Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Cahaya mentari pagi menerobos jendela besar butik kecil itu, memantul lembut di permukaan lantai marmer yang bersih. Aluna berdiri di depan cermin panjang, memandangi pantulan dirinya yang kini tampak berbeda—bukan lagi gadis suram dengan luka masa lalu, melainkan wanita muda dengan senyum penuh percaya diri dan langkah yang pasti.
Sudah hampir tiga bulan sejak butik kecilnya dibuka. Dan siapa sangka, dalam kurun waktu sesingkat itu, desain-desainnya yang sederhana namun penuh sentuhan rasa berhasil mencuri perhatian publik. Berawal dari unggahan seorang influencer yang membeli satu dari koleksi pertamanya, dunia mode mendadak membicarakan nama Aluna.
Tak butuh waktu lama hingga produser acara televisi fashion mengundangnya ke layar kaca. Dalam balutan busana hasil rancangannya sendiri, Aluna duduk di panggung talk show malam itu, disambut tepuk tangan riuh dan tatapan penuh kekaguman.
"Aluna Kirana," ucap sang host dengan suara antusias, "desainer muda berbakat yang tak hanya menciptakan karya indah, tapi juga kisah hidup yang menginspirasi."
Wajah Aluna sempat memerah, tapi senyum yang merekah di bibirnya mengalir begitu alami. Tak pernah ia bayangkan, gadis yang dulu diremehkan oleh keluarga angkatnya itu kini duduk di panggung, disaksikan jutaan mata yang terpesona.
Dan hari itu menjadi permulaan dari segalanya.
Pakaian-pakaian hasil rancangannya laku keras, butik kecilnya kewalahan melayani pesanan, dan namanya semakin melambung. Dari hasil keuntungannya, Aluna berhasil membeli rumah impiannya—sebuah hunian dua lantai berarsitektur modern dengan taman kecil yang ia desain sendiri. Namun, satu hal yang tak pernah ia lupakan adalah Zayyan. Pria itu adalah jantung dari setiap langkahnya.
Dengan tangannya sendiri, Aluna mengembalikan semua uang yang Zayyan keluarkan untuknya. Bukan karena ia ingin menciptakan jarak, tapi karena ia ingin setara. Ingin berdiri di sisinya tanpa utang budi.
Namun, jauh dari sorotan kamera, diam-diam ada mata yang memperhatikannya. Di sebuah kediaman mewah bernama Pradipta Residence, kedua orang tua Zayyan duduk berhadapan di ruang kerja dengan ekspresi serius.
"Namanya Aluna," ucap sang ibu sambil memperbesar gambar di tablet. Terlihat jelas di sana, foto-foto Zayyan dan Aluna di butik, di panggung fashion show, bahkan saat mereka tertawa bersama di acara off air televisi.
"Gadis itu terlalu sering muncul bersama Zayyan," sambung sang ayah dengan nada datar. "Aku tidak suka Zayyan kembali memilih seorang wanita yang status dan derajatnya tidak setara dengan kita."
Tanpa sepengetahuan Zayyan, keduanya menyelidiki latar belakang Aluna. Mereka memanfaatkan koneksi lama untuk menggali informasi, dan beberapa hari kemudian, mereka mengirimkan seluruh hasilnya—termasuk foto-foto Aluna dan Zayyan—ke kantor tempat Zayyan bekerja di pemadam kebakaran.
Paket itu tiba di meja loker pagi hari, dibuka oleh salah satu rekan kerja Zayyan yang penasaran. Seketika, berita menyebar cepat di lingkungan kerja. Beberapa senior mulai bergosip, bertanya, menggoda dengan nada sinis yang disamarkan dalam canda.
Zayyan pulang malam itu dengan tatapan matanya yang gelap oleh amarah. Rahangnya mengeras, napasnya berat, dan tangan kanannya mengepal sejak ia melihat foto-foto itu tersebar di ruang istirahat petugas. Bukan karena ia malu. Tapi karena ia tahu, jika kedua orang tuanya sudah mulai bergerak, maka yang mereka incar bukan sekadar menjauhkan, tapi menghancurkan.
Tanpa pikir panjang, Zayyan mengendarai mobilnya menuju Pradipta Residence. Malam itu sunyi, tapi dalam dirinya bergemuruh badai yang tak bisa ditenangkan. Begitu memasuki gerbang rumah besar itu, ia langsung disambut tatapan kaget ibunya.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/