Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengamat dan Pengganggu
...Chapter 23...
Saat pedang menembus udara, lalu diletakkan tepat di atas kepala, tubuh Theo membentuk setengah kayang, menghadirkan posisi yang hampir mustahil dilakukan tanpa latihan ekstrem—dan efek dari gerakan ini menimbulkan tekanan tak terlihat nan memutar di sekitarnya, membuat dedaunan lagi serpihan tanah menari liar.
Namun ketika serangan itu gagal menembus pertahanan yang terlihat seperti baja sempurna, tubuh Theo segera mundur, melayang puluhan meter ke belakang di atas tanah, memanfaatkan momentum untuk menghindari potensi balasan.
Tubuhnya menapak kembali di permukaan, memantul ringan namun tetap terkendali, menunjukkan keseimbangan luar biasa antara kekuatan, kecepatan, dan akurasi.
Meski gagal, gerakan itu sama sekali tidak melemahkan tekadnya.
Justru setiap langkah mundur sekaligus menegaskan bahwa Theo tidak sekadar bertarung, tetapi menulis ulang dirinya sendiri di tengah realitas yang menolak dikendalikan.
Keheningan menyelimuti ruang di sekelilingnya, hanya terdengar suara desiran angin dan detak jantung nan menguat dalam dada Theo.
"Jadi itu sebabnya kau kembali.
Untuk mengamatiku dari jauh seperti aku yang menjadi pengganggu di dunia yang para perusahaan itu dirikan.”
Huuuuh!
*Aku hanya berusaha membenarkan jalan ceritanya, Cru.
Mengembalikan segalanya ke plot utama sebelum berubah menjadi labirin tak berujung.
Namun Anda ... justru menghadangku, seolah melupakan siapa yang dulu menciptakan dasar dunia ini.
Jelaskan, apa tujuanmu menghalangi langkahku."
"Perhatikan sikapmu, Theo.
Kau berbicara seperti maniak game yang masih memegang kendali, seperti dunia ini masih patuh pada penciptanya yang dulu.
Tapi di tempat ini, kau tidak berarti apa-apa.
Individu sepertimu tidak layak mencemari keindahan Flo Viva Mythology.
Dunia ini sudah melampaui dirimu—dan kedatanganmu kini hanyalah sebuah kesalahan yang perlu dikoreksi."
Angin yang sebelumnya berputar liar kini terasa tertahan di sekeliling Theo, seakan dunia menahan napas menunggu interaksi antara dirinya dan Cru.
Di seberang mata Theo, sosok itu muncul kembali.
Mantap dan dingin.
Tubuhnya berdiri sempurna namun tetap bagai manifestasi yang menolak wujud penuh di dunia nyata.
Pandangan Theo menelusuri setiap gerakannya, mencoba membaca maksud dari setiap detail kecil—cara tangan Cru diposisikan, garis bahu yang tegak, serta energi nan terpancar menyerupai gelombang nan memaksa segala yang berada di dekatnya untuk merasakan.
Semua ini menimbulkan sensasi aneh, bahwa lawan yang dihadapinya bukan sekadar entitas musuh, melainkan refleksi aturan dan konsekuensi dari dunia yang pernah Theo kenal dan ciptakan.
Ketika pertanyaan muncul di benak Theo, mengkritisi tentang alasan Cru menentang upayanya memperbaiki skenario, udara seakan mengental, menekankan ketegangan yang tak terlihat namun terasa jelas.
Cru tidak bergerak lebih dekat, tidak menyeringai, tak memunculkan ekspresi kemarahan atau ketakjuban.
Yang ada hanyalah kehadiran yang menegaskan otoritasnya atas jalannya cerita.
Kata-kata yang keluar dari sosok itu tidak perlu dibisikkan atau ditulis, karena aura nan mengitari dirinya sudah cukup menyampaikan makna.
Theo dianggap tidak berguna, tidak pantas berada dalam dunia yang begitu rumit dan indah ini.
Satu julukan itu menempel di setiap sudut kesadaran Theo, menimbulkan rasa getir sekaligus dorongan untuk membuktikan bahwa dirinya mampu mengubah narasi yang sudah ditetapkan.
Pikiran Theo berputar cepat, menimbang setiap kemungkinan langkah yang dapat diambil, namun sekaligus merasakan tekanan yang luar biasa dari sosok Cru.
Ia sadar bahwa menghadapi manifestasi Administrator bukan sekadar urusan kekuatan fisik atau kemampuan bertarung, melainkan permainan mental dan keberanian menghadapi realitas nan menolak dikendalikan.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum nan menusuk kesadaran, menegaskan bahwa kegagalan sekecil apapun bisa berarti hilangnya kesempatan untuk menulis ulang jalan cerita.
‘Jadi ini maksudmu, Cru, sebuah pelajaran?
Hukuman, ya?
Karena aku lalai menjaga alur kisah?
Karena kuizinkan dunia ini menciptakan dirinya sendiri tanpa persetujuan dari sumber asli?’
Tsuuuf!
‘Lucu juga.
Bahkan pengarang pun bisa dipandang sebagai pihak yang bersalah di dunia ciptaan orang lain.'
Ruang di sekeliling Theo mendadak terasa berat, bak udara di dalam gua purba yang menahan setiap hembusan napas.
Matanya tertutup, namun kesadarannya tetap melompat ke segala arah, mencoba meraba pola yang mungkin tersembunyi di balik hadirnya Cru.
Pedang yang digenggamnya seakan menjadi perpanjangan dari naluri.
Ujungnya lurus menandai tekad sekaligus pertahanan, namun setiap detik nan berlalu terasa bak penghakiman halus dari entitas yang tidak bisa disentuh tersebut.
Theo menahan diri, mencoba menyadari bahwa ini bukan sekadar pertarungan fisik atau demonstrasi kekuatan, melainkan ujian terhadap kapasitasnya memahami dunia yang mereka ciptakan sekaligus dunia yang kini menuntut koreksi darinya.
Di benaknya, bayangan semua skenario nan tergelincir terulang seperti film lambat.
Episode-episode yang seharusnya berjalan rapi kini terserak di ruang imajinasi, dan setiap penyimpangan terasa menuntut konsekuensi.
Theo merasa seperti seorang arsitek yang melihat bangunan ciptaannya runtuh perlahan, namun disadari atau tidak, tangannya tetap memegang alat untuk memperbaiki.
Nafasnya panjang dan dalam, mengalir dari dada ke perut dan kembali, berupaya menenangkan ketegangan man menekan setiap urat saraf.
Pelajaran ini—sekeras apapun—adalah bagian dari harga yang harus dibayar karena lalai menjaga skenario dengan penuh kewaspadaan.
Seketika, kesadaran Theo meluas, menghubungkan setiap elemen yang ada di arena pertarungan dan di luar penglihatan fisiknya.
Cru bukan sekadar entitas nan menghukum, tetapi representasi dari hukum tak kasat mata, aturan yang menegaskan bahwa dunia ini bukan sekadar permainan yang bisa ia kendalikan.
Setiap ketukan langkah, setiap sapuan angin nan menabrak jas, bahkan pantulan cahaya di ujung pedang yang menandai arah pedang, menjadi bahasa yang membisikkan pelajaran keras itu.
Theo merasakan tubuhnya bergetar halus.
Bukan karena ketakutan, tetapi karena kesadaran bahwa kesalahan ini memiliki konsekuensi nyata di dunia yang bercampur antara kenyataan dan kreasi.
Dan akhirnya, Theo tetap memejamkan mata, menelan semua realitas nan menyakitkan, menerima hukuman dengan diam yang tegas, sadar bahwa inilah satu-satunya cara untuk memperbaiki jalannya cerita.
‘Vostraith Legacy, ya, perusahaan yang dikenal sebagai dermawan, yang meyakinkan semua orang bahwa dunia mimpi bisa diubah menjadi kenyataan.
Siapa sangka, kemurahan hati mereka justru berubah menjadi tragedi paling aneh dalam sejarah peradaban manusia.
Aku cuma penulis horor, bukan perancang alam fantasi yang dilengkapi sistem dan aturan yang bisa melenyapkan realitas.
Tapi lihatlah, kini aku berada di tengah-tengah kehampaan ini, di dunia yang bahkan tak lagi mampu mengenali batas antara fiksi dan kenyataan.’
Huuuuh!
‘Lucu, bukan? Selama ini aku menulis tentang kengerian—tentang sebuah dunia di mana yang najis adalah penghuni tetap, sementara Yang Maha Esa telah berganti identitas menjadi Yang Terkutuk Esa.
Namun kenyataannya, dunia yang seharusnya "nyata" justru lebih mengerikan daripada semua yang pernah kutulis dalam Last Prayer.’
Sembilan puluh sembilan persen dunia sirna.
Satu persen tersisa—aku, dan mungkin sisa-sisa absurditas yang masih berusaha meyakinkan diri bahwa aku waras.
Terkadang aku ingin tertawa, sesekali ingin menulis lagi—tapi pena ini gemetar, menolak untuk menuangkan kenyataan yang membentuk dirinya sendiri.’
Hosssh!
‘Jadi inilah konsekuensinya, ya?
Saat permainan berusaha menjadi Tuhan, dan penulis hanya menjadi korban yang terseret ke dalam bab yang tak pernah ia rencanakan.’
Theo berdiri di tengah kehampaan yang baru saja terbentuk, matanya menatap sekeliling dengan campuran heran dan tak percaya.
Dunia nan sebelumnya familiar kini berubah menjadi versi yang setengah nyata, setengah digital, bagai catatan panjang yang ditulis tangan tiba-tiba hidup dan berjalan sendiri.
Bayangan gedung, pepohonan, dan jalan-jalan di sekitarnya terasa seakan diperhalus oleh logika yang tidak sepenuhnya manusiawi, namun juga bukan sekadar ilusi game.
Bersambung….