aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB
“Duh, kenapa tidak aktif sih? Wulan… jangan main-main, dong,” katanya lirih sambil terus menatap layar ponsel yang menampilkan tulisan nomor tidak dapat dihubungi.
Ia pun terduduk lemas di lantai. Pikirannya kacau. Perasaannya bercampur antara marah, bingung, dan takut.
"Apa Wulan kabur? Apa dia ninggalin aku? Tapi… kenapa? Gara-gara uang?"
Untuk pertama kalinya, Ramli merasa benar-benar sendirian.
...****************...
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika suara pintu kontrakan itu berderit pelan. Ramli yang masih duduk termenung di sudut ruangan segera menoleh. Wulan masuk bersama kedua anaknya yang tampak kelelahan, dan yang lebih mengejutkan—tangannya menenteng beberapa kantong plastik besar berisi barang-barang belanjaan.
Ada beras, minyak, susu anak, bahkan cemilan dan sabun mahal. Ramli mengernyit, matanya memandang tak percaya.
“Wulan… dari mana aja kamu?” tanyanya pelan.
Wulan mendesah, lalu meletakkan semua barang belanjaannya di atas tikar.
“Ngapain nanya kayak polisi sih?” jawab Wulan dingin.
Ramli bangkit, mendekati kantong plastik, lalu menatap istrinya heran.
“Ini… kamu beli semua ini dari mana? Bukannya tadi kamu bilang gak punya uang?”
Wulan menatap Ramli dengan sorot kesal, lalu duduk sambil membuka satu bungkus roti dan menyuapi anak bungsunya.
“Udah deh, Mas. Gak usah kepo. Yang penting rumah ini bisa makan malam ini. Anak-anak gak kelaparan,” ucap Wulan ketus.
Ramli makin curiga, tapi ia mencoba tetap tenang.
“Aku cuma tanya… apa kamu minjem uang dari orang? Atau—”
“Enggak!” potong Wulan cepat. “Aku gak minjem. Lagian, siapa juga yang masih mau minjemin duit ke kita, Mas?”
Ramli menunduk, napasnya berat.
“Terus dari mana?” desaknya lagi.
Wulan berdiri, menatap Ramli dengan pandangan tajam.
“Mas yang lebih baik mikirin gimana kasih aku uang tiap hari! Bukan malah interogasi aku begini! Lagian kalau aku gak gerak, kita semua bisa kelaparan!” serunya.
Ramli menatap istrinya lama, hatinya makin tidak tenang. Ia tahu, Wulan bukan tipe wanita yang diam ketika butuh. Tapi kalau bukan dari pinjam, dari mana uang itu datang?
Dan kenapa hatinya tiba-tiba terasa begitu gelisah?
...****************...
Seperti biasa, pagi itu Ramli menjaga toko materialnya. Ia tengah duduk di kursi kasir, mencatat stok barang, ketika tiba-tiba pintu toko terbuka dengan suara keras.
“Ramli!”
Suara itu menggema memenuhi toko, membuat Ramli sontak menoleh. Matanya membelalak saat melihat sosok yang sudah sangat dikenalnya—ibunya—berjalan masuk dengan wajah merah padam dan langkah cepat. Rambutnya yang mulai memutih tampak berantakan, dan nafasnya tersengal menahan emosi.
“Ibu?” Ramli berdiri tergagap. “Ngapain ke sini, Bu?”
“Jangan panggil aku ibu dulu sebelum kamu bisa jadi anak yang tahu diri!” bentak ibunya, membuat beberapa karyawan yang sedang menata barang menoleh diam-diam.
Ramli segera menghampiri dan menarik lengan ibunya pelan ke samping agar tidak menjadi tontonan.
“Ada apa, Bu? Kenapa marah-marah?” bisik Ramli mencoba meredam situasi.
Ibunya menepis tangan Ramli dan mendesis.
“Jangan pura-pura bodoh! Ibu tadi ke rumah, ke tempat si Rukayah itu. Ibu minta sedikit uang untuk kebutuhan ibu sama bantu adik-adikmu yang lagi kesusahan. Tapi tahu apa dia bilang?!”
Ramli terdiam, wajahnya mulai pucat.
“Ibu ini siapa?! Katanya gak ada sepeser pun yang boleh keluar buat keluarga suaminya! Katanya semua uang sekarang milik dia dan anak-anaknya! Memangnya kalian itu apa?! Binatang?!” Suara ibunya bergetar, hampir menangis.
“Bu, jangan teriak-teriak di sini,” ucap Ramli panik, matanya mengawasi sekitar.
“Apa kamu sudah begitu rendahnya, Li?! Ibumu datang jauh-jauh, malah disuruh pulang dengan tangan kosong?! Kamu pikir, karena kamu punya istri kaya bisa seenaknya buang keluarga sendiri?!”
Ramli menunduk, dadanya sesak. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.
“Aku ini ibumu, Ramli. Perempuan yang melahirkan dan membesarkanmu! Kamu bisa kayak sekarang juga karena doa dan keringat siapa?! Sekarang kamu diam saja?!” suara ibunya makin nyaring, matanya mulai berkaca-kaca.
“Ibu…” suara Ramli nyaris tak terdengar. “Aku gak punya pilihan, Bu. Semua uang dipegang Rukayah. Aku pun dikasih gaji bulanan… satu juta. Gak bisa seenaknya ambil.”
Ibunya menatap tajam.
“Kalau begitu, kamu itu bukan suami. Bukan kepala rumah tangga. Tapi cuma peliharaan yang dikasih makan cukup biar nurut!”
Ramli menelan ludah, wajahnya menegang menahan malu dan sakit hati.
“Kalau kamu masih punya harga diri, cari jalan. Jangan biarkan ibu dan saudaramu menderita begini karena kesalahanmu sendiri. Kamu yang rusak semuanya, Ramli. Kamu!”
“Ayo ikut ibu sekarang! Kita ke rumah si Rukayah itu! Biar ibu yang ngomong langsung!” bentak ibunya dengan wajah penuh amarah.
“Bu… jangan, nanti malah—”
“Jangan banyak alasan! Kamu laki-laki atau bukan?! Masa disuruh istri, diem aja?!” sergah ibunya sambil terus menyeret Ramli keluar dari toko.
Ramli hanya bisa pasrah mengikuti langkah ibunya. Wajahnya tertunduk, malu dilihat para karyawan toko dan beberapa pelanggan yang kebetulan melihat kejadian itu.
Sesampainya di rumah, pintu depan diketuk keras oleh sang ibu.
Tok tok tok!
BRAK!
Tok tok tok!
“Rukayah! Buka pintunya! Ini aku, ibunya Ramli!” teriak wanita tua itu dengan suara lantang.
Pintu rumah digedor dengan keras, membuat jantungku berdegup tak karuan. Tapi entah kenapa, aku sudah bisa menebak siapa yang ada di balik pintu itu. Ketukan seperti itu, dengan nada emosi yang meledak—tak salah lagi, pasti mertua.
Aku menarik napas panjang, menenangkan diriku sejenak sebelum melangkah pelan ke arah pintu. Suasana rumah yang tadinya tenang, berubah menjadi tegang. Anak-anakku sudah masuk ke kamar, mungkin mereka juga bisa merasakan hawa yang mendadak berubah ini.
Tok! Tok! Tok!
"Rukayah! Buka pintunya! Ini aku, ibunya Ramli!"
Teriakan itu mengonfirmasi dugaanku.
Kupilin kenop pintu perlahan. Begitu terbuka, berdiri di sana sosok wanita tua yang dari wajahnya saja sudah terlihat kemarahan yang membara. Di belakangnya, Ramli berdiri kaku seperti anak kecil yang habis dimarahi guru di depan kelas.
“Ada apa lagi, Bu?” tanyaku datar, berusaha tetap tenang.
Mertua mendengus kasar. “Kamu tahu sendiri! Aku ke sini karena kamu tak kasih uang sepeser pun padaku! Kamu kira aku ini pengemis?!”
Aku tersenyum tipis. Bukan senyum ramah, tapi senyum lelah. “Bukan pengemis, Bu. Tapi saya tidak punya kewajiban membiayai ibu dari laki-laki yang sudah mengkhianati saya.”
Matanya melotot. Suaranya meninggi. “Kamu masih tinggal di rumah ini! Masih makan dari usaha toko yang dibangun anakku Ramli masih! Jangan seenaknya bilang begitu!”
Kupandangi Ramli sekilas, lalu kutatap mertuaku lagi. “Justru karena usaha itu dibangun dari hasil kerja keras saya juga. Saya yang kelola, saya yang majukan. Ramli? Dulu cuma duduk-duduk di toko sambil mainan HP. Sekarang pun saya yang gaji dia, Bu. Saya bertanggung jawab atas anak-anak saya, bukan atas keluarga yang dulu tega menyudutkan saya.”
“Kurang ajar!” teriaknya.
“Sudah, Bu…” suara Ramli pelan. Aku tahu dia ingin meredam, tapi suaranya nyaris tak terdengar. Lelaki itu memang tidak pernah bisa berdiri di antara dua pihak. Ia hanya bisa diam, bersembunyi di balik bahu siapa yang paling nyaman baginya.
“Lihat sendiri, Rukayah! Anakku ini bukan laki-laki! Takut sama istri! Tak bisa kasih uang buat ibunya sendiri!”