Hamil Tanpa Suami

Petunjuknya adalah orang itu bekerja di rumah sakit, dan sangat dekat dengan Lana. Selain Lana, orang yang sering bertemu Nathan adalah Siwi, Dion dan Dokter Ani.

Dokter Ani sudah senior dan sudah berkeluarga jadi sangat tidak mungkin. Siwi? Atau ... Syafira? Lana mencoba mengingat-ingat.

Meski dia dekat dengan Siwi, dia tidak sampai mengetahui tentang hal pribadi rekan perawatnya itu. Dia lebih dekat dengan Syafira, bahkan tinggal pun seatap. Lebih masuk akal jika target Nathan adalah Syafira.

Kemudian, Nathan bertanya tentang makanan kesukaan Lana, kemungkinan Nathan ingin menyogok dia agar bisa dibantu untuk dekat dengan Syafira.

Ooo, dia lagi ambil hatiku biar aku mau comblangin dia dengan Syafira (Lana).

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan gerbang kosnya.

"Pemisi, online food."

Ternyata ojek online sedang mengantar delivery makanan. Lana tidak merasa memesan makanan, jadi dia tidak menghiraukan pengantar makanan itu.

"Permisi, online food."

Belum ada yang membukakan pintu, terpaksa Lana keluar.

"Iya, mas? Atas nama siapa?"

"Ini untuk mbak Lana."

"Lhoh, saya Lana. Tapi saya nggak pesen kok."

"Ini dari akun Nathan Adam Wiryatama."

Beneran dibeliin makanan, kirain cuma basa basi busuk. Berarti dia serius mau dicomblangin sama Syafira. (Lana).

📱Dokter Nathan: Nyampe belum jamur cripsy sama jagung bakarnya?

📱Lana: Nyampe, makasih banyak. Oh iya, aku udah tahu lhoh siapa orang yang kamu maksud tadi.

📱Dokter Nathan: Masak? Siapa?

📱Lana: Pokoknya tahu hehe

Pintu kamar Inda terbuka. Dengan mata menyipit, penghuninya keluar. "Tadi samar-samar kayak ada suara cowok. Siapa, Na?"

"Ojek online, nganter makanan. Nih."

"Cemilan? Bagi dong. Eh, kamu ke mana tadi?"

"Aku, ada deh. Yuk ke kamarku ngemil bareng, sambil nonton film."

Lana menghidupkan laptop dan menyiapkan makanannya. "Nda, aku mau cerita tapi tolong banget jangan kasih tahu Syafira ya."

"Hayah rahasia lagi, aku nggak jago pegang rahasia. Kamu boleh cerita asal kalau suatu saat aku keceplosan, kamu nggak marah."

"Aku udah nggak tahan pengen cerita."

Inda mengangguk. "Ya ya ya, kamu udah kayak atap bocor, cepet cerita."

"Kayaknya aku suka sama dokter Nathan."

Inda mengangguk-angguk tapi terlihat tenang.

"Nggak kaget?"

"Nggak. Udah ngira kalau kamu bakal suka sama si dokter itu. Dari cara kamu ngomongin dia, kelihatan. Mata kami tuh kalau lagi ceritain dia, ijo kayak orang lagi lihat duit."

"Oh, emang kelihatan banget ya? Padahal aku sendiri aja baru nyadar kalau suka sama dia. Baru beberapa menit yang lalu."

"Kadang emang orang lain lebih bisa lihat. Seseorang itu kadang bingung tentang perasaannya sendiri sampai ada sesuatu yang terjadi."

"Maksudnya sesuatu yang terjadi itu apa?"

"Misalnya, dia didekati orang lain, atau ternyata dia suka sama orang lain. Atau tiba-tiba dia pergi ke tempat yang jauh dan lama baliknya. Peristiwa kayak gitu bikin timbul rasa kehilangan dan baru sadar kalau sebenarnya ada rasa suka."

"Pantesan. Gini ceritanya, akhir-akhir ini aku ngerasa deket banget sama dia. Dia sering ngajak keluar berdua tanpa dokter Dion. Tadinya aku usaha biar nggak GR karena inget Syafira. Waktu jalan berdua, aku biasa aja. Aku anggap dia cuma butuh temen, dan aku cuma pengen jadi temen yang baik. Tapi tadi dia bilang dia lagi suka sama seseorang. Habis itu rasanya sakit banget, dan baru nyadar kalau selama ini aku suka sama dia. Dan sayangnya dia suka orang lain."

"Wajar kamu GR, Na. Dia ngajak kamu keluar ya siapa sih yang nggak mikir itu kencan. Eh, misalnya kalian saling suka terus pacaran, kamu bilang apa ke Syafira?"

Lana memejamkan mata. "Iya ya. Ngomong apa aku ke dia? Dodol banget aku ini ya Nda. I'm a fool ."

"Everybody's a fool in love. Nggak ada yang salah. Cuma ya sekarang kamu gimana ngadepinnya. Kamu kuat nggak, satu tempat kerja, tiap hari ketemu."

"Kuat Nda. Aku juga pernah kok suka sama orang dan cuma ditahan dipendem karena orangnya nggak suka sama aku."

"Eh, siapa yang disukai sama Dokter Nathan?"

Lana tersenyum. "Temen kita."

"Maksudnya, orang yang disukai Nathan itu Syafira?"

Lana mengangguk. "Buat aku berita ini kayak dua sisi mata uang. Di satu sisi aku seneng karena sahabatku bakal dapet orang yang selama ini dikagumi. Di sisi lain, aku sendiri patah hati."

"Laki-laki emang aneh ya. Sukanya sama siapa, ngajak jalannya siapa."

"Tadinya aku mikir gitu tapi ada tipe-tipe yang lebih nyaman deketin sahabatnya dulu terus dijadiin mak comblang gitu."

"Apa iya?"

"Nyatanya nih ada orangnya."

"Ehm, emang tadi dokter itu ngomongnya gimana sih? Penasaran," tanya Inda sembari terus memasukkan makanan ke mulutnya.

"Tadi itu kami jalan. Terus dia curhat kalau lagi suka sama seseorang. Clue-nya, orang itu kerja di rumah sakit, aku kenal baik. Siapa lagi kalau bukan Syafira?"

"Masak sih?"

"Menurut kamu, siapa lagi? Yang kerja di rumah sakit ya cuma Syafira yang deket sama aku. Ya ada Siwi sih. Tapi aku sama Siwi nggak sedekat itu. Jadi ya, Syafira. Apalagi dia sendiri pernah bilang kalau Syafira itu cantik menurutnya."

"Iya sih," kata Inda, ragu-ragu.

"Nanti Syafira pulang jam 10 ya. Mau langsung aku kasih tahu aja."

"Nggak dipikir dulu? Kalau kamu salah, gimana?"

"Kayaknya nggak mungkin salah sih dari cluenya. Lagian, dengan aku ngasih tahu dia, bebanku berkurang."

"Aku sih nyaranin jangan dulu, Na. Tapi kalau kamu maksa mau ngasih tahu sekarang, keputusan ada di tangan kamu. Aku masuk kamar aja dulu ya. Besok kalau mau cerita lagi, cerita aja. Aku nggak bisa banyak bantu, tapi paling enggak aku bisa dengerin kamu."

"Thanks banget, Nda."

Inda bersiap kembali ke kamarnya. Lana tetap pada keputusan untuk memberi tahu Syafira. Entah apa yang membuatnya sangat yakin.

"Eh tunggu, kamu punya rahasia satu lagi. Kamu kondangan bareng Dokter Nathan, inget nggak?"

"Oh iya, maaf ya rahasiaku banyak bener yang ada di kamu."

"Hahah."

~

Jam 22.15 malam Syafira sampai di kos. Lana segera keluar kamar.

"Fir, aku punya kabar gembira buat kamu," kata Lana.

"Kabar apaan?"

"Si dokter pujaan hati kamu ternyata juga suka sama kamu." Lana memaksa diri untuk bersikap semenyenangkan mungkin.

"Oh ya? Tahu dari mana?"

"Dia sendiri yang bilang."

Senyum Syafira mengembang. "Beneran?" tanya Syafira, tak percaya. "Aduh, beneran nggak sih? Kayak mimpi."

Lana berusaha tersenyum. "Selamat ya, Fir. Aku tidur ya."

"Yah kok tidur, terus aku harus gimana ya, Na? Aku telpon dia?"

"Terserah kamu aja gimana enaknya."

"Eh nggak akh, aku nunggu dia aja biar nggak kelihatan agresif. Makasih ya Na, udah sana kalau mau tidur. Kayaknya aku bakal susah tidur mikirin dokter Nathan." Syafira girang, terlalu gembira.

Aku harus gimana? Ini mimpi? Aku menelpon apa gimana ya? Gimana kalau dia langsung ngajak nikah? Langsung kuterima aja kali ya? Aaawww. (Syafira).

Sedangkan Lana di kamarnya merasa galau akut. Dia merasa senang tapi juga sedih. Tapi lebih banyak perasaan sedih yang dia rasa. Tidak munafik, dia juga memiliki perasaan terhadap Nathan.

Batinnya berperang sendiri.

Apa bener Syafira bakal langsung nelpon? Apa mereka akan sepakat menjadi pasangan lewat telepon? Kok sedih ya. Kalau mereka jadi pasangan, dia pastinya akan menggantikan posisiku biasanya jika jalan berempat bersama Dokter Dion dan Mbak Asa, kan? (Lana).

to be continued...

Jogja, February 12th 2021