Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Tahun 1961—musim panas yang menyengat menggulung daratan, dan tak satu tetes hujan pun menyapa tanah. Ini tahun kedua berturut-turut gagal panen melanda. Tahun lalu, warga masih bisa menggantungkan hidup pada sisa-sisa hasil panen tahun sebelumnya. Tapi tahun ini, lumbung-lumbung sudah kosong, perut-perut mulai berbunyi lebih cepat dari biasanya, dan mata-mata anak-anak semakin cekung.
Air sungai menyusut menjadi aliran kecil yang hampir mengering. Tanah yang dulu basah dan subur kini retak seperti pecahan keramik. Meski demikian, kegiatan ladang tidak berhenti. Kapten dengan suara parau dan kepala yang beruban karena stres bertahun-tahun, memerintahkan agar pekerjaan di ladang dimulai pukul 05.00 subuh dan dihentikan sebelum matahari membakar kulit pada pukul 10.00 pagi. lalu melanjutkan lagi yang ketiga sore dan terakhir jam 06.00 sore.
Jadi ketika warga berkumpul di tanah lapang, mereka belum sarapan.Lagipula tak ada makanan yang bisa dibagikan.
Sejak dini hari, warga desa sudah berkumpul di tanah lapang. Tubuh mereka menggigil karena hawa malam yang belum sepenuhnya pergi, namun keringat tetap mengalir karena ketakutan tidak mendapat poin kerja hari itu. Di tengah kerumunan, seorang pencatat dengan buku tebal dan pena tua mencatat nama-nama, satu per satu. Ia menunjuk ladang-ladang yang ditugaskan hari itu,ladang jagung yang tak kunjung tumbuh, petak singkong yang mati separuhnya, dan sawah yang sudah terlalu keras untuk dibajak.
“Tim Wu dalin,parit selatan.tim Sian wu , pergi ke pinggir barat. Tim danceng...bantu angkut tanah di utara.”
Suara pencatat nyaring, tapi lelah. Sama seperti semua orang di sana.
"Kapten, saat ini tidak ada air di sungai dan parit juga sudah kosong. benih yang kita tanam 1 minggu yang lalu juga sudah mati. apakah tahun ini masih ada harapan kapten?"seseorang mengeluh.
Kapten yang ditanyai juga hanya bisa menghilang kepala tidak tahu.
Semua orang mau meletakkan harapan mereka untuk panen tahun ini.Tapi dia bukanlah seorang dewa yang bisa menurunkan hujan di langit.
"Lakukan saja tugas masing masing,selanjutnya serahkan hasil pada alam"Kata kapten yang terus meminta semua warga terus berkerja.
Padahal dia sendiri khawatir sekali.
Pekerjaan mereka akan diubah menjadi poin, poin akan diubah menjadi jatah makanan, dan jatah makanan akan menentukan hidup atau mati.
Tapi bagaimana jika tidak ada panen?
Tak ada yang berbicara. Semua tunduk, melangkah dengan lemah, dan menggenggam harapan yang mulai menipis seperti lembaran roti kukus yang tak pernah cukup.
Tahun ini… sepertinya akan menjadi lebih buruk dari tahun kemarin.
Di sela-sela cangkul yang terayun dan peluh yang menetes, ladang pagi itu tidak hanya dipenuhi suara serangga dan alat kerja, tapi juga gumaman para wanita desa yang saling berbisik pelan namun tajam ,membicarakan Ulan.
Padahal kepala desa sudah meminta para saksi agar tidak membicarakan masalah ini keluar. Tapi tapi entah bagaimana informasi masih bocor dan segera menjadi buah bibir penduduk sebagai sebuah hiburan dikala jenuh bekerja di ladang.
“Katanya malam tadi dia ditarik masuk begitu saja…dan ..kau tau kan”
"Eh tahu dari mana kau jangan membuat gosip ya"
“Aih, aku dengar sendiri dari Meifan, dia yang terakhir melihat Ulan di sungai…saat itu...bla ..bla.. bla...”
Gosip menyebar lebih cepat dari asap tungku. Dan meskipun keluarga Gu,terutama kepala desa berusaha menutupinya, tapi siapa yang bisa benar-benar menghentikan lidah-lidah yang haus cerita?
Bibi tua bermata sipit dan bergigi tinggal separuh mendekati Nenek Gu saat istirahat ladang. Tangannya masih memegang topi jerami, namun suaranya tanpa basa-basi.
“Benarkah cucumu itu… sudah disentuh orang tadi malam? Jadi bagaimana, kesalahan holiganisme harus ditindaklanjuti jangan dibiarkan"maksudnya laporkan saja ke polisi biar orang itu ditangkap dan ditembak.
"tidak perlu, pria ini adalah seorang prajurit. masih kerabat dengan kepala desa. daripada ditembak lebih baik menikah dengan Ulan, Jadi cukup bayar mahar dan selesai sampai di situ " nenek gu masih dalam kesedihan jika mengingatkan uang yang dia hilangkan.
Tapi baru kemarin mereka menyebutkan tidak punya uang sepeserpun. alasan itulah yang membiarkan mereka bisa berhutang ke kantor desa. Jadi tidak mungkin melaporkan masalah kehilangan rp200 lagi hari ini.
Jika ditanya asal usul uang itu bagaimana dia harus menjawabnya.
Jadi nenek tidak membicarakanmu tapi mengalihkan perhatian semua orang kepada masalah Ulan. Cucu perempuan yang bertelur emas.
"Apa? Ulan dia ...mau dinikahi?”
Nenek Gu, bukannya malu atau menunduk, justru mengangkat dagunya tinggi. “Benar! Dan apa salahnya kalau setelah itu dia akan menikah? Mahar anak itu seribu rupiah! Seribu! Mana ada gadis desa lain yang bisa dihargai sebanyak itu? Bahkan kalau di kota ,mahar nya tak sampai segitu!”
Nenek gu tanpa malu menceritakan bagaimana mereka menegosiasi masalah mahar. pria ini sepertinya tidak kekurangan uang sama sekali lagi pula dia prajurit dan terlihat tampan. jika dibandingkan dengan Ulan yang sehitam arang, mereka seperti bumi dan langit.
Tapi tidak apa-apa.
Yang penting maharnya bisa masuk ke dalam kantong.
"Ulan bisa mendapatkan mahar sebanyak itu adalah kemampuannya. mungkin kalian juga harus belajar bagaimana cara mendapatkan mahar sebanyak Ulan hahaha"
Beberapa wanita terdiam. Ada yang mencibir diam-diam, tapi tak sedikit pula yang diam-diam mengagumi.
Nenek Gu menepuk-nepuk lututnya yang berdebu sambil berkata lagi, “Yang penting sekarang dia bisa menikah. Bahkan maharnya lebih mahal dari anak kepala desa!”
Desir angin membawa percikan tawa tertahan dan komentar sinis, tapi gosip tak berhenti hanya berubah arah, dari hinaan menjadi perhitungan.
Ulan mungkin kehilangan kehormatan di mata sebagian orang, tapi di mata mereka yang menghitung segala sesuatu dengan uang… dia telah menjadi legenda baru.
Hari itu ladang menjadi lebih ramai oleh bisik-bisik daripada suara kerja. Gosip tentang Ulan telah menyebar seperti api menyambar alang-alang kering. Para wanita desa yang biasa menahan lapar dan lelah demi poin harian, kini punya bahan pembicaraan yang jauh lebih menggairahkan daripada hasil panen jagung yang hampir tak ada itu.
Bibit jagung yang mereka tanam di hari lalu tidak tumbuh dan jelas sudah mati. mereka harus menanam ulang bibit yang baru.
Seorang wanita tua yang rambutnya sudah putih mendekati Ibu Ulan saat istirahat. “Benarkah… gadismu diperlakukan seperti itu? Tapi kabarnya malah akan dinikahkan?”
"ibu Ulan,kau harus mengirim kan orang itu ke penjara, untuk memberikan efek jera bukan malah mengambil nya jadi menantu.Lagi pula kasihan ulan kan,apa kau tega?"
Jika Ulan benar benar menikah, bukan tidak mungkin , kejadian ini menjadikan para preman desa untuk melakukan hal yang sama demi mendapatkan seorang istri.
Apa jadinya dengan gadis gadis di desa nanti.
Alih-alih merasa malu, Ibu Ulan justru menegakkan tubuh dan menepuk perutnya dengan bangga. “Tentu saja benar! Dan maharnya seribu rupiah! Kalau aku tahu anak perempuan bisa bernilai seperti itu… sudah dari dulu aku lahirkan satu lusin!”
Tawa pecah di antara beberapa wanita, namun tidak semua tertawa karena senang. Ada yang hanya menyeringai kecil, yang lain berbisik pelan, mengejek dengan mulut tertutup tangan.
Namun satu perempuan, yang anaknya baru saja menikah tiga bulan lalu, angkat bicara. Suaranya tegas, menusuk seperti jarum. “Apa kau sebagai ibu tidak punya malu? Anakmu dilecehkan lalu kau menutupinya dengan seribu rupiah? Bukankah itu hanya untuk menutupi kebusukan pria yang bahkan tidak dikenal siapa dia?”
Nada kalimat itu membuat keheningan singkat tercipta. Namun Ibu Ulan tak tinggal diam. Matanya melotot, tangannya menunjuk tajam.
Ibu Ulan emosi dikatain seperti itu . dia berdiri sambil bercekak pinggang.
"bagaimana mungkin kami tidak tahu siapa dia. dia masih kerabat dengan kepala desa, statusnya masih seorang prajurit.Hah dengan status itu, aku akan mengadakan kedua tanganku untuk menerima menantu laki-laki seperti dia hahaha"
“Iri, ya?! Putrimu menikah cuma dapat seratus lima puluh sen dan sepotong kain butut! Tidak ada satu orang pun yang datang menjemput! Tidak usah pura-pura suci!” katanya lagi yang membalikkan hinaan itu.
Wanita ini langsung diam karena memang seperti itu.Tahun lalu makanan tidak cukup.Tahun ini ada tanda tanda panen gagal.Dia menikahi putri nya dengan mahar murah untuk mengurangi satu gigitan di rumah.
Dia tidak salah,di desa lain ada keluarga yang menikah dengan sepuluh kilogram beras saja.
Jadi dia lebih terhormat kan.
Tapi wanita desa tidak peduli salah dan benar.Mereka hanya ingin bergosip di kala kepedihan hidup.
Beberapa wanita menahan tawa, yang lain menatap tidak percaya. Keheningan tegang kembali hadir ketika seseorang menyebut, “Padahal Gu Yueqing itu katanya cantik dan berkulit putih. Tapi Ulan yang hitam dan jelek… malah dihargai lebih tinggi. Lucu, bukan?”
"Ya... kupikir akin bisa mendapatkan 500 paling rendah, tapi sebenarnya dia hanya bisa pergi dengan gratis hehe"
Hah kali ini kentang panas di lempar lagi dan target nya adalah gu yueqing yang tidak ada di desa.
Gu yueqing adalah bunga desa yang cantik ya setara dengan pemuda pendidikan dari kota.Dia mungkin bisa menikah dengan orang kota untuk menikmati berkah.
Tapi siapa sangka, apakah itu sebenarnya datang dari keluarga li.
ckckck.
Kita tidak bisa menilai orang dari warna rambutnya.
Bibi kedua Ulan ada di sana juga, berdiri agak ke pinggir. Saat satu suara mengarah padanya, “Istri kedua, kabarnya Putrimu bahkan tidak dapat apa-apa ketika menikah, dia juga pergi tanpa membawa barang apapun bukan ?”
Gu yueqing lebih parah dibandingkan anak bibi tadi yang mendapatkan rp100 dan 50 sen
Ah masih ada tambahan sepotong kain yang katanya butut hahaha.
Bibi kedua pura-pura tidak mendengar dan tidak menjawab. Wajahnya merah padam, entah karena malu atau marah, dan dia hanya pura-pura sibuk memetik rumput liar. hanya dia yang tahu betapa terhinanya dia mengingat kejadian itu.
Gu Yueqing ku yang malang, apa kabarmu sekarang?
Di bawah matahari yang menggigit, ladang itu mendidih bukan hanya karena panas… tapi karena lidah-lidah yang mengiris lebih tajam dari sabit tua.
Di sisi lain,Nenek Gu berdiri dengan dagu terangkat, wajahnya mengilap oleh keringat dan kebanggaan. Tangannya menepuk-nepuk dada dengan penuh percaya diri saat berkata, “Aku tak akan ikut kerja sore ini. Harus menyiapkan pernikahan cucuku… besok adalah hari besar!”
Beberapa wanita tua menoleh, pura-pura tertarik, meski mata mereka menyimpan keraguan. Tapi nenek Gu melanjutkan dengan semangat, “Perjamuan tak perlu megah. Makanan mahal sekarang, harga-harga naik seperti ke langit! Aku akan ke rumah kepala desa, minta disederhanakan saja… uangnya bisa dipakai untuk hal lebih penting.”
Dia tertawa pelan, nada suaranya tinggi dan penuh sindiran. “Lihat saja wajah kalian, iri kan? cucu perempuan kalian tak ada satu pun yang dihargai sampai seribu rupiah. Bahkan dikasih pun, tak ada yang mau!”
Dia melangkah pergi sambil tertawa, sepatu jerami tuanya berdecit ringan di tanah kering. Punggungnya yang membungkuk tampak ringan karena beban dunia seakan sudah terangkat oleh mahar yang ia bayangkan bisa digenggam.
Namun, begitu nenek Gu hilang dari pandangan, suasana berubah. Seorang wanita tua mencibir, “Mata duitan.”
Yang lain menimpali, “Hatinya tinggal separuh saja ,sisanya adalah uang.”
“Ulan pasti menangis semalaman, dan dia sebagai nenek,malah sibuk hitung uang. Apa itu masih bisa disebut manusia?”
“Cucu diperkosa, lalu dinikahkan. Duit seribu bisa membungkam semuanya. Dunia macam apa ini?”
Bisik-bisik itu pelan, tapi tajam, menusuk seperti duri dalam daging. Namun tak satu pun dari mereka berani berkata langsung ke wajah nenek Gu. Karena di desa ini, orang yang menggenggam uang… adalah orang yang bicara paling nyaring.