NOVEL DEWASA
Fase kedua dalam kehidupan percintaan.
Seberapa mampu kita bertahan dan mempertahankan cinta dan rumah tangga?
Bukankah badai pasti berlalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juliana S Hadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terapi Cinta
Saat itu azan subuh sudah berkumandang sekitar lima menit yang lalu, tetapi sewaktu aku kembali ke kamar, Reza masih terbaring di tempat tidur. Dengan segera rasa cemas dan khawatir langsung menyergapku, sebab Reza belum pernah seperti itu, selama ini dia selalu bangun sebelum subuh.
Apa dia sakit? Cepat-cepat aku menghampirinya dan memeriksa suhu tubuhnya.
Tidak panas. Dia tidak sakit. Kutarik kembali tanganku dan aku mematung di sana -- dengan penuh keraguan. Aku belum pernah membangunkannya untuk salat, justru selama ini dia yang selalu membangunkan aku dan mengajakku salat. Terlebih itu berarti aku mesti mengajaknya bicara setelah aku mendiamkannya semalaman. Tapi membiarkannya tetap tidur jelas itu salah. Jadi, ya sudahlah. Terpaksa kutepuk-tepuk bahunya dan kukeluarkan suaraku untuk membangunkannya.
"Mas," kataku -- pelan. "Bangun, subuh."
Tak ada reaksi. Aku pun duduk di sisinya dan menepuk-nepuk bahunya lagi. Saat itulah dengan cepat Reza menarikku dan aku tertelungkup di atasnya. Dia memelukku dengan erat. "Terima kasih, sudah perhatian padaku."
Oh, ternyata kamu sudah bangun dari tadi dan pura-pura tidur. Well--
"Give me a kiss," pintanya. Melihatku yang tidak bereaksi -- secara tidak langsung itu membuat Reza menyadari penolakanku, dia langsung saja mencetuskan mantra andalannya, "Kamu istriku, sebagai suami aku berhak mendapatkan apa pun yang kumau darimu."
Kalau kamu suami yang baik dan tidak mengecewakanku seperti ini, apa pun akan kuberikan dan kulakukan untukmu. Apa pun. "Baiklah." Satu ciuman kilat langsung mendarat ke bibirnya.
"Senyum, kumohon...."
Aku menggerutu, "Jangan serakah. Cepat bangun dan pergilah ke kamar mandi. Kamu harus mandi wajib."
Reza menyeringai. "Kenapa?"
"Karena seekor drakula jalan* sudah menempel dan mengisa* lehermu!"
Kalimatku menghasilkan seringaian yang lebih super di wajahnya. "Seekor?" Dia melepaskan tangannya dari tubuhku dan kami sama-sama segera berdiri. "Aku tahu kamu marah, tapi--"
"Terserah kalau kamu tidak suka. Tapi dia tidak pantas disebut manusia."
Reza memalingkan wajah -- dan itu sudah cukup sebagai jawaban bagiku. Kamu masih mau membelanya, Mas? Lagi-lagi kamu menyakitiku.
Benakku dibanjiri semua yang terjadi malam ini. Air mata mulai menggenangi mataku, lalu aku pun memalingkan wajahku. Tanpa kusadari, Reza sudah berada di depanku, untuk memelukku. "Jangan bicara kasar, tidak enak--"
"Bagus! Salahkan saja aku." Fix! Aku kesal. Amarah menggelegak di dalam diriku dan kupukuli dadanya dengan kedua tanganku. "Aku memang kasar! Aku memang barbar!" kataku sengit sambil terus memukul. "Kenapa? Kamu tidak suka? Hmm? Ceraikan saja aku. Gampang, kan?"
Aku tidak tahu ini cemburu yang membabi buta atau apa? Tapi jelas, rasa marahku pada Reza semakin menjadi-jadi. Dan, pasti Reza terkejut mendengarnya. Pun ketajaman nadaku, itu membuatnya tersentak, aku tahu itu menyakitkan. Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku, bahkan aku tidak menyangka aku bisa mencetuskannya dengan lantang.
"Maaf," kataku. Pada akhirnya aku tersadar kata-kataku keterlaluan. Tetapi Reza tidak menanggapi kata maaf itu. Dia meraih tanganku dan mengajakku ke kamar mandi, mandi sekaligus bercinta bersamanya. Aku jadi teringat pagi pertama -- setelah malam pertama -- kami, dan momen bercinta di kamar mandi seperti ini terulang lagi setelah pertengkaran pertama ini.
Dan, rasanya aneh. Jujur saja secara teknis aku menikmatinya. Siapa yang tidak suka bercinta dengan suami di bawah pancuran air yang menambah kesan hangat dalam hubungan? Tetapi amarahku masih enggan pergi, aku masih tidak mau bicara dengannya kendati deru napas kami beradu dan dia meninggalkan jejak-jejak cintanya yang merah di tubuhku. Kali ini aku tidak bisa berbaikan dengannya -- segampang -- dulu.
"Aku mencintaimu. Kita hanya akan terpisah oleh kematian. Bukan karena perceraian. Karena aku tidak akan pernah melepaskanmu," Reza mengatakannya sambil memeluk tubuhku erat-erat, setelah ia selesai dengan terapis cintanya pagi itu.
Tapi aku tetap tidak ingin berbaikan semudah itu. Aku harus menyentilnya dengan peringatan keras, supaya dia membuka matanya dan segera menentukan sikap.
"Aku butuh waktu. Entah berapa lama. Tapi aku harus menata kembali rasa percayaku. Dan sebaiknya... cepat mandi. Keburu siang."
Lalu hening -- keheningan yang terasa memekakkan dan membuat hatiku semakin nyeri.