Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23.
"mas, kamu sudah mau pergi lagi. kamu baru kembali kemarin loh, sekarang mau pergi lagi" ucap Zera yang menarik tangan suaminya agar menatap dirinya saat ini.
Juan, Suami Zera yang tadi tengah merapikan baju-bajunya di ransel melepaskan tangan Zera perlahan.
"iya aku ada kerjaan yang aku urus" jawab Juan dengan wajah datarnya.
"kerjaan apalagi bukannya sudah kamu urus di Sulawesi. Kamu nggak pengen menghabiskan waktu denganku dan anakmu" Zera merasa tak Terima kalau suaminya pergi bekerja lagi. Dia belum puas menghabiskan waktu bersama dengan sang suami.
"ku jelaskan juga kamu tidak paham, sudah tidak usah merengek. Urus anak dengan benar" ketua Juan.
"sampai kapan kamu bakal begini sih mas, aku udah bertahan dua tahun sama kamu. tapi kamu masih begini" Zera seperti kehabisan kesabaran.
Juan langsung menatap kearah Zera.
"salah sendiri kau ingin menikah denganku, jadi resikomu kalau aku begini" tukas Juan.
"aku ingin menikah denganmu karena aku hamil anakmu mas."
"yakin itu anakku hah, kau saja bilang sudah tidur denganku. tapi aku tidak merasa aku tidur denganmu" sinis Juan. Dia menatap kesal pada Zera.
"bisa-bisanya kau bilang begitu mas. Kalau aku bukan hamil anakmu lalu aku hamil dengan siapa"
"mana aku tahu kau hamil dengan siapa Zera, kau pikir aku bodoh. Aku tahu kau suka ganti-ganti pria. Tapi aku nggak nyangka juga kau bakal mengincarku yang notabennya pacar kakakmu, segitu mura.. " belum selesai dengan ucapannya Juan sudah mendapatkan pukulan dari seseorang yang membuatnya langsung tersungkur ke kasur.
"ayah.. " kaget Zera melihat ayahnya yang baru saja menonjok wajah Juan.
"berani sekali kau bicara begitu dengan putriku, dia istrimu" bentak Zulhan pada Juan.
Juan diam mendudukkan dirinya sambil mengusap pelan sudut bibirnya yang terkena tonjokan tadi.
"ayo katakan lagi, kau bicara apa pada putriku tadi" Zulhan mencengkram kerah baju Juan.
Juan menepis tangan Zulhan yang mencengkeram kerah bajunya. Dia tak perduli kalau yang di depannya saat ayah mertuanya. Wajahnya masih datar, tapi sorot matanya menyimpan kemarahan yang ia tahan.
“Aku malas ribut di rumah ini, ayah nggak usah ikut campur,” ujarnya dingin, lalu berdiri dan mengambil ranselnya. “Kalian boleh berpikir aku jahat, tapi aku juga nggak mau dipaksa bertahan di pernikahan yang hanya dilandasi kebohongan.”
“Bohongan apa?!” bentak Zulhan lagi, masih berusaha menahan amarahnya.
Juan hanya menggeleng kecil. “aku pergi. Dan tolong, jangan mencariku nanti kalau aku ingin pulang, aku pulang.”
Zera menatap Juan dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin memohon, tapi kata-kata seolah tercekat di tenggorokannya. Yang keluar hanyalah isakan pelan saat Juan melangkah keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju pintu depan.
Langkah kaki Juan terdengar menjauh, diikuti dengan bunyi pintu yang dibanting cukup keras.
Zera langsung terduduk di lantai, menangis terisak. “Kenapa dia tega, Yah? Kenapa dia selalu begini?”
Zulhan mendekat dan memeluk putrinya erat. “Sudah, Zera… kamu tidak sendiri. Ayah ada di sini. Kamu dan anakmu tidak butuh dia, apalagi kalau dia memperlakukanmu seperti sampah.”
Zera hanya menggeleng lemah, air matanya tak terbendung. Luka batin yang selama ini ia tahan seakan meledak seketika.
Zulhan mencengkeram kuat tangannya. “Kalau dia berani macam-macam lagi, biar ayah yang urus.”
Zera tak menjawab, hanya bisa menangis di pelukan ayahnya.
........................
"kamu nggak kerja mas? " tanya Zahra ragu saat berpapasan dengan Samudera yang baru saja mengambil sepatu pantofelnya dari belakang.
Samudera yang tadinya akan melewati Zahra begitu saja langsung berhenti menatap perempuan itu yang masih sedikit pucat.
"nggak, hari ini saya ijin" jawab Samudera singkat dan berjalan kearah sofa depan TV.
Zahra melihat Samudera yang berjalan duduk dan akan menyemir sepatunya. buru-buru Zahra menghampiri Samudera.
"Mas Samudera, biar aku saja yang semir sepatu mu" ucap Zahra saat sudah di depan Samudera.
"nggak usah saya bisa sendiri" tolak Samudera dan mulai mengusamkan semir nya pada sikat yang biasa ia gunakan untuk menyemir sepatu hitamnya itu.
"udah nggak pa-pa mas, aku aja" Zahra akan mengambil dari tangan Samudera.
"bisa nggak diem aja" tukas Samudera menatap dingin Zahra.
"tapi ini tugasku sebagai istri mas, aku saja yang melakukannya. "
"kau sakit, istirahat saja sana"
"aku udah enakan kok mas, mas biar aku saja" ucap Zahra terus memaksa.
Akhirnya Samudera membiarkannya saja, dia lalu melihat Zahra yang mengambil duduk agak dekat dengannya.
Samudera diam saja, dia bingung harus bicara apa.
"aku minta maaf soal kemarin ya mas, mas Samudera pasti malu karena aku" lirih Zahra merasa bersalah.
"nggak usah di pikir, sudah berlalu. lagi pula bukan salah kamu kalau kamu tiba-tiba pingsan" jawab Samudera,
"saya ingin tanya sesuatu sama kamu? " ucap Samudera tiba-tiba sehingga Zahra melihat kearah nya.
"iya mas, tanya aja"
"kamu dan Zera saudara kandung atau bukan? " tanya Samudera dan membuat Zahra sedikit terkejut.
"aku dan Zera saudara kandung mas, memang ada apa? " tanya Zahra penasaran.
"saudara kandung tapi ayah kamu kenapa memperlakukan mu seperti anak tiri" tukas Samudera terus terang.
"karena dulu Zera pernah sakit keras mas" jawab Zahra pelan.
"cihh, sakit keras. kau yakin dia pernah sakit keras. Perempuan semunafik dia, pembohong" sinis Samudera tersenyum miring.
Zahra langsung melihat kearah Samudera, dia merasa aneh dengan ucapan suaminya itu yang seperti kenal dekat dengan Zera.
"kenapa mas Samudera, bicara begitu soal Zera. kalian saling kenal? " tanya Zahra curiga.
Samudera yang tadi tersenyum sini langsung memasang wajar datar nan dingin.
"kenal darimana saya dengan adikmu" ketusnya. Samudera langsung berdiri dari duduknya saat ini.
"saya mau keluar sebentar, dan kalau ayah kamu nelpon jangan kamu angkat kalau cuman memarahimu, saya muak melihat wajah sedih mu" tukas Samudera cukup keras tapi aslinya dia perduli.
"I.. iya mas, aku.. aku juga.. sebentar kenapa mas Samudera tahu kalau ayah nelpon cuman untuk memarahiku? "
"Saya pergi dulu" bukannya menjawab Samudera malah pamit pergi. Pria itu langsung pergi meninggalkan Zahra yang duduk di ruang TV. Samudera berjalan membuka pintu depan dan keluar dari rumah dinasnya.
"kenapa mas Samudera bicara begitu, apa dia tahu kalau ayah selama ini agak kasar denganku" gumam Zahra. Dan Zahra sedikit heran saja dengan Samudera sedari kemarin sore, pria itu terlihat lebih lembut dari biasanya. Bahkan semalam pria itu kedapatan memeriksa keningnya, memastikan kalau dirinya demam atau tidak..
"ada apa sebenarnya dengan mas Samudera? " heran Zahra membatin karena sikap Samudera yang sedikit beda dari biasanya.
°°°