Apa yang terjadi jika lelaki yang menjadi calon suami melarikan diri bersama sahabatmu sendiri tepat di hari pernikahan ?
Setelah terlambat satu setengah jam dari jadwal akad nikah, akhirnya seseorang menjemput Sabina dari kamar hotelnya untuk menemui lelaki yang baru saja membacakan ijab kabulnya.
Sabina terkejut luar biasa ketika yang berada disana bukanlah Andre yang menjadi kekasihnya selama ini. Melainkan Gibran yang merupakan sahabat dari calon suaminya dan juga kekasih Amanda sahabatnya. Bahkan Minggu lalu Sabina membantu Gibran untuk memilihkan cincin yang akan digunakan Gibran untuk melamar Amanda.
Tapi sekarang cincin pilihannya itu melingkar indah di jari manisnya sendiri, tak ada nama Gibran dalam lingkarannya. Mungkin memang sudah takdir ia terikat dengan lelaki yang tidak mencintainya.
Bagaimana nasib pernikahan yang tak diinginkan keduanya ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MeeGorjes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Bersama
Happy reading ❤️
Gibran kembali tersenyum, ia sungguh merasa gemas. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak merengkuh tubuh Sabina dalam pelukannya karena sumpah demi apapun Gibran sangat ingin melakukannya.
"Kita tidur di kamar mana ?" Tanya Sabina sembari terus menundukkan kepala menikmati minumannya, ia tak sadar sang suami masih asik memperhatikan dengan gemasnya.
"Mmm, bagaimana jika di kamar kamu aja. Barangku kan nggak banyak tinggal masukin koper langsung angkut deh pindah."
"Mau kapan ?" Tanya Sabina lagi.
"Kalau pindahannya sekarang bagaimana ?"
"Mmm boleh." Jawab Sabina, kemudian mendongakkan kepalanya.
"Habiiisss !" Ujarnya dengan senyum mengembang dan Gibran tertawa melihat itu.
"Pak dokter lebih ganteng kalau ketawa begini." Ucap Sabina sembari menaik turunkan alisnya, mencoba menggoda suaminya.
Semakin keras Gibran berusaha untuk tidak menggerakkan tubuhnya, karena ia tahu sedikit saja Gibran bergerak maka Sabina akan berada dalam dekapannya.
"Ayo kita mulai bereskan," ajak Sabina yang berjalan mendahului suaminya yang diam terpaku itu.
Sabina membenahi semua baju Gibran dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper sedangkan Gibran membereskan segala barang yang berada di atas meja juga toiletnya.
Setelah yakin tak ada lagi barang yang tertinggal keduanya berjalan beriringan menuju kamar Sabina.
"Selamat datang," ucap Sabina sembari tertawa.
Tawa yang kini menular pada Gibran suaminya. Gibran menarik nafas dalam, ia menghirup dengan rakus wangi kamar Sabina yang ia rindukan.
Rindu ? Gibran kembali tersenyum samar. Tanpa sadar ia sangat merindukan wangi tubuh Sabina.
Wangi musk bercampur mawar juga lily memanjakan indra penciumannya. Wangi khas yang kini menjadi pavoritnya.
"Mau berdiri sampai kapan?" Tanya Sabina sembari tertawa geli membuyarkan lamunan Gibran.
"Ah iya," Gibran menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal itu. Tiba-tiba ia begitu merasa canggung seperti remaja yang baru saja berkenalan.
"Mmm bajunya mau di simpan di mana ? Tanya Sabina.
Gibran melihat lemari putih Sabina, ia yakin lemari itu telah penuh dengan semua barang milik istrinya itu.
"Gak usah dikeluarin, cukup simpan di pojokan aja nanti aku ambil baju langsung dari kopernya,"
"Oh... Oke baiklah," jawab Sabina dengan sedikit tersenyum kecut.
Gibran memperhatikan istrinya itu. Perubahan air muka Sabina dapat Gibran lihat dengan jelas, tapi sikap Sabina yang kembali ceria mengurungkan niat Gibran untuk bertanya.
Malam kian larut, Gibran pun segera berganti baju di kamar mandi Sabina. Ia telah membawa baju ganti sebelum membersihkan diri. Gibran pun keluar telah mengenakan pakaian yang lengkap.
Sabina duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan sebuah kaca besar, ia sedang melakukan serangkaian perawatan rutin untuk kulit wajahnya. Gibran memperhatikan istrinya itu dengan seksama.
Sabina terlihat cantik mempesona walaupun tanpa polesan make up. Bahkan iya hanya mengenakan piyama tidur berupa celana panjang dan kemejanya.
Ya... Sabina memang selalu tampil sederhana, bahkan tak pernah sekalipun Gibran melihat Sabina mengenakan pakaian minim bahan. Meski begitu Sabina masih bisa membuat Gibran terpesona.
"Anggap aja kamar sendiri," ujar Sabina sembari tertawa geli. Ia berbicara seperti itu karena melihat Gibran yang berdiri memandanginya tanpa henti. Sabina kira Gibran kembali gugup seperti ketika mereka pertama kali berada dalam satu kamar.
Gibran pun tersenyum canggung, ia malu karena sadar Sabina memergoki dirinya berbuat seperti itu.
"Aku ngantuk, mau tidur sekarang ?" Tanya Gibran dan diangguki oleh Sabina.
Mereka naik ke atas tempat tidur dengan 2 guling yang berada diantaranya.
"Besok jemput ibu jam berapa ?"
"Kita pergi ke bandara jam setengah 8 pagi aja. Aku udah izin gak masuk sehari besok." Jawab Gibran.
"Oh, baiklah. Boleh aku ikut ?"
"Tentu Bina, kamu boleh ikut."
"Terimakasih, selamat malam Gibran."
Sabina pun bergerak memutar tubuhnya, ia tidur dengan memunggungi suaminya itu. Sedangkan Gibran masih tak bergeming. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Sabina yang terbaring di sebelahnya. Rasa senang, aneh, tak percaya, bercampur dalam hatinya.
Cukup lama Gibran melakukan hal itu, memandangi pundak Sabina yang bergerak naik turun dengan pelan teratur. Sepertinya Sabina telah jatuh tertidur.
Perlahan tangan Gibran bergerak terulur, mencoba menggapai pundak istrinya itu namun belum juga sampai tangan itu berhenti membeku. Apa yang harus ia katakan pada Sabina jika tiba-tiba memeluknya. Sabina pasti akan sangat terkejut.
"Tahan dirimu Gibran," lirih Gibran hampir tak terdengar, terpaksa ia pun menarik tangannya kembali dan memutar tubuhnya. Ia memejamkan mata berusaha untuk masuk ke alam mimpi.
***
"Selamat pagi," ucap Sabina yang masih terbaring di sebelah suaminya itu. Ia menopang kepalanya dengan satu tangan dan tangan yang lain memeluk guling. Kini ia terbaring menghadap Gibran.
"Pagi," jawab Gibran. Rasa hangat memenuhi dadanya saat ini. Rasa nyaman dan lega terasa olehnya.
"Tidur kamu nyenyak ?" Tanya Sabina.
Gibran menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Aku juga," ujar Sabina sembari tertawa.
"Baru kali ini aku bisa tidur se nyenyak ini," ujar Gibran tanpa ada kebohongan.
"Aku juga," ucap Sabina pelan namun Gibran masih mendengarnya dengan jelas.
Keduanya tertawa bersama.
"Ayo bangun, ini sudah pukul 5." Sabina pun mulai bangkit dari tempat tidurnya disusul kemudian oleh Gibran.
***
Pukul 9 kurang mereka telah tiba di bandara. Sabina duduk di tempat tunggu penumpang dengan perasaan cemas dan gelisah. Ini pertama kali ia bertemu ibu mertuanya. Apa yang harus ia ucapkan? Secara ia dan Gibran menikah secara tiba-tiba.
"Tak usah khawatir, aku yakin ibu akan suka padamu." Ucap Gibran seolah tahu apa yang di khawatirkan oleh Sabina.
"Apa yang harus ku katakan bila bertemu ibu nanti ?" Tanya Sabina cemas.
"Tenang saja, biar aku yang atasi."
Sabina menganggukkan pelan kepalanya, ia percaya Gibran akane menolongnya.
Setelah beberapa lama menanti, yang ditunggu akhirnya datang juga.
Tiba seorang wanita dengan guratan-guratan halus di wajahnya karena termakan usia, garis wajah yang tegas dan terkesan dingin datang menghampiri keduanya.
"Ibu," ucap Gibran seraya mencium punggung tanganny dengan urat-urat yang terlihat jelas menandakan ia seorang pekerja keras.
Ibunya menepuk pundak Gibran dan memeluk anaknya dengan hangat. Terdengar isakkan tangis dari keduanya seolah saling melepaskan rindu.
"Perkenalkan, ini istriku Sabina Mulia. Ibu bisa panggil dia Bina." Ucap Gibran seraya menarik pinggang Sabina untuk berdekatan dengannya.
Dada Sabina berdebar hebat, bukan hanya karena pertemuan dengan ibu mertua namun juga karena belitan tangan suaminya yang memeluknya erat.
To be continue
thank you for reading ❤️
terimakasih yang sudah memberikan vote juga hadiah. ❤️❤️❤️
Andre g smp sentuhan fisik intim lho sm Bina
buat pengetahuan untuk diri sendiri banyak pelajaran dalam cerita ini..
tQ Thor idea yang bernas..semoga sentiasa sihat selalu.. tetap menyokong selalu sukses selalu ya Thor..
sebelah aku jg udah bc semua, aku tunggu karya terbarumu thor, semangat berkarya