**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Peringatan untuk Cynthia
Keesokan harinya, siang menjelang.
Nadra baru saja tiba di tempat kerjanya. Ia membuka loker, hendak meletakkan tas dan mengganti sepatu, ketika tiba-tiba sebuah tangan putih, bersih, dan terawat menarik kaos kerja bagian belakang tubuhnya dengan paksa. Nadra menoleh, wajah itu bukan wajah asing.
Tanpa sepatah kata. Cynthia menarik Nadra menjauh dari ruang loker, menggiringnya ke sudut belakang tempat kerja, tempat yang jarang dilalui, kamar mandi wanita.
Ceklek! Pintu dikunci. Nadra berdiri di dekat pintu, diam. Ia bisa saja melawan, tapi tidak melangkah. Ada tatapan malas namun tajam di matanya. Ia menatap Cynthia yang kini berdiri tak sampai sejengkal di depannya.
Cynthia mencengkeram dagunya, keras, membuat wajah Nadra mendongak paksa. "Apa yang kamu lakukan semalam?" tanya Cynthia, tajam dan penuh tuduhan. "Kenapa Arven pulang dengan wajah aneh? Seperti, seperti habis jatuh hati!"
Nadra tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu menjawab ringan, "Kami tidak melakukan apa pun."
Cynthia mendesis. "Bohong!" Ia mengguncang dagu Nadra dengan geram. "Kamu pikir aku bodoh, hah?! Kau pasti sudah melakukan sesuatu padanya. Rayu dia, pegang dia, cium dia, ya kan?! Dasar-"
"Kami tidak melakukan apa pun," ulang Nadra, suaranya datar, nyaris tak berperasaan.
Cynthia histeris. Tangannya terangkat, plak! Mendarat di pipi Nadra. Satu kali, dua kali, tiga kali. Hingga sudut bibir Nadra pecah dan mengeluarkan darah.
Namun tetap, Nadra diam. Matanya tetap menatap lurus ke arah Cynthia, tanpa air mata, tanpa jeritan. Hanya dada yang naik turun, menyimpan amarah yang ditekan kuat-kuat. Akhirnya, dengan suara pelan dan dingin, Nadra membuka mulut. "Sudah selesai?"
Cynthia tertegun.
"Cuma segitu aja?" lanjut Nadra, kepala sedikit miring, nada bicara masih tenang. "Kupikir perempuan seperti kamu akan lebih 'kuat' dari ini."
Cynthia menggertakkan gigi, matanya membelalak tak percaya. "Kau berani-"
"Berani?" Nadra memotong, kali ini menegakkan tubuhnya. "Iya. Mungkin sekarang aku mulai belajar. Kalau aku diam terus, orang kayak kamu pikir bisa lakukan apa pun."
Darah menetes dari sudut bibirnya, tapi Nadra tak peduli. Ia melangkah maju, membuat Cynthia mundur setapak. "Baik Arven, atau siapa pun itu. Aku tidak pernah minta mereka datang ke hidupku. Tapi kalau kamu pikir aku bakal lari hanya karena tamparan atau amarahmu, kamu salah besar, kak Cynthia."
Cynthia nyaris kehilangan kata. Tangannya gemetar, tubuhnya bergetar oleh rasa malu dan amarah yang berbaur menjadi satu.
"Buka pintunya," ucap Nadra pelan namun tegas.
Cynthia tidak bergerak.
"Sekarang," ulang Nadra, lebih tajam.
Cynthia akhirnya melangkah ke belakang, membuka kunci pintu. Saat daun pintu terbuka, Nadra menoleh sekali lagi. Wajahnya masih dingin, tapi sorot matanya penuh perlawanan. "Sakit fisik bisa hilang, kak Cynthia. Tapi, kamu akan tetap kalah, selama kamu terus emosi untuk lindungi rasa takutmu sendiri." Lalu ia melangkah keluar, meninggalkan Cynthia yang kini terpaku sendiri dalam cermin kamar mandi, menatap bayanganya dan kekalahannya.
###
Lorong tempat kerja terasa sunyi siang itu. Langkah kaki Nadra pelan, wajahnya tertunduk, menyembunyikan luka di bibir yang masih mengeluarkan darah samar. Namun sesekali, ia mengangkat pandangannya. Sorot matanya tidak lagi sama, tidak selembut kemarin. Kali ini ada seberkas nyala dingin di dalamnya.
Di tikungan lorong itu, ia berpapasan langsung dengan Arven. Arven terdiam, matanya membelalak. Ia menangkap setiap luka di wajah Nadra dengan sangat jelas, bibir pecah, pipi membiru, dan sorot mata yang tampak terluka tapi kuat.
"Nadra," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Nadra hanya menatap sekilas, lalu kembali berjalan seperti tak terjadi apa-apa. Arven ingin memanggil, tapi langkah Nadra sudah menjauh.
Beberapa detik kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Cynthia keluar, wajahnya terlihat hancur. Mata sembab, riasan tipisnya sudah tak rapi. Tapi saat ia melihat Arven berdiri tak jauh darinya, ia buru-buru membentuk senyuman. "Siang, Arven," sapa Cynthia ceria, terlalu ceria untuk seorang wanita yang baru saja melakukan kekerasan. "Sudah mendingan, kan?" lanjutnya, berpura-pura manis, seolah tak tahu apa pun.
Arven diam, ia tidak membalas. Matanya tertuju ke telapak tangan Cynthia merah. Sedikit gemetar. Ia mendekat. Satu langkah, dua langkah.
Cynthia tampak gugup, langkahnya nyaris mundur. Kini, mereka berdiri sangat dekat. Tatapan Arven menusuk. Diam, sunyi, dingin, dan berbahaya. Cynthia menelan ludah. "Ke-kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanyanya pelan, mulai panik. "Arven, kamu-"
"Kau wanita ja*lang," ucap Arven, suaranya dalam, bergetar menahan emosi. "Kau menghancurkan hatiku, merusak kepercayaanku, dan sekarang, kau menyakiti orang yang begitu spesial bagiku."
Cynthia terguncang. "T-tunggu, aku-"
Arven tak peduli. Ia mendekat, lebih dekat lagi, hingga napas panasnya terasa di wajah Cynthia. "Kau ingin tahu tentang aku tadi malam, kan?" gumam Arven. "Kau penasaran kenapa aku berubah, kenapa aku tak lagi memandangmu sama?"
Cynthia mencoba menyela. "Arven, aku, aku cuma-"
"Diam " bentak Arven, suara rendahnya berubah dingin seperti es yang baru mencair ditengah malam. "Lihat aku, Cynthia. Katakan. Apa yang kamu lakukan padanya?"
Cynthia terdiam. Bibirnya bergetar.
"Jawab!" bentak Arven, kali ini lebih keras.
Cynthia mengangguk panik. "Aku hanya, hanya ingin tahu kebenarannya. Aku, aku minta Nadra jujur soal semalam. Tapi dia, dia tetap tenang, dan aku kehilangan kendali, aku, aku tampar dia. Aku, Arven, aku nggak bermaksud-"
"Tak bermaksud?" Arven menahan amarahnya, rahangnya mengeras. "Kau pikir menyakiti orang lain itu bukan niat?"
Cynthia memucat. Tubuhnya mulai gemetar.
Arven menunduk, wajahnya tepat di depan Cynthia, mata mereka sejajar. "Dengar baik-baik, Cynthia," ucapnya dingin. "Jika kau menyentuh Nadra lagi, bahkan satu helai rambutnya pun, aku bersumpah, kau tidak akan pernah melihat matahari esok pagi."
Cynthia menutup mulutnya, nyaris menangis.
"Jangan ganggu dia. Jangan dekati dia. Jangan bawa namanya dalam obrolan busukmu lagi. Atau aku akan jadi iblis terakhir yang kau lihat di dunia ini."
Arven belum bergerak, ia masih berdiri di ujung lorong, tepat di depan pintu kamar mandi. Tatapannya tajam mengikuti langkah Cynthia yang mulai menjauh.
Cynthia berjalan cepat, tapi sesekali menoleh ke belakang. Setiap kali mata mereka bertemu, tubuhnya makin kaku. Ada ketakutan yang nyata dan sorot matanya, takut jika pria itu tiba-tiba mengejarnya, atau bahkan melakukan sesuatu yang lebih mengerikan.
Langkahnya makin cepat, sepatunya berderap kecil di lantai koridor yang sepi. Saat melewati lorong dapur, sorot mata Cynthia berubah, ia melihat Nadra. Gadis itu baru keluar dari ruang penyimpanan. Langkahnya santai, tenang. Ia tidak berusaha menyapa siapa pun, hanya menatap Cynthia sekilas. Tatapan itu dingin, begitu dingin, tanpa kata, tanpa emosi.
Di sudut bibir Nadra, terpasang handsaplast kecil yang samar tertutup oleh warna lip blam nude. Sementara pipinya yang lebam sudah tertutup foundation dan bedak matte, nyaris tak terlihat kecuali jika diperhatikan dengan seksama.
Cynthia nyaris tersandung kakinya sendiri. Tatapan Nadra menusuk, tanpa ampun, tanpa kasihan.
###
Sesampainya di meja barista. Cynthia buru-buru duduk, menarik napas. Namun temannya, seorang wanita muda berambut sebahu bernama Rani, langsung menyapanya.
"Eh, Cyn, kau kenapa? Wajahmu pucat banget. Sakit?"
Cynthia menelan ludah. Napasnya terengah, tangannya sempat gemetar saat menarik gelas kosong untuk menenangkan diri. Cynthia dengan cepat menjawab, "Nggak, aku cuma menstruasi. Hari pertama, sakitnya agak parah."
Rani menatap lekat wajah Cynthia, lalu tanpa sengaja melirik ke arah Nadra yang baru saja menghampiri meja pelanggan dengan buku kecil catatan pesanan di tangannya.
"Tapi tadi aku liat, kayaknya kamu bareng Nadra di lorong kamar mandi, ya? Kalian, berkelahi?"
Pertanyaan itu menghentakkan Cynthia. Tubuhnya membeku, matanya membelalak sesaat, terlalu lama untuk disebut refleks biasa. "Enggak! Nggak ada apar. Aku, ya ampun, Ran, please jangan buat gosip aneh ya?"
Wajah Cynthia tambah pucat. Bibirnya bergetar saat menoleh, dan di sanalah ia melihatnya, Arven. Berdiri di antara celah pintu ruang dapur dan area depan. Matanya menatap lurus ke arah Cynthia. Dingin, dalam, tanpa ekspresi, tapi penuh ancaman.
Cynthia menegang, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.
"Cyn, itu Arven, kan?" tanya Rani pelan.
"Iya, i-iya, dia cuma lewat-" Cynthia terbata.
Rani penasaran, "Kau yakin nggak ada masalah sama Nadra? Tadi Arven liatinmu kayak-"
Cynthia cepat memotong, panik. "Aku bilang nggak ada apa-apa, kan! Aku baik-baik aja. Nadra juga baik. Kami nggak berantem, oke?"
Mendengar bentakan Cynthia, Rani langsung mundur setengah langkah. Tatapannya tak lagi bertanya, tapi tetap menyimpan curiga. "Okelah, kalau begitu."
Tanpa menunggu balasan, ia mengambil nampan dan kembali sibuk dengan pesanan di depan mesin kopi. Suasana menjadi canggung, tak ada yang bicara, tak ada yang tertawa seperti biasanya. Hanya bunyi mesin espresso dan langkah kaki pelanggan di luar yang memecah diam.
...Bersambung.......