Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 23
“Siapa dia? Sepertinya aku pernah melihatnya. Apa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya?” tanya Dion.
Ethan mengangguk pelan. “Waktu kamu mengadakan perjamuan ulang tahunmu, ada seorang wanita yang menarik perhatianmu…”
“Perjamuan? Wanita?” Dion mengerutkan kening, mencoba mengingat. Lalu matanya membesar. “Ah, iya! Aku ingat sekarang. Dia wanita yang berdiri di belakang manajer Hendra… Namanya… Ir… Irish apa?”
“Irish,” jawab Ethan tanpa ekspresi.
“Ya, ya, Irish!” Dion tersenyum kecil, lalu menghela napas. “Dia memang wanita yang menawan. Waktu itu saja aku sudah terpesona. Tapi hari ini... dia bahkan lebih mengejutkan.”
Ia menatap ke arah catwalk yang sudah sepi, seolah jejak langkah wanita itu masih tertinggal di sana. “Tapi dia benar-benar wanita yang sangat cantik?” gumamnya serius.
Ethan yang semula memasang wajah tegas, perlahan terlihat sedikit lebih santai. Selama Dion tidak serius mengejar Irish, ia tidak akan mencampuri urusan itu.
“Ethan, kita ke sini untuk lihat pamerankan, kan? Ayo kita lihat jamuan mereka juga. Aku ingin bicara dengan Erick dari Apparel mode. Lagipula Erick sudah baik-baik meminta Kirana untuk memakai desainnya… tapi dia malah menolak. Sungguh menyebalkan.” Dion mendengus, tapi kemudian kembali tenang dan mengajak Ethan dengan antusias.
“Baiklah,” sahut Ethan singkat setelah berpikir sejenak.
Mereka pun mulai berjalan menuju area jamuan.
“Oh iya, Ethan,” ujar Dion sambil melirik ke arah Ethan, “Kamu suka gaun yang mana di pameran kali ini? Siapa tahu bisa kamu hadiahkan untuk istri mu.”
“Tidak ada,” jawab Ethan singkat. Kehadiran Irish hari ini telah mengacaukan semua rencananya. Sejak ia melihat wanita itu melangkah di atas catwalk, matanya tak pernah berpaling.
Dion mengangkat bahu. “Kalau aku sih suka gaun Sang Kupu yang dipakai Nona Irish. Cantik sekali. Tapi entah apakah Erick rela melepasnya.”
Mereka terus mengobrol santai sambil berjalan ke arah jamuan.
Sementara itu, Irish telah menyelesaikan penampilannya di atas catwalk dan kembali ke belakang panggung bersama para model lainnya.
Meskipun gaya jalannya belum sempurna dan senyumnya kurang menonjol, pesona gaun Sang Kupu di tubuhnya yang dipadukan dengan anting karang pilihan Erick, serta aura unik yang dimiliki Irish sendiri, mampu menutupi semua kekurangannya.
Begitu tiba di belakang panggung, sekelompok model langsung mengerubunginya.
“Hei, orang baru! Apa hubunganmu dengan Pak Erick?”
“Kamu pakai cara apa sampai bisa menggantikan Kirana?”
“Nona, aku mau berteman, bisikkan sedikit info soal Pak Erick, dong.”
“Gaun Sang Kupu itu luar biasa indah. Coba aku yang memakainya, pasti lebih cocok!”
Rentetan ucapan itu terus berdatangan, membuat telinga Irish terasa sakit. Tapi ia terlalu lelah untuk merespons. Berjalan di atas catwalk dengan gaun indah itu benar-benar menguras tenaganya. Bahkan ia sendiri belum bisa mencerna kenyataan bahwa ia baru saja “menjadi model.”
“Tutup mulut kalian!” bentak seorang wanita dengan suara nyaring. Wanita yang sama dengan yang sempat ditemui Irish di pintu masuk ruang pameran.
Sekelompok model itu langsung terdiam dan kembali ke urusan masing-masing.
Melihat penampilannya yang dominan dan tatapan tajamnya, Irish langsung menyimpulkan. wanita ini pasti bos para model.
Wanita itu berjalan mendekat dan memandangi Irish dari ujung kepala hingga kaki, tubuh proporsional, wajah oval tanpa jejak operasi plastik, dan sepasang mata berbentuk persik yang memikat.
Namun, bukan itu yang membuatnya penasaran. Sebagai desainer ternama, Erick telah bertemu banyak wanita cantik. Apa yang membuat wanita ini berbeda?
Ia kembali menatap Irish dengan lebih tajam.
Irish merasa canggung. Ia mengangguk sopan. “Ha… halo.”
Wanita itu mengangkat alis, lalu mengusap kukunya dan berkata, “Namaku Lila. Siapa namamu?”
Irish tak menyukai sikap Lila yang arogan, tapi ia tetap menjaga sikap. “Halo, Bu Lila. Namaku Irish.”
Melihat senyum sopan Irish, Lila menyerahkan sebuah kotak brokat padanya dan berkata dengan nada ambigu, “Ganti dengan gaun ini. Pak Erick ingin kamu ikut ke wawancara nanti dan jamuan makan.”
Selesai berkata demikian, Lila berbalik dan pergi meninggalkan Irish yang terpaku, masih bingung dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Saat keluar dari balik panggung, Lila melihat Erick berdiri tak jauh dari sana.
“Pak Erick kita ini, akhirnya punya pacar juga, ya?” godanya sambil menyalakan rokok.
“Irish bukan pacarku,” jawab Erick dengan kening berkerut. Ia tahu Lila jarang merokok di depannya.
“Bukan?” Lila meniupkan asap, lalu menatapnya dengan senyum samar. “Menurutku kalian sebentar lagi akan jadi pasangan.”
Erick tak menjawab, hanya memandang ke arah ruang ganti, tempat Irish ragu-ragu berdiri sambil memegang kotak brokat.
Saat akhirnya Irish melangkah masuk ke ruang ganti, Erick tersenyum tipis.
Ia harus mengakui, sejak Irish mengenakan gaun Sang Kupu itu, perhatiannya tertambat padanya, dan tak bisa berpaling.
Lila memperhatikan tatapan Erick. Panjang, dalam, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Ia pun tersenyum kecut. Tatapan seperti itu... sepertinya dugaannya tak salah. Erick memang sudah jatuh hati.
Kalau begitu, bukankah sudah waktunya untuk menyerah?
Lila menghembuskan asap pelan, pikirannya melayang pada masa lalu…
Saat itu, Erick adalah pangeran sekolah, tampan, hangat, dan berasal dari keluarga terpandang. Sementara Lila hanyalah gadis bermasalah, penuh luka, dan terjebak dalam pelampiasan emosi. Ia mengulang dua tahun masa sekolah menengahnya, dan hanya tahu minum, berkelahi, melawan guru, dan mencari perhatian.
Orang tuanya kaya, tapi tidak hadir dalam hidupnya. Mereka hanya memberinya uang, bukan kasih sayang.
Demi eksistensi, Lila mencari cara agar dilihat, dengan tindakan nekat dan pelanggaran.
Erick dan Lila tak pernah punya hubungan khusus.
Hanya saja, suatu hari, saat guru menjelaskan pelajaran, Lila diam-diam membaca novel. Ketika sampai pada bagian tragis, ia refleks berkomentar, “Sialan!”
Yang membuat gurunya naik pitam.
Bersambung.........