Galang Aditya Pratama—seorang pengacara ternama yang dikhianati oleh sang istri hingga bertahun-tahun lamanya. Kemudian, Cinta Amara hadir di kehidupannya sebagai sekretaris baru. Amara memiliki seorang putri, tetapi ternyata putri Amara yang bernama Kasih tak lain dan tak bukan adalah seseorang yang selama ini dicari Galang.
Lantas, siapakah sebenarnya Kasih bagi Galang?
Dan, apakah Amara akan mengetahui perasaan Galang yang sebenarnya?
###
"Beri saya kesempatan. Temani saya Amara. Jadilah obat untuk menyembuhkan luka di hati saya yang belum sepenuhnya kering. Kamulah alasan saya untuk berani mencintai seorang wanita lagi. Apakah itu belum cukup?" Galang~
"Bapak masih suami orang. Mana mungkin saya menjalin hubungan dengan milik wanita lain." Amara~
***
silakan follow me...
IG @aisyahdwinavyana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Na_Vya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24~
~"KASIH BUKAN ANAK SAYA."
###
"Em, Pak. Saya ingin menyampaikan sesuatu," ucap Amara yang seketika mengalihkan pandangan Galang.
"Apa?" tanyanya pada Amara yang nampak terdiam sesaat.
Perempuan itu menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. 'Ayo Amara. Kamu pasti bisa. Ini demi kebaikan Kasih.' batinnya menyeru.
"Bapak pernah bilang kalau wajah Kasih itu sangat mirip dengan wajah Kakak Anda?" Dia bertanya dengan nada takut sekaligus ragu. Jantungnya berdebar sejak tadi, seperti maling yang hendak mengaku. Untuk menelan ludah saja Amara harus bersusah payah lebih dulu. Jemarinya semakin erat saling menaut.
"Iya." Galang mengangguk. "Menurut saya mereka memang sangat mirip. Maaf. Saya enggak bilang kalau Kasih itu enggak mirip sama kamu, Ra. Apa mungkin dia mirip ayahnya?"
Amara melongo sambil mengerjap perlahan.
'Ayah? Aku bahkan belum menikah. Bagaimana Kasih bisa punya ayah. ck.' Gerutunya dalam hati.
"Kasih enggak punya ayah, Pak," ujar Amara yang lantas menghela napas berat.
"Iya, saya tahu itu. Ayahnya Kasih udah meninggal 'kan?"
"Hah?" Amara memasang raut bingung lantas menggeleng cepat. "Ayahnya Kasih enggak meninggal."
Alis Galang menaut. "Terus? Kata Kasih, ayahnya meninggal sejak dia umur dua bulan," ujarnya— mengatakan apa yang dia ketahui dari Kasih.
Memang, pada saat itu Galang belum bertanya langsung kepada Amara tentang kebenarannya. Sebab menurutnya pengakuan dari Kasih sudah cukup baginya.
Amara menunduk lesu dan berujar,
"Ayahnya Kasih enggak ada, Pak. Saya—"
"Kamu hamil di luar nikah? Atau ....?
sela Galang lantas menduga-duga sendiri apa yang hendak dikatakan Amara.
Amara sontak mengangkat kepala seraya mengibaskan tangannya. "Hah? Bukan, Pak! Bukan itu maksudnya," sergahnya sambil menelan ludah. 'Kenapa dia malah mikir gitu, sih? Dikira aku cewek gampangan apa?' gerutunya dalam hati.
Galang menjadi bingung sendiri dengan arah pembicaraan mereka. Dia bahkan sampai menggeser posisi duduknya menjadi menyamping.
"Maaf, Amara. Saya masih belum paham dengan apa yang kamu katakan."
Kepala Amara semakin berdenyut. Pembicaraan ini seolah tak ada habisnya. Dia mendesah gusar dengan decakan nyaris tak terdengar.
"Amara?" Galang memindai Amara dengan intens. Menunggu perempuan itu memberi jawaban.
"Begini, Pak. Sebenarnya saya ini belum menikah."
"Apa?" Bola mata Galang melebar. "Lalu Kasih? Ma-maksud saya Kasih anak kamu 'kan?" Mencoba memperjelas hubungan Amara dengan Kasih.
Menggigit bibir bawahnya dengan bola mata yang bergerak gelisah. Amara hanya bisa menggeleng lemah.
"Bu-bukan. Kasih bukan anak saya," jawabnya kemudian lantas menunduk. 'Akhirnya ....' lanjutnya dalam hati. Kebiasaannya pun muncul. Bila sedang gelisah atau pun bingung, Amara menggigiti kukunya.
Tubuh Galang menegang nyaris membeku di tempat. Tatapannya tak lepas menatap gadis yang baru saja mengaku jika Kasih bukanlah putrinya.
"Maksud kamu Kasih bukan anak kandung kamu, begitu?" Galang memastikan sekali lagi jika yang dia dengar barusan memang benar adanya.
Kepala Amara mengangguk, dan di detik kemudian dia memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya.
"Saya ...."
Pelan-pelan Amara mulai menceritakan awal kejadian beberapa tahun silam kepada Galang. Dari mulai dia bertemu dengan Kak Maya, dan segala ancamannya yang tak masuk akal. Raut muka lelaki di depannya pun berubah-ubah. Kadang sendu, kadang terkejut, dan yang terakhir mulai menitikan air mata. Dari apa yang dia dengar dari mulut Amara, semuanya benar-benar mengejutkan sekaligus mengharukan.
Di jaman sekarang, ternyata masih ada orang sebaik dan sepeduli Amara. Yang selama bertahun-tahun rela menghabiskan waktu cuma untuk merawat bayi seseorang yang tidak dia kenal. Dan, yang lebih menyentuh hati ialah Amara mau mengakui Kasih sebagai anak kandungnya meski dia harus menerima berbagai hinaan dan cemoohan.
Galang menatap lekat Amara yang terus menceritakan tentang pertemuannya dengan Kak Maya. Seketika rasa simpati dan kagum menjadi bertambah berkali-kali lipat.
"Jika Bapak enggak percaya kita bisa melakukan tes DNA dan membuktikan bahwa Kasih benar-benar putrinya Kak Maya."
"Apa!" Tiba-tiba terdengar suara pekikan mami Sarah dari arah pintu disertai dengan suara piring yang pecah.
"Mami?" Galang sontak berdiri.
"Nyonya?" Amara ikut berdiri.
Kedua orang itu sama-sama tercengang. Menatap nyalang mami yang membeku di tempatnya lalu memindai lantai kamar yang nampak berantakan. Potongan puding bercampur dengan pecahan piring tercecer di bawah sana.
"A-apa yang baru saja mami dengar itu enggak salah 'kan? K-Kasih anaknya Maya? Benar begitu?" Mami bertanya kepada kedua orang yang kini sedang menatapnya tanpa berkedip. Lelehan air mata satu persatu turun dari mata tuanya. Beliau menangis haru dan bahagia.
Entahlah. Perasaannya kini campur aduk. Mami Sarah masih belum yakin lantaran Amara dan Galang masih bungkam.
"Galang, Amara, mami bertanya pada kalian." Mami menatap bergantian kedua orang tersebut.
Galang dan Amara saling pandang sekilas, sejurus kemudian pandangan Galang beralih kepada mami. Sorot matanya memancarkan sesuatu yang membuat mami Sarah semakin penasaran. Lantas dengan sekali anggukkan kepala dari Galang, mami bisa langsung mengerti, bahwa jawaban yang diberikan oleh putranya itu sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh beliau.
Mami tak dapat berkata apa-apa lagi. Selain tangisan yang semakin menjadi dan ucapan syukur yang tak henti keluar dari mulutnya.
*
*
Beberapa saat kemudian.
Mami, papi dan Galang duduk di satu tempat yang sama dengan Amara dan Kasih. Sementara Vanila sudah pulang sejak tadi bahkan sebelum Kasih tiba di sana. Istri Galang itu pulang dengan diantar sopir pribadi mami lantaran di sini dia merasa tidak dihargai keberadaannya. Tanpa ingin mencegah, Galang pun membiarkan Vanila pulang sendiri. Dikarenakan, mulai hari ini mereka tidak akan tinggal dalam satu atap.
Itu merupakan syarat kedua yang diajukan oleh Galang untuk Vanila jika masih ingin menjadi istrinya. Dan, dengan berat hati Vanila setuju tanpa tahu rencana apalagi yang akan dibuat oleh suaminya itu.
Kasih yang merasa bingung dengan keadaan di sekitarnya pun akhirnya membuka suara.
"Bu, kenapa Nenek dan Kakek menangis?" tanyanya dengan polos. Dia duduk di samping Amara, sedangkan mami, papi dan Galang duduk di seberang sana.
Amara bingung harus menjawab apa. Kasih anak yang sangat cerdas dan selalu ingin tahu. Mungkin, dia akan menjelaskannya secara pelan-pelan agar putrinya ini tidak merasa syok.
"Kasih mau 'kan tinggal di sini sama Nenek?" Perhatian Kasih teralihkan oleh tawaran dari mami. Beliau menyeka sisa air mata dengan tisu lantas berdiri dan menghampiri cucunya.
Mami duduk di samping Kasih lalu bertanya lagi, "Kasih tinggal di sini sama nenek, sama kakek, sama om. Mau?" tawarnya seraya mengelus rambut panjang Kasih.
Papi Hendra dan Galang memilih diam. Mereka tidak mau menambah kebingungan Kasih. Biar itu menjadi urusan mami dan Amara.
Kasih terdiam, dan mengalihkan pandangannya pada Amara.
"Bu, kenapa Kasih harus tinggal sama mereka? Kalo Kasih tinggal sama mereka, terus Ibu gimana? Kasih enggak mau ninggalin Ibu. Kasih mau sama Ibu aja." Bocah itu merengek dan segera menghambur ke pelukan ibunya. Kasih menangis dan merasa ketakutan apabila harus berpisah dengan Amara.
Tangisan Kasih jelas membuat hati ketiga orang tersebut menjadi kian merasa sedih. Mereka tak ada niatan untuk memisahkan Kasih dari Amara. Oleh sebab itu, papi Hendra memutuskan untuk mengajak Kasih tinggal di sini beserta Amara.
###
tbc...
Atau penulis nya udah keabisan ide utk kelanjutannya?
sayang klo ga sampe abis n ending yg entah itu happy or sed ending.
setidaknya di selesaikan dulu sampe finish. jangan ngegantung.