"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis dalam tawa.
Tama menatap layar ponselnya dengan wajah datar. Lima menit yang lalu Sora sudah membaca pesan-pesan yang dia kirimkan, namun sepertinya perempuan itu tidak berencana untuk membalas. Sampai dia memutuskan untuk mandi, selesai mandi, berpakaian dan berangkat ke kantor, sama sekali tidak ada balasan dari perempuan itu sekalipun status WhatsApp-nya jelas sedang online.
Pikiran Tama kembali melayang ke rekaman cctv apartemen yang dia lihat tengah malam tadi. Dikala sedang kalut lantaran Sora tak kunjung pulang, ditelepon dan di-chat juga tidak ada balasan, dia bertambah galau setelah mengetahui apa yang terjadi di apartemen siang harinya.
Sora dan Julian datang dan masuk ke dalam apartemen. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Setau Tama, itu adalah jam dimana mereka sedang dalam tugas untuk kunjungan ke customer. Yang jelas, tangan Tama tak berhenti mengepal saat menantikan keduanya kembali keluar.
Yang lebih mengejutkan adalah, Sora keluar dengan sebuah koper. Dan Julian terlihat membantu dia membawakan benda tersebut. Tama sempat nge-lag memikirkan kenapa harus bawa koper. Tapi, setelah Sora tidak pulang sampai larut malam, barulah pria itu paham kalau dia memang sengaja meninggalkan apartemen.
Serbuan pertanyaan memenuhi benak Tama. Kenapa Sora pergi? Kenapa dia bisa bersama Julian? Apakah Julian tau alasan dia pergi? Apakah hubungannya dengan Julian sudah sangat dekat sampai Sora berani mengajaknya ke apartemen seperti ini?
Gilaa, sampai sekarang Tama masih belum mampu bernapas dengan normal. Rasanya ingin bertemu dengan Sora dan segera meluruskan semua ini.
***
Suasana kantor masih sepi, namun Kayla dan Sora sudah ada di dalam. Kedua wanita itu tengah bersiap untuk turun ke bawah saat Tama dan juga Giselle muncul di ambang pintu.
“Pagi Mba Sora, pagi Mba Kayla.” Giselle menyapa seperti biasanya.
“Pagi, Sel.” Sora menjawab, diikuti Kayla juga.
“Kalian udah sarapan? Kita mau ke bawah. Mau nitip ngga?” Sora lanjut menawarkan sebuah kebaikan sambil berdiri dari kursinya. Giselle menjawab tidak dan berterima kasih. Sedangkan Tama sudah pasti hanya diam.
Lalu keduanya keluar dari ruangan. Berjalan di lorong sambil berbincang ringan. Saat sudah mendekati lift, tiba-tiba saja tangan Sora ditarik mundur ke belakang dan dalam sekejap dia menghilang dari sisi Kayla.
“So—“ Kayla bengong sendiri di depan pintu lift. Apakah itu Tama?
Pintu lift terbuka. Gadis itu memutuskan untuk tetap melangkah, masuk ke dalam. Kedua orang itu memang perlu bicara empat mata 'kan?
“Tam! Apa-apaan sih?” Sora kaget karena Tama membawanya memasuki tangga darurat. Laki-laki itu langsung menutup mulutnya dengan salah satu tangan. Mungkin takut pekikannya akan mengundang perhatian. Ketika Sora sudah tenang, barulah pria itu menurunkan tangannya.
“Lo yang apa-apaan, Sora. Apa maksud lo ninggalin apartemen?” Tama to the point.
“Gue nggak nyaman lo tiap hari masuk ke unit gue.”
Rahang laki-laki itu langsung mengeras. Dugaannya benar. Sora memang sengaja menghindarinya. Sial! Kenapa mereka bisa sampai sejauh ini? Apakah Sora benaran ingin pertemanan mereka usai?
“Bukankah sebelumnya gue juga sering masuk apartemen lo?”
“Sekarang beda. Dan lo pasti tau alasannya.” Sora membalas pertanyaan sengit itu dengan tak kalah sengit.
“Beda apanya? Bedanya sekarang lo udah punya Julian, anak direktur kita? Gitu?!”
Dahi Sora berkerut, alisnya nyaris bertaut. “Nggak nyambung. Udah deh, Tam. Gue mau beli sarapan!” Sora berusaha mendorong dada Tama yang sejak tadi menghimpit tubuhnya. Dia harus menyudahi ini. Tidak baik berlama-lama di tempat sunyi dengan laki-laki yang membuat debar jantungnya semakin meningkat.
Melihat raut kesal Sora, Tama sadar kalau bisa saja perempuan itu akan semakin membencinya. Dia tidak menginginkan itu. Tanpa berniat mengulur waktu lagi, Tama merogoh saku celananya. Mengeluarkan sesuatu dari sana dan meletakkan benda itu di atas telapak tangan Sora yang baru saja dia tarik.
Itu adalah kunci apartemen Sora yang dia tahan selama dua bulan terakhir.
“Dulu… kalau bukan karena lo, gue nggak akan pindah ke apartemen itu. Dan kalau sekarang lo pergi dari sana gara-gara gue, itu salah. Gue tau kontraknya belum habis, Ra. Biarkan gue yang pergi. Lo… kembali lah.” Suara Tama tiba-tiba berubah menjadi begitu pelan dan berat.
Jika Sora memang sudah tidak nyaman bersamanya, dia akan meninggalkan apartemen yang sudah memberinya beribu kenangan bersama seorang perempuan sempurna bernama Sora Abigail itu.
Tidak ada jawaban dari Sira. Dia hanya menatap kunci di tangannya tanpa suara. Dan Tama sudah menduga itu. Sora tidak akan mengucapkan apapun. Setelah memastikan Sora mengerti kata-katanya, pria itu membuka pintu dan keluar dari sana.
Detik demi detik berlalu. Kedua tungkai Sora belum bergeser sedikitpun. Hanya saja, tangan kanannya sudah turun ke sisi rok dengan posisi masih menggenggam kunci erat-erat. Kedua netranya sedikit demi sedikit mulai berembun. Rongga hidungnya pun mulai terasa perih.
Sesungguhnya dia tidak ingin menangis. Takut yang lain akan sadar kalau matanya sembab. Hanya saja ini terlalu menyakitkan. Kenapa dia justru sedih ketika Tama ingin keluar dari sana? Bukankah seharusnya dia senang? Bukankah itu bisa membuat Tama lebih fokus kepada Giselle?
Air matanya sudah menetes melewati cuping hidung saat bunyi bip di ponselnya menarik perhatian. Firasatnya bilang itu pesan dari Kayla.
'Lo di mana, Ra?' tanya gadis itu.
Sora mengusap sekilas air itu dari wajahnya, lalu mengetik pesan balasan kepada Kayla. Memberi tahu bahwa dia akan turun ke kantin, sekarang. Setelah Kayla menjawab ‘oke’, Sora pun membersihkan wajahnya dengan sapu tangan sebelum benar-benar keluar dari sana.
***
“Tama apain lo, Ra? Dia nggak macem-macem ‘kan?” Kayla yang sudah selesai memesan bubur ayam, langsung melontarkan pertanyaan setelah Sora duduk di sebelahnya. Walau sudah berusaha keras untuk menutupi kesedihan yang dia rasakan, tetap saja Kayla bisa tau karena binar di mata Sora memang berbeda.
“Dia cuma mau balikin kunci apartemen,” jawab Sora seraya menghela napas pelan.
“And…?”
“Itu aja.”
“Harusnya lo hepi dong, Ra? Tapi gue liat lo baru kelar nangis.” Kayla tau Sora hanya akan cerita kalau dipancing seperti ini.
“Nanti deh gue ceritain. Lagi banyak orang.”
“Sip. Jangan nangis di sini. Betewe gue ambil buburnya dulu.”
Sora mengangguk. Berulang kali menarik napas untuk menetralkan suasana hati. Karena bagaimanapun, dia akan bertemu dengan Tama di ruangan. Sekarang Sora harus berpikir bagaimana lagi berhadapan dengan laki-laki itu di tengah hubungan mereka yang semakin kacau. Apakah ini yang sebenarnya Sora inginkan? Sesungguhnya, tidak. Keadaanlah yang mengharuskan semuanya jadi begini.
“Ayo, Ra.” Kayla kembali ke meja sudah dengan kantong plastik di tangan. Menarik Sira dan menggandeng perempuan yang sedang bermuram durja itu.
Sesampainya di ruangan, keduanya mulai bekerja sambil sarapan. Tadi Axel sempat menyapa sebagai formalitas dan dijawab Sora dengan seadanya.
Untung saja ruangan ramai oleh anak-anak kolektor, atau marketing yang punya urusan dengan mereka. Ada yang minta list tagihan, ada yang lapor giro, ada yang minta materai. Pokonya macam-macam. Sora senang karena tidak harus fokus pada kesedihannya. Ada saja obrolan yang membuat hatinya terhibur.
"Jadi ya, Bu. Itu bapak penjual nasgor kabur gitu aja, padahal saya belum bayar nasi gorengnya."
"Ha-ha-ha-ha!!" tawa Sora dan Kayla pecah mendengar cerita lucu dari Setno, salah seorang kolektor yang sedang menunggu kwitansi dari Axel. Laki-laki itu bercerita tentang kejadian tadi malam, saat dia makan nasi goreng di penjual gerobakan.
Ceritanya, dari awal si Setno sudah lihat si bapaknya mengantongi handie talkie, alias HT. Sudah curiga kalau beliau adalah intel yang sedang menyamar seperti yang sedang viral sekarang. Saat Setno sedang asyik makan, tiba-tiba saja bapak itu beres-beres gerobaknya dan meninggalkan dia.
Walau sudah dipanggil dengan suara yang sangat kencang, bapaknya tidak menoleh lagi, malah jalan terus. Padahal piring dan tempat duduknya masih dipakai sama Setno. Saat Setno bertanya kepada orang-orang, katanya target bapaknya sudah bergerak dan mau tidak mau dia harus ikut bergerak.
Meskipun itu hanya candaan, Sora tetap terbahak membayangkan si bapak benar-benar seorang intel. Perempuan itu memegangi perutnya yang mulai sakit. Baginya ini sangat lucu mengingat akhir-akhir ini dia hanya menangis setiap waktu.
"Trus, piring dan kursinya Bapak kemanain?" Rupanya Kayla penasaran akan kelanjutannya.
"Ya gue bawa pulang lah! Mayan nambah-nambah piring dan kursi di rumah."
"HUAHAHAHAHAHAA!!" Sora semakin kehilangan kendali. Perutnya terasa diobok-obok oleh candaan itu. Suara tawanya sampai menghilang sesaat sebelum akhirnya terdengar lagi.
"Ishh, si Ibu ketawa sampai nangis. Lucu banget ya, Bu?" Setno ikut tertawa melihat kedua mata Sora yang menyipit, tapi sudah menggenang.
Sora out of control. Tanpa sadar dia bertelungkup di atas meja dan menangis sesenggukan. Masih sambil tertawa kecil seperti orang stress. Yang tadinya orang-orang mengira dia hanya tertawa berlebihan, kini sadar kalau dia sedang menangis.
"Loh beneran nangis, Bu? Eh, saya salah ngomong ya, Bu?" Setno jadi tidak enak hati. Wajahnya berubah gusar saat menghampiri meja perempuan itu. Begitupun beberapa anak marketing yang jadi tertarik mendekati meja Sye. Axel, Jo, Julian dan Kayla langsung paham apa yang sedang terjadi.
Ya, sudah pasti Tama juga. Laki-laki itu melihat ke depan dengan sikap cool-nya seperti biasa. Tidak bisa berbuat apa-apa meski hatinya ikut meronta-ronta melihat perempuan itu harus menangis seperti ini. Bawaannya ingin memeluk Sora sekarang juga. Apakah sesakit itu mencintai dalam diam? Sudah pasti, karena Tama juga merasakannya.
Kayla berinisiatif mendatangi Sora untuk mengusap punggung sang sahabat. Diambilnya beberapa helai tisu dan dia dekatkan ke tangan perempuan itu. Mungkin Sora langsung tersadar dibuatnya. Cepat-cepat dia menggenggam benda tipis itu dan meng-cover wajahnya yang sudah basah kuyup.
'Sora bodoh!! Bisa-bisanya nangis di depan Tama! Oh Tuhan, Sora!' Gadis itu memaki dirinya sendiri. Tama pasti tau alasan dia menangis. Dan bisa-bisa pria itu akan menertawai Sora yang selama ini berpura-pura tegar.
"Bu, maaf ya, Bu, kalau saya ada salah ngomong." Setno masih berusaha meminta maaf. Masih mengira kalau dia sudah berbuat salah.
"Duh, Pak Set ...." Kepala Sora sudah kembali tegak. Tangannya membersihkan wajah sambil tertawa kecil. "Udah deh, Pak Setno pindah ke tim saya aja. Saya butuh banget joke-joke begitu tiap pagi. Biar hari-hari saya berwarna, Pak."
"Eh, beneran, Bu? Saya kira saya ada salah, Bu. Soalnya Ibu sampai sesenggukan gitu."
"Habisnya lucu aja ngebayangin Pak Setno makan sendirian ditinggal gerobak. Ah udah ah, sakit perut. Makasih udah menghibur saya, Pak Set." Sora memilih untuk segera mengakhiri lelucon itu sebelum dia semakin malu. Akhirnya perhatiannya kembali ke lembaran-lembaran yang ada di hadapannya. Yang sedikit basah karna terkena tumpahan air matanya.
Sebuah botol air mineral tiba-tiba menempel di pipinya. Kedua bahu Sora bergendik karena dingin. Sekalian dia menoleh ke sebelah kanan. Itu adalah Julian.
"Lain kali kalau ketawa itu bagi-bagi. Biar lo nggak capek sendiri," canda Julian yang kini menyodorkan botol tersebut kepada Sora.
"Thank's, Jul." Sora menerimanya dengan senang hati. Dia memang membutuhkan ini. Dia sangat kehausan, seperti sudah tidak minum selama berhari-hari.
"Udah, udah, balik kerja semuanya." Tiba-tiba si bos memberi perintah. Dia tidak suka melihat interaksi Julian dan Sora. Membuat matanya dan hatinya semakin sakit saja.
***