Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Berita Viral
Di dalam kamar yang terasa sunyi setelah riuhnya acara makan malam keluarga, Anatasya terduduk gelisah di depan meja rias. Pantulan dirinya di cermin tampak sama bingungnya dengan perasaannya saat ini.
Ucapan Damian di meja makan tadi malam terus berputar di benaknya, menimbulkan rasa penasaran dan jantung yang berdebar tak karuan. Ia menyentuh dadanya, mencoba menenangkan debaran itu, namun sia-sia.
Tiba-tiba, ketukan lembut di pintu memecah kesunyian.
Tok, tok, tok.
"Masuk!" ucap Anatasya sedikit keras, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Pintu terbuka perlahan, dan Damian muncul dengan senyum lembut di wajahnya. Di tangannya tergenggam segelas susu hangat. Ia mendekat dan menyodorkannya pada Anatasya.
"Ini untukmu," katanya pelan. "Supaya kamu bisa tidur nyenyak."
Anatasya menerima gelas itu dengan tangan sedikit gemetar. Aroma susu hangat bercampur dengan sedikit vanila menenangkan sedikit kegelisahannya. "Terima kasih," ucapnya lirih, menatap Damian sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada gelas di tangannya.
"Sama-sama," jawab Damian tulus. Ia berbalik hendak pergi keluar kamar, memberikan ruang pribadi untuk Anatasya.
"Ehhhmm, Kak," panggil Anatasya tiba-tiba, membuat langkah Damian terhenti di ambang pintu.
"Kenapa?" tanya Damian, membalikkan badannya menghadap Anatasya dengan tatapan penuh perhatian.
Anatasya menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri untuk bertanya. "Ucapanmu di meja makan, tadi malam. Apa maksudnya?" Ia menatap Damian dengan mata penuh harap dan sedikit kecemasan.
Damian tersenyum, senyum yang membuat hati Anatasya menghangat. "Ku bilang mau nembak wanita yang aku suka." Tatapannya lembut, namun intens, seolah hanya ada mereka berdua di ruangan itu.
Anatasya merasakan pipinya kembali merona. Ia tersenyum malu-malu, menundukkan kepalanya sejenak sebelum kembali menatap Damian. Ada kebahagiaan yang tak terlukiskan memenuhi hatinya.
"Tapi," ucapan Damian menggantung, nadanya berubah sedikit misterius. Ia melirik Anatasya sekilas, senyumnya kini menyimpan sedikit kejahilan. "Sekarang nggak nembak dia dulu."
Seketika, senyum di wajah Anatasya memudar. Kepalanya terangkat dengan cepat, matanya membulat karena panik. Ia beranjak dari duduknya, menghampiri Damian dengan langkah cepat. "Kenapa?" tanyanya dengan nada cemas, berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya.
Apakah Damian berubah pikiran?
Apakah ada hal lain yang membuatnya ragu?
Kegelisahan yang tadi sempat mereda kini kembali menyeruak, memenuhi seluruh benaknya.
"Karena dia belum siap," jawab Damian dengan nada tenang, namun tatapannya penuh arti saat menatap Anatasya.
"Aku siap kok," sahut Anatasya cepat, tanpa menyadari bahwa ucapannya bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda. Ia buru-buru meralat, "Maksudku, wanita itu mungkin sudah siap." Wajahnya kembali memerah menyadari kesalahannya.
Damian tersenyum semakin lebar, melihat tingkah gugup Anatasya. Ia melangkah pelan mendekat, hingga berdiri tepat di hadapan gadis itu. "Yakin?" bisiknya lembut, suaranya bergetar halus.
Anatasya menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Ia memberanikan diri menatap mata Damian. Ada kehangatan dan ketulusan di sana yang membuatnya merasa nyaman sekaligus gugup.
Tiba-tiba, Damian mengulurkan tangannya dan mengelus lembut puncak kepala Anatasya.
"Cepat tidur! Kurasa nembak itu harus lebih formal," ucapnya dengan nada menggoda, sebelum berbalik dan benar-benar meninggalkan kamar Anatasya.
Anatasya terdiam, mencerna ucapan Damian. Rasa gemas bercampur dengan penasaran membuatnya memukul-mukul pelan ranjangnya. "Aduh, kenapa aku jadi tidak sabar dan gugup begini sih? Dia itu Damian. Jangan-jangan aku memang suka dia?" Monolognya terhenti sejenak.
"Tasya, kamu baru saja cerai, sudah suka sama orang lain. Apa nggak kecepatan? Gimana kalau ditipu lagi?" bisiknya pada diri sendiri dengan nada frustrasi.
Bayangan masa lalunya yang pahit sempat menghantuinya. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir keraguan itu, lalu tanpa sadar melirik ke arah pintu yang baru saja tertutup.
Deg.
Di sana, di balik pintu yang sedikit terbuka, berdiri Damian. Anatasya mengira pria itu sudah pergi, ternyata ia masih termenung di depan pintu. Kepanikan langsung menyerbu Anatasya.
"Ka-kamu kenapa ke sini lagi?" tanyanya gugup, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Kita viral." Jawab Damian singkat, namun sukses membuat dahi Anatasya berkerut bingung.
"Hah? Kita? Cepat banget. Kamu belum nembak aku kok mereka sudah tahu?" Anatasya bertanya dengan nada tak percaya. Bagaimana bisa kabar tentang mereka menyebar begitu cepat?
"Ada yang bocor, katanya kita bersaudara berbagi wanita bersama." Ucap Damian dengan nada kesal bercampur geli.
"Ulah siapa? Adrian? Winda?" tebak Anatasya, mengingat mantan suaminya dan mantan sahabatnya yang pernah bersekongkol menyakitinya.
"Sudah ketemu!" Tiba-tiba, Rafael muncul di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit kesal namun juga menyimpan sedikit senyum kemenangan.
"Clara pelakunya. Nggak ada kaitannya dengan Adrian." Jelas Rafael.
"Nggak ada kaitannya sama Adrian?" tanya Anatasya memastikan.
"Sudah kuduga, Adrian masih mau bekerja sama dengan kita. Dia nggak akan berani macam-macam," timpal Julian yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Rafael.
"Tapi Clara, sepertinya permintaan maaf waktu itu omong kosong. Dia pasti mengira kita nggak akan berani macam-macam ke dia karena ada Paman Jerry. Clara selalu mengandalkan Ayahnya," tebak Julian dengan nada sinis.
Hening sejenak. Kemudian Damian menatap Anatasya dengan tatapan penuh keyakinan. "Kalau begitu, kita tunjukkan padanya." Ucapnya tegas, sebuah rencana mulai terbentuk di benaknya. Anatasya bisa merasakan aura berbeda dari Damian, aura yang menunjukkan keseriusan dan tekad untuk melindunginya.
Anatasya menelan ludah, merasakan jantungnya berdebar kencang mendengar ucapan tegas Damian. Ada sorot mata yang berbeda dari pria itu, bukan lagi kelembutan penuh perhatian seperti sebelumnya, melainkan tekad membara yang membuatnya merasa terlindungi.
"Tunjukkan apa?" tanya Anatasya, sedikit bingung namun juga penasaran dengan rencana Damian.
Damian tersenyum tipis, sebuah seringai kecil bermain di sudut bibirnya.
"Kita tunjukkan pada dunia, siapa kamu sebenarnya. Bukan sekadar wanita yang pernah disakiti, tapi wanita yang dicintai dan berharga." Ia melangkah mendekat, meraih tangan Anatasya dan menggenggamnya erat.
"Dan kita tunjukkan pada Clara, bahwa mengusikmu berarti berhadapan denganku dan keluargamu."
Julian dan Rafael mengangguk setuju. "Kami akan bantu Kak Damian," ucap Julian penuh semangat. "Clara pikir dia bisa seenaknya karena ada Ayahnya? Kita lihat saja nanti."
Rafael menambahkan, "Lagipula, sudah saatnya kita membersihkan nama baik Anatasya. Gosip murahan seperti ini tidak bisa dibiarkan."
Anatasya terharu melihat dukungan dari Damian dan kedua kakaknya. Ia tidak menyangka akan secepat ini mendapatkan pembelaan. Sekali lagi dia bersyukur terlahir dari keluarga ini. Betapa bodohnya ia dulu mencari kebahagiaan di luar padahal kebahagiaan yang sebenarnya adalah bersama keluarga nya di sini. Rasa hangat menjalari hatinya, mengalahkan sisa-sisa luka dari masa lalunya.
"Tapi, bagaimana caranya?" tanya Anatasya, masih merasa sedikit ragu.
"Besok malam ada acara amal yang diadakan oleh yayasan keluarga kita," jawab Damian. "Kita akan datang bersama. Kamu akan berdiri di sampingku, dan semua orang akan tahu siapa wanita yang ada di hatiku."
Anatasya terkejut. Acara amal itu adalah acara besar yang dihadiri oleh banyak tokoh penting dan media.
Menampakkan diri di sana bersama Damian berarti mengumumkan hubungan mereka secara terbuka kepada publik. Ada rasa gugup, namun juga ada keyakinan yang tumbuh dalam dirinya.
"Apa kamu yakin?" tanya Anatasya, menatap mata Damian dengan penuh harap.
"Sangat yakin," jawab Damian tanpa ragu.
"Aku ingin semua orang tahu, kamu adalah wanita yang pantas mendapatkan kebahagiaan dan kehormatan." Ia mengangkat tangan Anatasya dan mengecup punggung tangannya lembut.
"Dan aku akan memastikan tidak ada seorang pun yang berani menyakitimu lagi."
Malam itu, di bawah rembulan yang bersinar samar, Anatasya merasa sebuah babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai. Bukan lagi babak tentang kesedihan dan pengkhianatan, melainkan babak tentang cinta, dukungan, dan keberanian untuk menghadapi masa depan. Di sampingnya, Damian berdiri tegak, menjadi pelindungnya, dan Anatasya tahu, ia tidak lagi sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...