Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Usaha Di Rumah
Bab 23. Usaha Di Rumah
POV Lola
Semakin hari tubuhku semakin lemah rasanya. Ternyata ngidam bener-bener nggak enak. Makanan kesukaan ku pun bisa hilang selera ku untuk menyentuhnya.
Untuk beraktivitas pun malas. Padahal aku harus bekerja. Tapi kondisi ku benar-benar nggak bisa di ajak kerja sama. Apa sebaiknya aku ijin lagi saja ya?
"Ting!"
Sebuah pesan masuk ke hape ku. Aku bertanya dalam hati, siapa ya?
Yuni : La kamu di tanyain sama istri pak Bos. Katanya kamu sering nggak masuk. Sudah nggak ada niat kerja.
Duh!
Istri bos ku ini memang disiplin orangnya dan tegas, juga galak. Aku pasti bakal di omelin kalau masuk.
Lola : Kamu jawab apa?
Yuni : Aku bilang aja kamu lagi ngidam, makanya sering sakit dan nggak masuk.
Lola : Iya betul.
Yuni : Tapi dia nggak mau tahu La. Intinya mau kerja apa nggak.
Hmm, malas kalau begini. Pengen berhenti aja rasanya. Apa aku mulai saja berjualan ya? Dari pada uangnya habis gitu-gitu aja. Uang dari amplop hajatan juga sudah nggak seberapa karena Jemin terus meminta. Lebih baik aku mulai berjualan saja. Bulan ini sudah mulai mencicil angsuran. Kalau nggak jualan, bisa nggak terbayar nanti.
Lola : Aku berhenti saja. Badanku nggak sanggup buat kerja.
Yuni : Lah, aku nggak ada teman dong...
Ku abaikan keluhan Yuni dan segera memulai memikirkan usaha apa yang akan aku lakukan dan dimana tempatnya. Tapi, dari pada jauh-jauh mikirin tempat, bukannya lebih baik jualan di rumah saja? Sebaiknya begitu saja.
Aku bersemangat. Bukankah berjualan di rumah aku jadi hemat tenaga? Dan nggak perlu membereskan setiap mau buka atau tutup? Aku harus kasih tahu Jemin rencana bagus ini.
Ku cari keberadaan Jemin karena di kamar dia nggak ada. Rupanya dia ada di ruang tamu bermain game.
"Yang."
"Hmm."
"Aku mau jualan di rumah saja. Jual bubur, nasi kuning, juga sembako kecil-kecilan kayak mie instan, dan lain-lain. Gimana?"
"Bagus."
"Iya kan? Bagus kan? Kita pergi belanja yuk! Besok aku mau mulai berjualan."
"Kamu nggak kerja?"
"Aku mau berhenti aja. Lagian berhenti nggak perlu datang lagi juga udah cukup."
"Di pecat?"
"Biarin aja begitu. Ngundurkan diri baik-baik ntar malah banyak pertanyaan. Syukur-syukur nggak di ceramahin dulu."
"Terserah kamu dah."
"Kalau begitu aku beres-beres dulu."
Seperti ada tenaga yang penuh dalam badan ku. Aku pun mulai membersihkan rumah di mulai dari tumpukan piring kotor, meredam pakaian kotor, lalu menyapu lantai sembari membetulkan letak barang-barang yang berserakan.
Tapi setelah melakukan itu semua, aku kelelahan. Dan akhirnya memesan makanan untuk mengisi perut ku.
"Nggak enak. Buat kamu aja Yang."
Sate yang aku beli nggak habis aku makan. Hanya mendekati separuh, dan sisanya ku berikan kepada Jemin yang memakan menu yang sama.
Jemin makan dengan lahap. Setelah itu dia mandi dan mengantarkan ku berbelanja.
"Sebelum pulang kita singgah ke rumah Airin ya."
"Ck! Mau ngapain sih?!"
"Singgah aja dulu pokoknya."
Kami pun singgah ke rumah Airin. Entah kenapa aku ingin sekali memberitahu sepupu ku itu tentang apa yang akan aku kerjakan. Rasanya ada perasaan bangga tersendiri. Apalagi mengingat dia juga berjualan menerima pesanan kue orang. Tapi yah, kadang-kadang. Kalau aku nanti kan berjualan setiap hari, jadi beda dong.
"Loh, nggak kerja kamu La?"
"Nggak ah, capek! Gaji nggak seberapa disuruh ini itu kayak babu."
Ku lihat mata Airin memperhatikan belanjaan ku. Pamer sedikit ah...
"Aku sama Jemin mau buka usaha kecil-kecilan di rumah. Di gang nggak ada yang jualan bubur, atau nasi kuning. Aku mau jualan itu aja. Umi ada nggak? Mau minta resep ah, ke Umi."
"Ada di dalam. Masuk aja."
Aku pun masuk. Dan Jemin seperti biasa, ia lebih memilih di teras karena bisa merokok.
Rumah Airin nggak suka bau rokok. Alasannya sih, banyak anak kecil. Sepupuku itu memang cerewet. Padahal biasa aja kali rokok mah.
"Jadi kamu dari sejak menikah nggak masuk kerja La? Terus berhenti gitu? Bukan karena dipecat kan La?"
Tanya Airin di saat kami sama-sama menuju ruang depan TV. Kepo banget sih Airin ini.
"Mau berhenti atau di pecat sama aja. Pokoknya aku dah nggak kerja di sana lagi. Umi..."
"Gimana kabar kamu La?"
"Ya gitu lah Mi. Ngidam nggak enak. Mi, Lola mau jualan di depan rumah. Bagi resep dong Mi."
"Jualan apa?"
"Rencananya bubur, sama nasi kuning."
"Oh, bagus itu."
Umi lalu memberikan resep bubur dan nasi kuning kepadaku. Dan aku pun mencatatnya di handphone ku. Ah, mudah ternyata.
"Kamu sudah belanja buat jualan La?" Tanya Umi.
"Banyak Mi belanjaannya. Kayak mau buka toko malahan." Kata Airin menyela.
"Banyak juga modalmu La."
"Eh, iya Mi. Di bantu sama Mamanya Jemin."
Aku terpaksa berbohong. Nggak mungkin aku mengatakan dapat uang hasil gadai sertifikat rumah. Bisa-bisa di ceramahin setahun aku.
"Baik juga ya, Ibu mertuamu. Lebih baik gitu La, punya uang buat modal usaha. Tekuni dan jalani dengan rajin. Nanti pasti ada hasilnya. Biasanya memang hasilnya nggak langsung banyak. Tapi sabar, kumpulkan sedikit-sedikit. Lama-lama banyak juga nanti." Nasehat Umi.
"Tapi harus konsisten La. Jangan malas. Harus buka setiap hari. Jangan kadang buka kadang tutup, juga buka siang-siang, nggak ada yang beli nanti. Orang udah pada kenyang duluan." Airin ikut menimpali.
"Iyaaa. Aku tahu."
Aku melihat langit di luar jendela. Lalu melihat jam di tanganku. Sudah jam 5 sore rupanya. Sebaiknya aku pulang saja. Kasihan Jemin nunggu lama di teras sana.
"Mi, Lola pulang ya, dah sore."
"Iya. Semoga lancar jualan mu ya La."
"Aamiinn. Makasih Umi."
"Rin, aku pulang ya."
"Iya. Ingat La, konsisten."
"Iya, iya."
Aku pun beranjak berdiri. Umi dan Airin ikut mengantarkan ku sampai ke depan pintu.
"Wah, banyak sekali belanja mu La." Kata Umi takjub.
"Iya Mi. Ada belanja sedikit juga buat ngisi warung." Jawab ku.
"Bagus itu. Semangat deh La. Semoga sukses jualannya ya."
"Iya Mi, aamiinn."
Lalu aku pun pulang ke rumah bersama Jemin membawa belanjaan kami.
Capek sekali hari ini. Beres-beres rumah, lalu belanja. Perutku jadi lapar lagi. Terpaksa harus jajan lagi. Nggak apa deh. Toh besok juga sudah menghasilkan uang. Makan apa ya sore ini?
"Yang laper nggak?"
"Laper lah."
"Mau makan apa?"
"Terserah deh."
"Bakso aja yuk?"
"Aku pesan dua ya. Bakso dan nasi goreng."
"Boleh. yuk!"
Nggak apa-apa hari ini boros. Toh Jemin juga sudah bantuin aku hari ini nemenin dan bawain belanjaan ku.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣