Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melati
Pagi baru saja datang. Namun sinar matahari tak mampu menghangatkan pondok kecil itu. Aroma sisa-sisa kegelapan dan darah masih menggantung di udara. Dimas duduk memeluk kakaknya Dara yang masih pucat. Mata mereka sama-sama lelah, namun semua kini sudah aman.
Lestari duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Arman yang kini terbaring dengan luka parah di punggungnya. Tubuh laki-laki itu menggigil, peluh membasahi dahinya.
" Mas Arman… bertahanlah, tolong," bisiknya lirih
Arman membuka mata perlahan. "Apa Dara anak kita… dia selamat?"
Lestari mengangguk, air matanya mengalir. "Dia selamat. Berkat kamu. Berkat Melati…"
Nama itu membuat keduanya terdiam.
Tak ada jasad. Tak ada kepastian. Hanya liontin yang pecah dan abu yang perlahan terbawa angin dari dalam gua. Mungkinkah Melati benar-benar pergi? Atau… hanya berpindah bentuk?
Semalam setelah semua itu selesai dan Melati yang tiba-tiba menghilang, Lestari dengan sekuat tenaga memindahkan Dara dan Arman secara bergantian meninggalkan gua itu. Dan membawa mobil mereka menjauhi tempat itu. Beruntung sekali mereka masih bisa selamat dari makhluk-makhluk seperti mereka, jika tidak, mungkin sekarang mereka berada dialam lain.
Bu Nurul yang duduk di beranda menyiramkan air doa dan garam laut ke pojok-pojok rumah. Tapi dari raut wajahnya, ada sesuatu yang masih ia rasakan… sesuatu yang belum selesai.
Sore harinya, langit kembali kelabu. Awan menggantung berat seakan menunggu sesuatu jatuh dari langit. tapi itu bukan hujan, entah apa.
"Bu Nurul, kenapa aku merasa… semuanya belum benar-benar berakhir?" tanya Lestari sambil menatap ke cakrawala.
Perempuan tua itu menatapnya tajam. "Karena satu hal belum dituntaskan."
"Apa?"
"Perjanjian."
Lestari memalingkan wajah. "Perjanjian Melati sudah berakhir kan? Dia mengorbankan dirinya."
"Tapi darah yang dibayar bukan darah dari garis yang pertama membuat janji."
Lestari mengerutkan dahi.
Bu Nurul berbisik, "Kamu tahu kenapa Melati bisa begitu kuat, meski hanya istri muda? Karena dia bagian dari Keturunan seseorang yang pernah bersekutu dengan mereka. Dan Arman… Arman adalah darah laki-laki pertama yang diberi janji. Dan ia belum membayar apa-apa kepada penjaganya. "
Lestari menoleh cepat. "Arman? Tapi… dia adalah korban obsesi Melati. Melati menginginkannya hingga melakukan berbagai cara untuk mendapatkan Arman. "
"Bukan itu. Bukan penderitaan. Yang diminta bukan rasa. Yang dia minta… adalah nyawa."
Lestari terdiam mendengar ucapan bu Nurul, Lestari masih bingung dengan ucapan guru ngajinya itu. Tapi satu hal yang dia tau. Kalau ini masih belum selesai.
Malam kembali datang. Keadaan Arman mulai memburuk.
Tubuhnya menggigil hebat, matanya berputar, dan dari bibirnya keluar suara-suara asing. Dara yang melihat keadaan ayahnya ikut menangis, sedangkan Dimas tak berani mendekat.
Lestari duduk di samping ranjang, membaca ayat kursi berkali-kali, tapi sesuatu dalam diri Arman terus memberontak. Matanya mendadak menjadi gelap, pupilnya menghilang.
Dari dadanya, terdengar suara, bukan suara Arman, tapi seperti gema makhluk purba.
"Kami datang menagih. Ia yang membuat perjanjian untuk mencintai cucuku, tapi dia sudah mengingkarinya dan kembali padamu. Sekarang nyawanya adalah harga terakhir yang harus dia bayar."
Tiba-tiba tubuh Arman melayang beberapa sentimeter dari ranjang. Udara di sekelilingnya membeku. Lampu minyak padam.
Lestari berteriak, "Tidak! Kalian tak bisa ambil dia! Dia bukan milik kalian!"
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau mau menukar?"
Semua diam. Waktu seakan berhenti.
"Apa?"
"Kau… wanita kuat. Penuh cahaya. Jika kau mau ikut bersamaku, Aku akan lepaskan dia."
Bu Nurul mencoba berdiri, tapi Lestari sudah berdiri lebih dulu. Wajahnya pucat, ada sirat ketakutan disana, tapi sorot matanya teguh.
"Apa yang akan terjadi jika aku yang pergi?"
"Kami akan membawamu. Dan darah suamimu juga anak-anakmu tak akan aku sentuh lagi. Perjanjian dianggap lunas."
Suasana membeku.
"Tidak!" teriak Dara. "Bunda jangan!"
Dimas berlari dan memeluknya dari belakang. "Bunda jangan pergi…"
Arman, yang sempat sadar sesaat dan memgambil alih tubuhnya menggeleng lemah.
"Jangan… Lestari… kamu tidak boleh…kamu masih punya anak yang harus kamu jaga. Biarkan aku saja, Aku akan bertanggung jawab atas semua yang sudah aku lakukan. Maafkan aku. "
Lestari tidak menjawab dan hanya menatap mereka satu per satu, mengusap rambut anak-anaknya dengan lembut, dan berbisik,
"Kalau ini harus jadi akhir bunda… biarlah bunda pergi dengan membawa damai untuk kalian semua."
Ia melepaskan pelukan Dimas dan melepaskan usapan tangannya dari kepala anak-anaknya dan melangkah maju. Bayangan hitam muncul dari belakang dinding. Melingkar. Menyambutnya.
Tiba-tiba, suara keras terdengar.
"JANGAN!"
Semua menoleh. Di ambang pintu… disana berdiri Melati.
Wajahnya pucat, tubuhnya tampak seperti bayangan, namun matanya jelas-jelas masih hidup.
"Bukan kau yang harus pergi, Lestari," katanya lirih.
"Maksudmu…?"
Melati menatap Arman, lalu anak-anak itu.
"Aku belum benar-benar mati. Aku terikat antara dunia karena perjanjian itu. Tapi aku… bisa memilih. Dan malam ini, aku memilih mengakhirinya."
Bayangan hitam mulai bergerak menuju Melati. "Kau tidak berhak memberi pilihan. Kau sudah milik kami."
Melati tersenyum kecil, menyentuh liontin yang masih setengah utuh di lehernya.
"Kalian pikir aku takut? Aku hanya perempuan biasa yang terobsesi pada seorang pria. Tapi mereka, mereka memiliki cinta… cinta yang sudah membuatku sada dan sekarang membuatku ingin menyelamatkan mereka, meski harus lenyap untuk selamanya."
Bayangan itu terlihat marah dan mulai melilit tubuh Melati. Dan perlahan menghilang.
Tapi sebelum lenyap, Melati menatap Lestari dan berkata,
"Jagalah mereka. Arman mencintaimu… sejak dulu. Aku hanya bayang-bayang yang mencoba jadi cahaya. Maafkan aku, sudah mengganggu cinta diantara kalian. "
Lestari hanya bisa menangis. Tak mampu berkata apa-apa.
Melati menutup matanya, dan dengan senyuman kecil…
Ia lenyap tak bersisa
Dan bersamanya… suara dari kegelapan pun sirna.
Arman terjatuh kembali ke ranjang, dan meraung kesakitan karena lukanya belum sembuh dan kembali menganga. Lampu menyala. Udara terasa ringan. Anak-anak menangis dan memeluk ayah dan ibu mereka. Lestari tersungkur, tak mampu berdiri.
Bu Nurul yang sejak tadi diam melihat yang terjadi menatap langit dari jendela. Langit sudah terlihat cerah dan normal tanpa ada kegelapan yang menutupi.
"Hutang telah lunas, Bukannya aku tidak mau menolong kalian. Tapi aku tau, wanita itu akan datang untuk membayar semua yang sudah dia lakukan kepada kalian. " gumamnya.
Namun di luar pondok, di tanah berlumut dekat sumur tua…
Tiba-tiba Seekor burung gagak hitam hinggap di atas batu nisan tak bernama.
Ia menatap ke arah pondok.
Dan bersuara… bukan seperti burung biasa, tapi seperti manusia yang tertahan dalam tubuh burung itu.