Teman-teman ini novel keduaku setelah Mencari Cinta Sejati. Dukungan teman-teman akan menjadi cambuk bagiku untuk hasilkan karya bagus. Kritik dan saran membangun sangat kubutuhkan.
Dimulai dari kisah nasib apes seorang gadis muda bernama Citra Ayu. Gadis muda ini terpaksa menikah dengan seorang CEO kaya raya berwajah rupawan. Selain tampan dan kaya CEO itu memiliki banyak penggemar.
Citra harus menikah dengan CEO kaya itu karena keluarga Lingga berhutang budi pada keluarga Citra. Bapak Citra meninggal karena menyelamatkan kakek CEO yang nyaris terbakar di jalan tol. Bapak Citra supir keluarga Lingga. Demi menjamin masa depan anak yatim piatu itu kakek CEO nikahkan Citra dengan cucunya yang terkenal dingin dan tak bersahabat.
Bagaimana nasib Citra selanjutnya? Hidup bahagia bersama CEO atau tercampakkan karena statusnya yang tak setimpal dengan CEO dambaan puluhan wanita.
Mohon dukungan. Bila suka jangan lupa beri tanda like dan vote. Terima kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei Sandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbincangan
"Kalau gitu kalian pulang dulu diantar Om Untung! Jangan lupa minta terima kasih ya Ko! Om sudah capek-capek antar tak dapat bayaran. Kata terima kasih sebagai bayaran." Citra berkata lembut pada Azzam untuk hargai jerih payah Untung antar jemput Azzam.
"Iya Mi... assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
Azzam dan Ance berniat tinggalkan ruang perawatan Afifa. Dari belakang Untung sudah ngekor bak bebek ikut rombongan pulang kandang.
"Bawa pakaian mami Zam! Titip sama om Untung. Mami mu butuh pakaian ganti." ujar Alvan teringat Citra tak bawa baju ganti.
Citra berterima kasih perhatian kecil Alvan. Kata itu cuma terucap dalam hati. Citra masih ogah katakan secara langsung. Bisa besar kepala laki itu. Dikira Citra sudah luluh pada kebaikan kecilnya. Perhatian itu datang terlalu lambat. Sudah kadaluwarsa.
"Minta kak Ance ambil pakaian mami. Jangan nakal ya Ko!"
"Beres mi...Koko tidur sama kak Ance!"
Selesai omong Azzam pergi keluar. Dua pengawal Azzam ikut tanpa bicara.
Citra segera bereskan sisa makan mereka untuk menyejukkan mata dari pemandangan jorok. Ruang itu bersih sekali, sayang kalau harus ternoda oleh sisa makanan. Citra kerjakan dengan luwes telaten. Alvan tak heran Citra cekatan. Dari dulu Citra memang piawai urus urusan dapur. Masakan Citra lezat tak heran kedua anaknya montok bergizi.
Citra cuci tangan di wastafel usai berberes. Dari situ Citra pantau tetesan transfusi darah Afifa. Dilanjutkan test suhu tubuh Afifa. Sedikit naik dibanding tadi. Satu jam lagi Afifa harus di beri minum obat penurun panas agar suhunya bisa stabil.
Alvan perhatikan gerak gerik Citra tanpa komentar. Citra bertugas sebagai ibu sekaligus dokter dari anak sendiri. Wajar Citra telaten memantau anaknya.
"Kau tak istirahat?" tegur Alvan lihat Citra masih sibuk pantau di mana kekurangan Afifa.
"Nanti saja! Bapak tidur saja kalau ngantuk."
"Apa aku boleh tidur di samping anakku? Ranjangnya kan besar."
"Tidak...Aku takut tubuh besar bapak gencet Afifa. Tidur di sofa. Tolong lihat Afifa bentar! Aku mau tanya soal obat demam Afifa sampai perawat."
"Pergilah! Cepat balik!"
Citra berencana cari Nadine minta gadis itu pulang jaga Azzam. Ditinggal bersama Ance yang akalnya sama dengan Azzam bukan pilihan tepat. Keduanya bisa tidur telat main game di ponsel. Azzam bisa telat ke sekolah.
Sepergi Citra ponsel Alvan berbunyi. Di layar tertera kontak mama. Alvan segera angkat mau tahu kenapa mamanya telepon malam begini. Mamanya jarang telepon kalau tak penting.
"Halo...ada apa ma?" Alvan duluan menyapa.
"Van...kamu di mana? Kasihan Karin ditinggal sendiri di rumah. Katanya kau keluar kota. Dia sedang hamil anakmu lho!"
"Ma...Alvan ada pekerjaan penting. Sangat penting. Di rumah kan ada Bik Ani dan Iyem. Dia takkan kesepian. Mama tak usah kuatir."
"Tadi dia telepon nangis kau pergi tanpa pamit."
"Aduh ma! Alvan pergi bukan pergi berlibur. Dia juga tidur sampai siang. Mana bisa kutunggu." Alvan bersabar tak mau bongkar kebusukkan Karin. Orang tuanya memang tak suka Karin dari dulu. Alvan bersikeras nikahi wanita itu. Kedua orang tua Alvan tak punya pilihan selain restui keduanya dengan hati berat. Andai sekarang Alvan buka kedok Karin kedua orang tuanya pasti langsung usir Karin. Alvan belum temukan jawaban siapa ayah biologis anak Karin maka tekan rasa sabar.
"Mama ajak tinggal bersama mama dua hari ini. Tunggu Alvan pulang."
"Baiklah! Akan mama coba bujuk dia pulang ke rumah mama! Kamu hati-hati ya nak!"
"Iya ma..." Alvan merasa berdosa telah menipu mamanya. Alvan tak punya pilihan selain berbohong. Tak mungkin Alvan katakan berada di rumah sakit bersama anaknya. Kedua orang tuanya pasti heboh. Bisa-bisa mereka tuntut Citra minta hak asuh.
Alvan takkan ulangi kesalahan sama menyakiti Citra. Alvan sudah banyak berbuat dosa pada Citra. Cukup sekian.
Alvan meneleponi Iyem cari tahu kondisi rumah. Bik Ani mungkin sudah tidur karena pembantu tua itu tak bisa diajak bergadang. Faktor usia haruskan perempuan paro baya itu bertekuk lutut pada waktu.
"Halo...Pak Alvan...ini Iyem!" suara ganjen Iyem menggoda kuping Alvan.
"Nyonya mu mana?"
"Sudah pergi pak! Dijemput mobil hitam. Nyonya tak bawa mobil."
"Ada pesan?" geram Alvan dalam hati. Telepon ngadu kesepian pada mamanya ngak tahu sudah keluyuran. Ancaman Alvan kayaknya tak berguna buat Karin. Dari hari ke hari wanita itu makin merajalela. Bertindak seenak udel.
"Tidak ada...pergi gitu saja!"
"Baiklah! Kunci semua pintu dan jendela. Minta satpam kunci pagar dan kamu kunci pintu dari dalam dan turunkan engsel pacokan."
"Tapi gimana nyonya pulang?"
"Tak perlu pikirin! Kau cepat tidur!" Alvan langsung matikan ponsel dengan hati membara.
Karin sudah kelewatan. Berbohong cari muka tak tahu ngelayap ntah ke mana. Alvan terpaksa minta bantuan Daniel lacak keberadaan Karin. Takutnya wanita itu keblabasan lewat batas. Karin sedang hamil muda. Semua resiko bisa datang tanpa diundang. Alvan belum mau Karin meraih kemenangan saat ini. Avan harus buka kedok Karin pada waktu tepat.
"Halo Dan..tolong nih! Karin kabur keluar lagi. Tolong lacak!"
"Jumpa Zaki lagi?"
"Mana kutahu? Bukankah Zaki sedang kalian urus?"
"Iya sih tapi bukan bilang tangkap langsung tangkap. Polisi harus kumpulkan bukti dulu. Tenang bro! Laporan segera datang. Oya gimana calon anakku? Sudah mending?"
"Buang angan kosong lhu! Afifa takkan jadi anakmu. Aku akan kejar induknya lagi!"
"Bro...Citra bukan tempat pelarian mu! Dia berhak bahagia."
"Coba saja! Oya...aku sudah lihat Afisa. Cantik seperti malaikat suci. Matanya tersimpan sejuta kejora. Cuma mulut sebelas dua belas dengan Azzam. Beracun juga!"
"Jalan lhu terjal kalau jumpa dua lawan tangguh. Satu saja lhu sudah KO. Ditambah satu lagi. Binasa lhu!"
"Lhu sumpahi gue cepat mati ya! Biar bisa tembak induknya? Ngak usah mimpi! Gue punya kartu as Citra. Gue pasti menang."
"Takabur...sudah ach! Gue cari info dulu."
Ruang rawat Afifa jadi hening. Alvan benar-benar pusing dibuat Karin. Manusia model apa wanita yang dia perjuangkan habisan. Kalau mau bicara kasar Alvan nikahi wanita murahan kelas tinggi. Diberi tempat mulia malah memilih bersandar pada pintu neraka. Cinta Alvan terkikis oleh tingkah laku tak senonoh Karin. Rasa cinta berubah jadi benci. Alvan merasa dipermainkan oleh cinta Karin. Wanita lihay mainkan peran ganda. Sok elite ngak tahunya murahan. Mungkin lebih murah dari kupu-kupu malam yang mangkal cari mangsa pria hidung belang. Mereka murni cari duit menyambung hidup. Sedang Karin apa? Hidup gelimang harta namun masih umbar syahwat.
Citra kembali ke kamar Afifa barengan dengan suster yang bertanggung jawab pada kesehatan Afifa. Suster itu sudah dapat pengarahan dari dokter Budi cara tangani penyakit Afifa.
Afifa anak pemilik rumah sakit tentu harus dapat prioritas utama. Siapa berani main-main dengan nyawa anak orang kaya. Sanksi hukum menanti dianggap mal praktek.
Perawat itu cek suhu Afifa dan setelan infus transfusi darah Afifa. Perawat itu perhatikan dengan teliti jangan ada yang terlewatkan. Wajah cantik Afifa tak secerah biasa. Agak pucat karena kekurangan darah.
"Bu...kita tak bisa suntik Norages sekarang ini. Kita beri sirup penurun panas dulu. Demamnya mulai menyerang lagi. Kita kompres pakai air biar tak panas." lapor suster itu setelah yakin tindakan apa harus dilakukan.
"Aku tahu...makin malam demam akan tinggi. Sediakan obatnya. Aku akan bangunkan Afifa. Oya minta tolong beli bubur lagi! Takut Afifa lapar lagi."
"Baik Bu! Saya akan beli buburnya sekalian bawa obat demam. Oya apa ada stok plester demam?"
"Tidak Bu! Apa perlu kuminta sekuriti beli untuk adik ini?" suster itu sangat hormat pada Citra yang cukup dikenal sebagai dokter baik.
"Boleh...untuk berjaga-jaga! Tunggu ibu ambil uang dulu!" Citra berjalan ke meja di mana tasnya tergeletak. Alvan tak bisa berbuat apa-apa karena kantongnya memang tak ada uang cash. Uangnya tersimpan di kartu sebesar kotak korek api. Cukup gesek semua beres.
Citra serahkan dua lembar uang warna merah pada suster itu. Suster segan ambil uang Citra yang dianggap terlalu banyak. Bubur dan plester tak perlu uang sebanyak itu.
"Bawa dulu. Lebih baik lebih daripada kurang. Pergi cepat! Oya...gimana pasien kamar sebelah? Masih merepotkan?"
"Sudah tidur. Yang heboh isterinya itu. Banyak perintah."
"Ya sudah sabar saja! Pergilah!" Citra menepuk pundak perawat muda itu beri semangat. Jadi para medis bukan gampang. Jumpa pasien cerewet bikin muntah darah. Belum lagi keluarga cerewet sok ngatur. Merasa lebih pintar dari dokter.
"Di sebelah Heru Perkasa?" tanya Alvan penasaran pasien bawel perusuh.
"Begitulah namanya!"
"Kau kenal orang itu?"
"Ya kenal..dia pasienku! Orang gila..."
"Kok gila? Dia itu konglomerat kaya. Bisnisnya cukup luas."
"Apa peduliku? Semua pasien sama di mataku. Orang sakit. Mau kaya, miskin tetap pasien." jawab Citra tak tertarik bahas masalah orang kaya. Citra alergi orang kaya. Makin kaya makin menyusahkan orang kecil.
Alvan tertawa lega Citra tidak tertarik pada laki kaya raya itu. Alvan malas bersaing dengan rekan bisnis rebut bini. Citra masih berstatus isterinya, Alvan menang selangkah dari pejantan mana pun dalam hal mencuri perhatian Citra.
"Dia duda beranak satu. Isterinya kabur dengan orang Arab."
"Stop...jangan buka aib orang! Aku tak mau dengar juga tak mau tahu urusan orang. Tugas aku hanya menyembuhkan pasien." tukas Citra cepat.
"Aku hanya cerita. Aku kenal baik dia!"
"Aku dokter bukan host pembawa acara gosip. Kalau bapak sakit silahkan cerita penyakit bapak! Aku siap dengar?"
"Aku memang sakit. Kau kan sudah tahu penyakitku. Kapan kau mau cek aku langsung."
Muka Citra memerah terjebak omongan sendiri. Citra lupa kalau Alvan sedang bermasalah dengan kesuburan sebagai pria. Pria bisa jumpa dengannya gara-gara ingin berobat. Dokter Hans rekomendasi Citra untuk jadi dokter Alvan. Dari situ muncul niat Citra kabur lagi.
"Itu...itu...ada dokter lebih senior! Aku hanya dokter junior." Citra perlihatkan sikap gugup. Membayangkan menyentuh daerah vital Alvan saja keringat dingin mengalir di kuduk. Gimana bila harus lihat langsung daerah terlarang itu. Bisa semaput Citra.
"Dokter Hans rekomendasi kamu artinya dia percaya kemampuanmu! Kenapa? Malu? Masak lihat malu? Kau kan pernah rasakan sesuatu itu." olok Alvan menikmati wajah kepiting rebus Citra.
Sumpah mati ingin rasanya Citra sumpal mulut nakal itu dengan botol infus agar diam. Sejak kapan laki itu belajar jadi bad boy. Bahas hal mesum dengannya.
"Cerewet...bangunkan Afifa untuk minum obat! Bujuk dia makan sedikit agar lambungnya tak iritasi." Citra alihkan topik agar jangan canggung. Berdua dalam satu ruang bahas alat vital hanya bikin suasana memanas. Citra tak mau terjebak dua kali.
"Kapan mau cek aku?"
"Aku akan minta tolong sama Profesor di rumah sakit ini. Dia lebih ahli. Asal syarafnya tak putus kemungkinan bapak bisa sembuh."
"Aku mau kamu yang cek up!"
"Stop...utamakan Afifa dulu! Aku pasti bantu supaya bapak tidak terobsesi pada anak-anak aku. Punya anak dari bini bapak kan lebih berbahagia."
"Ingat! Itu janjimu mau bantu! Aku akan bangunkan anakku yang manis. Aku kok merasa tua punya anak segede Azzam"
"Baru nyadar sudah tua? Syukur sadar...Azzam itu anak aku. Bukan anakmu!"
"Iya anakmu...anak hasil setruman aku." Alvan tertawa ngejek merasa lucu Citra sewot dia akui Azzam anaknya. Kenyataan memang Azzam anaknya.
"Idiihh...mesum!" Citra melengos tempatkan bokong ke sofa. Hindari Alvan sejauh mungkin adalah pilihan terbaik. Citra harus bersabar sampai Afifa pulih baru akan pikir cara memutuskan hubungan dengan Alvan. Tak ada niat Citra menyatu dengan laki pembawa duka.
Alvan mendekati Afifa mengelus pipi mulus milik Afifa. Kulit Afifa lembut tanpa cacat. Bersih terawat. Ini merupakan modal bagi wanita. Kelak Afifa akan tumbuh jadi gadis cantik perontok iman para cowok. Alvan harus keluarkan tenaga ekstra kawal boneka hidupnya.
"Sayang papi...bangun nak!" bisik Alvan lembut di kuping mungil anaknya.
Mata Afifa masih berat untuk menyahut tantangan Alvan. Pengaruh obat serta tubuh lemah menyita sebagian semangat Afifa.
Gadis mungil itu mencoba buka mata walau berat. Bulu mata Afifa berkejap-kejap berusaha buka mata sempurna.
"Papi...Amei tidak mimpi kan?"
Alvan menggeleng, "Ini papi! Anak papi ngantuk ya?"
"Iya...papi tidak akan pergi lagi kan?"
"Tidak...papi akan jaga Afifa sampai gede! Mau duduk?"
"Mau...papi tak boleh bohong ya! Berbohong itu dosa lho!"
Avan bantu Afifa bangun bersandar pada bantal. Tubuh mungil itu masih lemah akibat kekurangan energi. Darah juga kurang wajar anak itu lemas.
"Papi janji takkan tinggalkan Afifa kecuali pergi kerja. Papi harus cari uang sebanyaknya untuk Afifa dan Azzam. Kalian harus sekolah tinggi jadi orang sukses."
"Papi lupa ada Cece Afisa lagi. Dia harus ikut sekolah tinggi."
"Afisa juga ikut. Dia kan anak papi juga."
"Terima kasih Pi.." Afifa merentangkan tangan minta dipeluk Alvan. Dengan senang hati Alvan membawa gadis kecil itu ke pelukannya. Damai sekali bersama darah daging sendiri. Tak ada hal lebih membahagiakan Alvan saat ini.
dah namanya di talak ya sah la sudah bercerai..talak jatuh selepas anak lahir...kalau namanya nak rujuk kena nikah semula...rujuk berlaku dalam masa edah sahaja...
kalau tak salah
maaf ya Thor hanya bagi tahu sahaja