NovelToon NovelToon
Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta Terlarang / Cinta Paksa / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Bercocok tanam
Popularitas:714
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Cahaya pagi yang menyelinap lewat jendela membuat Yudha mengerang pelan.

Kepalanya berat, tubuhnya lemas, dan pikirannya masih samar-samar.

Ia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan.

Sosok Rama duduk di kursi dekat tempat tidurnya, menatapnya tanpa berkata apa-apa.

Di meja samping, ada segelas air putih dan selembar kain basah.

Yudha mengerutkan kening. “Rama...?”

Rama langsung berdiri, mengambilkan air. “Minum dulu. Kamu dehidrasi.”

Yudha meminum air itu perlahan, lalu bersandar. “Apa yang terjadi semalam?”

“Kamu mabuk. Dan nekat ikut balapan liar,” jawab Rama singkat, nadanya terdengar kesal.

Yudha menutup wajahnya dengan telapak tangan. Perlahan, kenangan semalam mulai kembali dimana suara mesin motor, cahaya lampu, dan... Puri.

Sorot matanya, suaranya yang menahan tangis. Dan ciuman yang tak pernah ia dapatkan.

“Puri datang, ya?” gumam Yudha.

Rama hanya mengangguk. “Dan dia yang bikin kamu berhenti sebelum makin parah.”

Yudha terdiam lama, lalu ia menatap Rama dengan mata merah.

“Gue udah keterlaluan, ya?”

Rama mendesah pelan. “Iya. Tapi lu juga lagi sakit hati. Gue ngerti, Yud. Tapi ini bukan cara yang benar.”

“Dia milih Karan...” ucap Yudha lirih, matanya berkaca. “Padahal gue udah nunggu selama itu.”

Rama menepuk bahunya. “Kadang, cinta itu nggak soal siapa yang pertama hadir. Tapi siapa yang paling tepat... dan tepat waktu.”

Yudha menatap langit-langit kamar. Dadanya sesak, bukan hanya karena sisa alkohol, tapi juga karena kenyataan hatinya dipatahkan oleh satu-satunya orang yang paling ia jaga selama ini.

Ia pun lekas masuk ke kamar mandi dan setelah itu ia bergegas menuju ke kampus.

Langkah Yudha terasa berat saat memasuki area kampus.

Meski tubuhnya sudah lebih segar, pikirannya masih dipenuhi bayangan Puri dan kejadian semalam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepis perasaan yang masih bersisa.

Namun tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya.

“Puri...?” gumam Yudha, langkahnya terhenti.

Puri berjalan pelan di sisi jalan kampus, wajahnya kosong, pandangannya tertuju ke bawah.

Seakan tak sadar dunia di sekelilingnya tetap bergerak. Dari arah berlawanan, sebuah mobil melaju cukup kencang.

Mata Yudha membelalak.

“PURI!!!”

Tanpa pikir panjang, Yudha berlari dan menarik tangan Puri kuat-kuat, hingga tubuh mereka terhempas ke sisi aman trotoar. Mobil itu melintas nyaris menyentuh ujung rok Puri.

Puri jatuh terduduk, napasnya memburu.

“Kamu kenapa sih?!” bentak Yudha, panik. “Kamu sakit?”

Puri masih terkejut, matanya menatap Yudha dengan pandangan kosong. Lalu perlahan ia menggeleng.

“Aku cuma... aku lagi mikir. Maaf.”

Yudha memegang kedua bahunya. “Mikir sampai nggak lihat mobil? Kamu hampir—”

Puri menunduk, air matanya jatuh satu per satu. “Aku bingung, Yud.... semuanya berat banget.”

Yudha melunak. Ia melepaskan pegangannya perlahan, lalu duduk di samping Puri. “Apa ini soal... Karan?”

Puri tidak menjawab. Tapi tatapannya cukup memberi tahu segalanya.

Yudha menghela napas, menahan kata-kata yang ingin sekali ia keluarkan.

Tapi kali ini, ia memilih untuk tidak menambah beban. Ia hanya berkata pelan,

“Kamu harus jaga diri, Pur. Kalau kamu kenapa-kenapa... aku nggak tahu harus gimana.”

Yudha menatap wajah Puri yang masih berlinang air mata.

Ada ribuan kalimat yang ingin ia ucapkan tentang cintanya, tentang sakitnya, tentang harapan yang hancur. Tapi kali ini, ia memilih diam.

Ia tahu, cinta sejati bukan selalu soal memiliki. Kadang, cinta adalah ketika kita bisa tetap menjaga seseorang, meski dari kejauhan. Meski bukan sebagai kekasih.

Yudha menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Mulai sekarang, kalau kamu butuh apa-apa... bilang ke aku, ya.” Suaranya tenang, tak menunjukkan luka.

“Nggak harus cerita semuanya. Tapi setidaknya... jangan jalan sambil melamun kayak tadi.”

Puri menatapnya, matanya berkaca. “Yudha... kamu baik banget.”

Yudha tersenyum tipis. “Nggak juga. Tapi aku pernah janji sama diri sendiri, kalau aku nggak bisa bahagiain kamu sebagai pacar... setidaknya aku akan ada buat kamu sebagai teman.”

Puri menunduk, hatinya sesak oleh rasa bersalah dan haru yang bercampur jadi satu.

Yudha berdiri, lalu mengulurkan tangan. “Ayo, kita masuk. Nanti dosen kita mulai nyariin.”

Puri mengangguk pelan dan meraih tangan itu. Dalam genggaman yang hangat dan tulus, ia tahu Yudha sedang menyimpan luka yang dalam. Tapi ia juga tahu kalau Yudha masih akan selalu ada untuknya, sebagai pelindung dalam diam.

Matahari sudah mulai condong ke barat saat perkuliahan usai.

Mahasiswa mulai keluar dari gedung dengan langkah santai.

Di antara mereka, Puri berjalan keluar sambil menatap layar ponselnya. Tak lama, sebuah motor berhenti tepat di hadapannya.

“Mas Karan,” ucap Puri sambil tersenyum tipis.

Karan turun dari motor dan membuka helmnya.

“Maaf nunggu, sayang. Macet.”

Puri mengangguk. Mereka baru akan beranjak ketika dari kejauhan, Yudha keluar dari gedung.

Tatapannya secara tidak sengaja menangkap sosok Puri dan Karan bersama.

Namun kali ini, ia tak bereaksi. Ia hanya menoleh sebentar, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata.

Puri sempat menoleh ke arah Yudha, tapi hanya sejenak. Ia lalu menatap Karan yang sedang merapikan jaketnya.

“Mas... aku mau tanya sesuatu,” ucapnya tiba-tiba.

Karan menoleh. “Apa, Pur?”

Puri menarik napas. “Hubungan kita... kita ini serius, kan?”

Karan langsung menggenggam tangan Puri. “Tentu. Aku serius.”

Puri menatap matanya, seolah mencari sesuatu yang lebih dalam. “Aku butuh kepastian, Mas. Bukan cuma kata-kata manis.”

Karan mengangguk mantap. “Aku ngerti. Karena itu... minggu depan, aku mau ajak kamu ke Yogyakarta.”

Puri terkejut. “Ke Yogya?”

“Iya. Aku mau kamu ketemu sama keluarga besar ku di sana,” ucap Karan dengan lembut.

"Aku yakin mereka pasti senang ketemu kamu. Ini langkah pertama... sebelum kita menuju masa depan yang kita impikan.”

Puri terdiam. Hatinya berdebar, campur aduk. Tapi ada kehangatan yang menjalar dalam dadanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa langkah mereka mengarah ke sesuatu yang nyata.

Di atas motor, angin sore mengusap lembut wajah Puri. Tapi pikirannya tak bisa tenang. Ia memeluk pinggang Karan erat, lalu berkata pelan, “Mas... aku takut Mama nggak mengijinkan aku ke Yogyakarta.”

Karan meliriknya lewat kaca spion. “Kamu masih kepikiran soal tadi pagi, ya?”

Puri mengangguk kecil. “Aku merasa Mama belum sepenuhnya percaya lagi setelah kejadian semalam.”

Karan mempererat genggaman tangannya di stang motor, lalu menjawab dengan nada lembut, “Nggak usah khawatir. Aku akan ngomong baik-baik sama Mama. Aku juga mau minta izin langsung. Ini tanggung jawabku.”

Puri menunduk, hatinya sedikit tenang. “Mas yakin?”

“Aku serius sama kamu, Pur,” ucap Karan dengan mantap. “Dan kalau memang ingin jalan serius, semua harus dilakukan dengan cara yang baik.”

Setelah itu, Karan membelokkan motor ke sebuah warung makan sederhana di pinggir kota.

Di sana, mereka duduk berdua, memesan mie rebus dan es teh manis.

Puri tertawa kecil saat Karan salah menyebut nama menu.

Karan menggoda Puri balik karena makannya terlalu pelan.

Di sepanjang perjalanan pulang, mereka saling bercanda, menyanyi pelan lagu yang diputar dari ponsel Karan.

Puri menyandarkan kepalanya di punggung Karan, merasa aman dan nyaman.

Untuk sesaat, mereka benar-benar seperti sepasang kekasih pada umumnya, tertawa, saling menggoda, dan melupakan sejenak segala beban yang sedang mereka hadapi.

1
kalea rizuky
hamil deh
kalea rizuky
bagus awalnya tp karena MC nya berhijab tp berzina maaf Q skip karena gk bermoral kecuali dia di perkosa
kalea rizuky
tuh dnger emak nya karan g stuju ma loe
kalea rizuky
berjilbab tp berzina pur pur didikan ibumu jos
kalea rizuky
pasti ortu karan gk setuju pur. pur bodoh qm blom nikah uda ilang perawan
kalea rizuky
puri kenal karan jd murahan
kalea rizuky
harusnya di pesenin lah taksi online Yuda gk tanggung jawab bgt
kalea rizuky
masih menyimak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!