Ralina Elizabeth duduk tertegun di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Ia masih tidak percaya statusnya kini telah menjadi istri Tristan Alfred, lelaki yang seharunya menjadi kakak iparnya.
Semua gara-gara Karina, sang kakak yang kabur di hari pernikahan. Ralina terpaksa menggantikan posisi kakaknya.
"Kenapa kamu menghindar?"
Tristan mengulaskan senyuman seringai melihat Ralina yang beringsut mundur menjauhinya. Wanita muda yang seharusnya menjadi adik iparnya itu justru membuatnya bersemangat untuk menggoda. Ia merangkak maju mendekat sementara Ralina terus berusaha mundur.
"Berhenti, Kak! Aku takut ...."
Ralina merasa terpojok. Ia memasang wajah memelas agar lelaki di hadapannya berhenti mendekat.
Senyuman Tristan tampak semakin lebar. "Takut? Kenapa Takut? Aku kan sekarang suamimu," ucapnya lembut.
Ralina menggeleng. "Kak Tristan seharusnya menjadi suami Kak Karina, bukan aku!"
"Tapi mau bagaimana ... Kamu yang sudah aku nikahi, bukan kakakmu," kilah Tristan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Gagal Malam Pertama
"Walaupun aku tidak menyukai Karina, tapi aku tidak menyangka dia akan kabur darimu. Apa jangan-jangan kamu yang merencanakannya?" tanya Regis.
Usai acara, Regis dan Tristan menyempatkan diri berbicara berdua di balkon sebuah ruangan. Malam ini terlalu melelahkan. Mereka sibuk menjelaskan terkait perubahan mempelai wanita. Tidak banyak yang tahu calon pengantin Tristan, namun beberapa relasi dekat sudah mengetahuinya.
"Kamu pikir aku sudah gila untuk mengacaukan pernikahanku sendiri?" tepis Tristan seraya menghabiskan wine di gelasnya.
Awalnya ia hanya ingin menikahi Karina agar bisa lebih banyak mengatur keluarga mereka. Tidak disangka, dia malah menikahi wanita yang ingin dilindunginya. Meskipun mengejutkan, ia kira itu lebih baik dari yang direncanakannya.
"Kira-kira kenapa wanita itu kabur? Bukannya dia sangat tergila-gila padamu?"
"Aku juga belum tahu. Hamin dan Hansan yang nanti akan mencari tahu."
"Lalu, apa yang mau kamu lakukan dengan istri kecilmu itu?"
"Hah?"
"Kamu tidak serius untuk menjadikan gadis itu sebagai istrimu, kan?" tanya Regis serius.
Tristan tampak salah tingkah sampai ingin meminum wine di gelasnya yang telah kosong.
"Atau kamu ...."
"Aku tidak memikirkan apapun sekarang!" Tristan memotong perkataan Regis.
"Bagiku yang terpenting nama baik kedua keluarga tetap terjaga."
"Dari pada aku pusing untuk menanggapi berita lebih baik seperti ini," kilahnya.
Regis mengangguk-angguk mencoba memahami keputusan Tristan. "Baiklah kalau begitu, aku mau pulang sekarang. Istriku pasti akan protes lagi karena aku telat pulang," gumamnya sembari melihat ke arah jam tangan.
"Ya, pulanglah!"
Kini Tristan sendirian di sana. Ia mengecek jamnya, sudah hampir pukul dua belas malam. Ia yakin Ralina pasti sudah lebih dulu tidur. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Saat tiba di depan pintu kamar hotelnya. Ia menghela napas. Tiba-tiba saja ia merasa gugup.
"Tenang saja, dia pasti sudah tidur," katanya pada diri sendiri.
Pintu kamar terbuka. Ada banyak bunga menghiasi kamar pengantinnya. Ia menghentikan langkah saat melihat Ralina yang masih terjaga tengah duduk di tepi ranjang. Wanita itu belum melepaskan gaun pengantinnya.
"Kamu belum tidur?" tanyanya sembari melepaskan jas yang sedari tadi ia kenakan.
"Aku mau pulang."
Tristan tertegun mendengar permintaannya. Baru saja tadi ia meminta Hamin dan Hansan untuk membenahi apartemennya.
"Tempat tinggal kita belum selesai dibereskan. Sementara kita tinggal di sini dulu."
"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku."
Tristan melebarkan mata. Ada rasa kesal di hati mendengarkannya. Sejauh ini ia akan berhasil membawanya pergi dari rumah neraka itu, tapi Ralina justu menginginkan kembali ke sana. Ia sampai melepaskan dasinya dengan kasar dan membuangnya.
"Maksudnya apa? Kamu mau meninggalkan suamimu?" tanyanya dengan nada emosi.
"Aku tidak mau menjalani pernikahan palsu!"
"Palsu katamu?"
Tristan merasa tersinggung. Ia mendorong bahu Ralina hingga gadis itu jatuh terlentang di bawahnya. Tatapan matanya sangat tajam. Setelah apa yang ia lakukan selama ini, gadis itu tetap membela keluarganya, juga kakaknya yang sudah jelas-jelas ingin mempermalukan dirinya.
"Kalau kamu berani pulang, aku pastikan ayahmu akan kembali pingsan!" ancamnya.
Gadis itu tampak diam di bawahnya. Ia merasa telah menakut-nakutinya. Melihat wajah polosnya, ia merasa kasihan. Tapi sekaligus membangkitkan hasratnya untuk memangsa.
Apalagi ketika momen ciuman itu kembali berputar di otaknya. Fokus pandangannya terpaku pada bibir kecil itu. Ia jadi ingin memakannya lagi.
Perlahan ia menurunkan wajahnya, membuat gadis itu memejamkan mata dan memalingkan muka. Ralina takut kepadanya.
Tristan mengurungkan niatnya. Ia bangkit melepaskan Ralina dari himpitannya. Ia merasa perlu untuk menenangkan diri sejenak.
"Sebaiknya kamu mandi dan mengganti pakaianmu dulu. Aku juga nanti akan mandi setelahmu."
"Atau ... Kita mandi bersama saja?"
Ralina langsung sigap kembali terduduk. "Kak Tristan saja yang mandi lebih dulu. Aku akan mandi nanti!" katanya.
Tristan menahan tawanya. "Baiklah, aku akan mandi lebih dulu. Tunggu di sini!"
Tristan lantas berjalan menuju kamar mandi. Ia melepaskan seluruh pakaiannya dan menyalakan shower untuk membahasi tubuhnya. Guyuran air sedikit menjernihkan pikirannya.
Ia rasa terlalu agresif dan tergesa-gesa. Entah mengapa ia jadi tertarik untuk menerkam gadis itu seperti orang yang kehilangan akal.
"Tristan ... Kamu memang tidak tahu malu. Katanya kamu menganggapnya seperti adikmu," gumamnya.
"Tapi, bukankah hal seperti itu adalah sesuatu yang wajar? Dia sudah menjadi istriku. Wajar kalau aku tertarik padanya."
"Apa boleh aku sedikit memaksa?"
"Mungkin di awal ia tidak akan suka. Tapi, kalau sudah terbiasa, bukankah dia akan suka?"
"Bagaimana cara membicarakannya?"
Otak Tristan sudah dipenuhi dengan pikiran yang tidak-tidak.
Ia mempercepat mandinya dan mengenakan handuk kimono untuk menutupi tubuhnya yang polos.
"Sekarang kamu bisa mandi," ucapnya.
Suasana hening. Ternyata Ralina tidak ada di sana lagi. Ia melihat ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Pakaian pengantin Ralina tergeletak di atas sofa. Tristan mematung.
"Tidak mungkin kan, dia kabur?"
Ponselnya bergetar. Ia menghampiri meja tempat ponselnya berada dan melihat siapa yang menelepon. Hamin. Bahkan anak buahnya itu sudah beberapa kali melakukan panggilan tak terjawab.
"Halo?"
"Maaf, Pak. Saya dan Hansan ada di lobi. Tadi saya melihat seorang wanita yang sepertinya mirip dengan Nona Ralina. Dia pergi naik taksi."
Tristan agak terkejut mendengarnya. Ternyata gadis muda itu berani kabur darinya. Ia sampai memijit dahinya.
"Bukankah Nona Ralina ada bersama Anda sekarang?"
"Tidak. Itu memang Ralina," jawab Tristan.
"Apa kami perlu mengejarnya?"
"Tidak usah. Biarkan saja dia pergi. Aku yakin nanti dia akan kembali lagi," ucap Tristan seraya mematikan sambungan teleponnya.
Ia merasa kesal karena telah dipermainkan. Otaknya memikirkan suatu rencana yang bisa membuat gadis itu jera. Tidak disangka akan sulit untuk menanganinya.
"Tunggu saja kucing kecilku, kalau kamu kembali, akan aku ikat lehermu supaya tidak bisa kabur lagi."
kira" kemana raliba apa diculik jg sama bobby bisa sj kn raliba dpt info dr seseorang beritahu kbradaan karina yg trnyata dibohongi jg sma orang itu krn oerginya ralina g ada yg tau knp hamin g ngejar waktu itu
tristan pdkt sama ralina ny jngan kasar"