zaira Kalya , gadis bercadar yang bernasib malang, seolah cobaan terus mendatanginya. Setelah Tantenya-tika Sofia-meninggal, ia terpaksa menerima perjodohan dengan albian Kalvin Rahardian-badboy kampus-yang begitu membencinya.
Kedua orang tua ziara telah meninggal dunia saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, hingga ia pun harus hidup bersama tika selama ini. Tapi, tika, satu-satunya keluarga yang dimilikinya juga pergi meninggalkannya. tika tertabrak oleh salah satu motor yang tengah kebut-kebutan di jalan raya, dan yang menjadi terduga tersangkanya adalah albian.
Sebelum tika meninggal, ia sempat menitipkan ziara pada keluarga albian sehingga mereka berdua pun terpaksa dinikahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Arfa berakhir dengan satu tabokan keras pada mulutnya hingga bibir atas dan bawahnya bergetar bersamaan saat telapak tangan albian mendarat di sana.
“Aduuh...,” rintih arfa yang langsung memegangi mulutnya dengan kedua tangan.
“Tuh mulut kalo masih berisik lagi gue tabok pake sepatu lain kali,” ancam albian dengan tatapan datar. Lantas berlalu begitu saja meninggalkan arfa yang masih kesakitan.
“Huuhh... huuhh... bibir gue kayak langsung bengkak ini.” arfa melihat bibirnya pada kaca spion mobil albian. Bukan Cuma merah, tapi bibir arfa memang terlihat sedikit agak bengkak karena tenaga albian tak main-main saat menaboknya.
“Lo serius banget sih kalo nabok gue, bian! Sakit banget bibir gue,” protes Agra seraya menyusul albian yang sudah semakin jauh di depan. “Padahal gue kan Cuma bercanda doang tadi. Lo kok serius banget sih? Gue tau kali kalo lo gak mungkin lah jadian sama cewek kayak ziara,” sambungnya.
Bugh...
“Aish... Sialan lo! Punya mata enggak sih?”
Umpat albian marah-marah.
Albian yang menghentikan langkahnya secara dadakan setelah ucapan Agra tadi membuat Arfa yang tengah berjalan tergesa-gesa tak siap berhenti mendadak. Tabrakan pun tak bisa terhindarkan lagi. Dahi Agra terbentur belakang kepala albian cukup keras.
Kali ini bukan Cuma Agra yang meringis kesakitan, tapi albian juga mengeluh sakit pada bagian belakang kepalanya.
“Sorry, bian. Gue gak sengaja. Jidat gue juga sakit ini. Lo juga ngapain sih pake ngerem dadakan? Gue kan gak siap, jadinya nabrak deh,” balas Arfa sambil mengusap dahinya yang memerah.
Mata albian melotot mendengar Agra melemparkan kesalahan padanya. Tangannya yang awalnya memegangi belakang kepala, kini beralih pada pinggangnya.
"Jadi gue yang salah?" tanya albian sambil berkacak pinggang menatap Agra dengan sorot yang mematikan.
Arfa menggelengkan kepala pelan seraya menelan salivanya susah payah. "Enggak kok. Gue yang salah," jawabnya pelan, saking pelannya nyaris tak terdengar.
"Bagus kalo lo sadar."
Saat albian berbalik badan hendak melanjutkan langkahnya, dari jarak yang tak terlalu jauh darinya, Brigita berlari menghampirinya dengan senyuman lebar dan tanpa permisi melingkarkan tangannya pada lengan albian.
"Bian... Hari ini kita satu kelas kan? Barengan yuk!" ucap Brigita riang.
Tak ada jawaban dari albian. Pemuda itu menatap tak suka pada tangan Brigita yang seenaknya melingkar di lengannya.
"Git, lo lupa ya?" tanya albian dingin.
Buru-buru Brigita melepaskan lengan albian. Kebiasaannya yang dulu masih sulit dihilangkannya. Terutama yang berhubunganb dengan kontak fisik dengan albian.
"Astaga, bian. Gue gak sengaja. Sumpah! Kebiasaan soalnya gue gandeng lo dulu. Lain kali gue gak akan gitu lagi deh." Brigita menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Maaf ya. Mau kan maafin gue?"
Albian tak menjawab lagi. Ia hanya menghela napas berat sebagai jawaban, lalu melanjutkan langkahnya menuju gedung fakultas.
Arfa yang sejak tadi memperhatikan mereka langsung tertawa melihat Brigita yang diacuhkan oleh albian. Pemuda itu menghampiri Brigita sambil cekikikan.
"Sabar ya, Git. Posisi lo di hatinya bian udah ada yang gantiin sekarang. Jadi, lo mending mundur alon-alon cari yang lain aja dari pada potek hatinya," ucap arfa setelah mencolek lengan Brigita hingga gadis itu menoleh cepat.
"Maksud lo apaan?" tanya Brigita ngegas. Gadis itu berbalik badan ke arah arfa sambil berkacak pinggang, menyorot tajam arfa seolah akan menelannya bulat-bulat.
"Masa lo gak tau sih? Tadi albian lo kira ke kampus bareng siapa, Neng? Bukan sama lo, tapi sama ziara," jawab Agra yang sengaja menekankan ucapannya saat menyebut nama ziara di akhir kalimat. "Itu lah yang namanya kualat. Kemakan omongan sendiri saking bencinya sama cewek baik-baik kayak ziara. Jadi lah sekarang jatuh cintrong," sambungnya.
Kedua tangan Brigita mengepal kuat. Ia bahkan tak menyangka kalau albian kini secara terang-terangan memperlihatkan hubungannya dengan ziara di depan mahasiswa lain. Padahal Brigita sendiri menjaga rahasia itu dengan sangat rapat agar tak ada satu pun yang tahu soal pernikahan mereka. Dengan begitu, masih ada kesempatan untuknya untuk membuat rumor kedekatannya dengan albian.
"Sialan emang! Pasti tuh cewek munafik yang udah minta barengan sama albian," gumamnya sambil menatap gedung fakultas pendidikan. "Liat aja nanti. Gue gak akan biarin dia kuasai albian."
Selagi menunggu dosen yang belum datang, ziara membaca materi diskusi hari ini yang akan dipresentasikan oleh kelompok enam.
Baru beberapa kalimat pada lembaran kertas A4 itu ziara baca, atensinya mendadak teralihkan pada eline yang berlari masuk ke dalam kelas dan langsung duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ziara.
"Untung aja gue gak telat. Gue sampe ngebut tadi, zia," ucap eline yang masih bernapas terengah-engah setelah berlari dari parkiran.
"Kamu kesiangan lagi bangunnya, linl?" tanya ziara. Meletakkan lembar diskusi di atas meja dan beralih pada eline.
Gadis dengan rambut yang tergerai panjang itu cengengesan sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Habisnya keenakan tidur gue. Lagian juga gue belum sholat," jawabnya. "Btw, zia, tadi waktu di lift, gue denger ada yang gosipin lo sama albian. Katanya hari ini lo barengan sama dia ya? Ada yang liat lo tadi keluar dari mobil dia."
Ziara menundukkan wajahnya. Tak kunjung menjawab pertanyaan dari Adeline barusan. Ia menggigit bibir bawahnya di balik cadarnya. Ziara tak ingin berbohong, tapi ia juga tak bisa mengatakan perihal pernikahannya pada sahabat baiknya itu.
Diamnya ziara itu membuat Adeline menarik kesimpulan sendiri. Ziara seolah mengiyakan pertanyaannya barusan meski tak mengeluarkan sepatah kata pun sebagai jawaban.
“Sejak kapan tuh cowok jadi baik sama lo? Waktu lo disiram Brigita pake es teh juga dia sampe mau ngasih lo jaketnya. Bukannya dulu ketemu sama lo aja dia udah ngamuk-ngamuk ya? Jangankan ketemu, liat bayangan lo aja udah tantrum tuh cowok.”
Lagi-lagi ziara diam. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya ke bawah seolah tengah fokus membaca materi diskusi nanti.
“Kok diem terus sih, zia? Gue dari tadi nanya gak pernah lo jawab!” Adeline menyenggol lengan ziara pelan dengan bibir mengerucut sebal.
Ziara kembali menoleh ke arah sahabatnya. "Maaf banget, lin. Untuk sekarang ini, tolong jangan tanya macem-macem dulu. Aku belum siap kasih tau kamu semuanya. Tunggu aku sampe siap dulu ya," ucap ziara dengan suara pelan agar tak terdengar oleh teman satu kelasnya yang lain.
"Jadi lo punya rahasia sama albian?
Jangan bilang, lo sama dia...."
eline membekap mulutnya dengan kedua tangan. Ia tak ingin melanjutkan lagi kalimatnya melihat tatapan memelas ziara yang diarahkan padanya.
"Oke... oke... Gue gak akan bicara macem-macem lagi," ucap eline dengan gerakan seolah mengunci mulutnya.
"Alhamdulillah kalo kamu bisa ngerti," balas ziara senang.
Baru saja ziara bernapas lega, atensinya teralihkan pada Hp nya yang bergetar dari dalam tasnya.
Satu kalimat yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal itu berhasil membuat jantung zia seketika berdetak cepat. Bahkan tubuhnya pun lemas tanpa tenaga.
"Gue tau siapa tersangka yang udah nabrak Tante lo. Dia sedang hidup bebas dan tertawa bahagia sekarang."
Tubuh ziara gemetaran setelah membaca pesan singkat yang entah dikirimkan oleh siapa itu. Air matanya pun menetes begitu saja tanpa bisa tertahan lagi.
"Siapa orangnya?" Ziara meremas roknya erat. Dadanya seketika sesak mengingat kepergian Tantenya akibat ulah orang yang tidak bertanggung jawab.
"Tolong kasih tau aku, siapa yang udah menabrak Tante tika? Dan anda ini siapa?"
Ziara tanpa segan menekan tombol kirim untuk membalas pesan dari nomor tak dikenal itu.
***
Di atas rooftop gedung D4 fakultas ekonomi dan bisnis, tiga orang pemuda tengah menikmati menghisap nikotin di sana sambil menatap pemandangan di bawah sana. Dan salah satu dari pemuda yang tengah merokok itu adalah vino Arza Narendra.
Pemuda itu sedang merokok bersama dua temannya-Sergio dan Refaldo. Ketiganya memilih merokok di rooftop dari pada harus mengikuti mata kuliah hari ini yang sudah dimulai tiga puluh menit yang lalu.