dengan suara serak, "sebaiknya obatin aku di dalam truk, karena kita bisa lebih bahaya di sini."
Widya terdiam sejenak, kebingungan menyelimuti dirinya. "Apa maksudmu?" tanya, sambil mencoba mengatur pikirannya yang kalut.
Arif menatapnya penuh arti, dan dengan gerakan yang lemah, dirinya sedikit berusaha berdiri, menunjuk ke arah truk yang sudah berhenti tak jauh dari mereka. "Lihat itu," ucapnya pelan, "Zombie itu berhasil dilumpuhkan, tapi kita tidak tahu kapan yang lain akan datang. Kita harus cepat kembali ke truk, sebelum lebih banyak yang muncul di sekitar sini."
Widya menoleh dengan cepat, matanya membesar saat melihat tubuh Laura yang terkulai tak jauh dari truk, terjatuh seperti benda tak bernyawa. Tanpa menunggu lebih lama, Arif menarik tangan Widya bangkit. "Ayo, kita harus cepat kembali ke truk!" teriaknya, membawa Widya berlari dengan sisa tenaga yang dia miliki.
Widya mengikuti langkah Arif dengan kebingungan, namun tampak kelelahan. Sejenak, dia sempat menoleh, menatap motor Harley-nya yang kini sudah hancur, terjatuh ke aspal dalam keadaan yang tak mungkin bisa diperbaiki.
Dengan napas terengah-engah, mereka berlari secepat mungkin, melompati tubuh Laura yang terbaring tak bergerak. Begitu sampai di belakang truk, Arif mengangkat Widya ke dalam, membantu tubuhnya yang masih lemah untuk naik dengan cepat. Widya terjatuh ke dalam truk, dan semua anggota militer yang berada di dalam langsung mengeluarkan tangan mereka untuk membantunya. "Cepat, masuk!" teriak salah satu anggota militer.
"Kamu di sini dulu, Widya," kata Arif dengan cepat setelah melihat Widya sudah berada di dalam truk. "Aku akan naik ke depan, kita harus segera lanjutkan perjalanan."
Dengan cepat, Arif melangkah ke depan untuk duduk di sebelah kursi kemudi. "Bryan," kata Arif, sambil memandang pria yang duduk di kursi kemudi, "Ayo, kita harus pergi ke kampus sekarang. Tak ada waktu lagi."
Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Bryan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dengan sekali injak gas, truk itu meraung dan bergerak dengan cepat. Sementara asap hitam mengepul dari knalpot truk, meninggalkan tubuh Laura yang masih terkulai di tengah jalan, menghilang dengan cepat di belakang mereka.
Di belakang truk, Widya duduk terdiam, tubuhnya lemas, matanya tak lepas menatap jalanan yang semakin menjauh. Anna yang duduk di sampingnya, memeluknya dengan erat. "Syukurlah kamu selamat," kata Anna dengan suara yang penuh kelegaan.
Sejenak, Widya menoleh ke arah Anna, dan membalas pelukan itu. "Maafkan aku, Anna," katanya, merasa bersalah karena membiarkan anak kecil ini ikut bersama timnya. "Seandainya aku tahu wanita itu ada di dalam truk ini, mungkin aku tidak akan membiarkanmu untuk ikut dengan teman-temanku."
Sementara itu, di ruang kendali markas militer, pria misterius itu, Arlot, mematung di hadapan layar besar yang menampilkan rekaman sorot mata Laura, padam begitu saja. Keheranan dan kemarahan bercampur aduk dalam dirinya. "Sial!" umpatnya, memukul meja dengan kuat. "Kenapa, kepala Laura bisa kena tembakan? Ini... ini tidak mungkin!"
Tapi tiba-tiba, layar itu menyala kembali. Pria itu mendekat, matanya terfokus tajam pada layar, bingung sekaligus terkejut. Laura, yang seharusnya sudah mati, kembali bergerak. Kepalanya yang terhantam peluru malah kembali bersatu dengan tubuhnya, tanpa tanda-tanda kerusakan yang berarti. Arlot menatap layar dengan rasa penasaran yang mendalam, "Ini aneh sekali…"
Namun, tak lama setelah itu, layar sebelahnya juga hidup, menampilkan gambaran samar yang penuh dengan garis-garis abu-abu. Arlot berbalik, semakin bingung namun tak bisa mengalihkan pandangannya. "Apa ini?" gumamnya.
Di layar tersebut, terlihat rekaman dari ruang bawah tanah yang gelap. Lalu, Arlot tersadar. Mata Alexa, yang terpasang chip di dalam tubuhnya, muncul di layar. Arlot tersenyum sinis. "Aku ingat, saat itu aku menanamkan chip di tubuh Alexa," ucapnya, dengan nada yang mencurigakan. "Dia akan jadi bagian dari eksperimen terakhirku."
Di ruang bawah tanah yang gelap, Alexa tiba-tiba terbangun, membuka matanya yang kini menyala merah. Kepala Alexa, yang sempat pecah dan terbelah akibat tembakan, mulai bergerak. Dengan gerakan yang tidak manusiawi, bagian kepala yang hancur itu perlahan menyatu kembali, tanpa ada rasa sakit sama sekali. Darah yang sebelumnya mengalir deras kini berhenti, dan kulit yang mengelupas mulai merekat kembali, memperlihatkan jaringan daging yang tergerus. Kulitnya tampak pucat dan berlendir, penuh dengan bercak-bercak hitam yang menandakan pembusukan.
Namun, yang paling menakutkan adalah bagaimana tubuhnya berubah. Tubuhnya yang sebelumnya terkulai lemas, kini bergerak dengan kelincahan yang mengerikan. Kekuatan yang mengalir di dalam tubuhnya jauh lebih besar dari sebelumnya.
Alexa menggeram rendah, suara itu memekakkan telinga, penuh dengan kebencian dan kemarahan. Saat dia mencoba berdiri, meremukkan lantai rumah yang terlantar, berusaha keluar dengan geraman mengerikan.
Dengan suara gemeretak yang mencekam, dia menggerakkan lehernya, menghirup udara sekelilingnya. Aroma busuk menyelimuti tubuhnya yang kini seperti makhluk yang lebih dari sekadar zombie. Dia menatap ke luar, matanya yang merah membara menyapu sekeliling rumah kecil yang terabaikan itu. Dalam sekejap, dia meraih gagang pintu dengan kekuatan yang luar biasa.
Kembali ke ruang kendali, Arlot tersenyum licik, meraih telepon genggamnya dan segera menekan tombol dengan cepat. "Carlos," perintah Arlot dengan suara yang penuh ketegangan. "Siapkan tim khusus, temukan Alexa sekarang juga, dan bawa dia kembali ke tempatku. Jangan sampai ada yang terlambat!"
Carlos, yang berada di sisi lain, menjawab dengan cepat. "Siap, Pak! Kami akan segera bergerak."
"Bawa dia ke sini terlebih dahulu, sebelum kalian melanjutkan tugas di titik utama," perintah Arlot lagi, namun kali ini suaranya penuh dengan tekanan.
Setelah menutup telepon dengan kasar, Arlot kembali menatap kedua layar yang kini menampilkan dua sosok yang sangat penting baginya: Laura dan Alexa. "Aku harus membuat istriku lebih kuat, seperti mereka," gumamnya, dengan senyum licik di wajahnya. "Sekarang, kita lihat siapa yang lebih kuat."
Sejenak, Arlot mengalihkan pandangannya pada tas ranselnya, meraih sebuah foto keluarga, yang diambil diam-diam saat dia menyusup ke laboratorium Reviva Labs sebelum kota ini terinfeksi virus zombie. Foto itu berisi gambar keluarga Professor Arya, istri dan anak-anaknya, termasuk Widya, tersenyum ceria dalam foto itu. Arlot menyeringai, matanya menyala penuh kebencian. "Widya, kamu akan tahu siapa yang sebenarnya menghidupkanmu. Dan itu bukan eksperimen ayahmu, semua ini adalah karena aku," katanya dengan suara yang penuh kebanggaan dan dendam. "Dan kamu, Widya, akan menjadi bagian dari permainan besar ini."
Dengan suara tawa yang mengerikan, Arlot memandangi foto itu satu kali lagi, menatap keluarga Profesor Arya dengan rasa dendam yang tak tertandingi. "Kalian semua akan tahu siapa yang benar-benar menguasai PLAGUEHART," gumamnya dengan penuh kebanggaan dan ambisi yang mendalam.
Dengan satu gerakan kasar, Arlot menyimpan kembali foto itu ke dalam ranselnya, namun matanya tetap tajam menatap layar. Wajahnya yang menyeringai penuh kemenangan dan kebanggaan, seperti tengah merencanakan sesuatu yang jauh lebih buruk.