Mahesa Sura yang telah menunggu puluhan tahun untuk membalas dendam, dengan cepat mengayunkan pedang nya ke leher Kebo Panoleh. Dendam kesumat puluhan tahun yang ia simpan puluhan tahun akhirnya terselesaikan dengan terpenggalnya kepala Kebo Panoleh, kepala gerombolan perampok yang sangat meresahkan wilayah Keling.
Sebagai pendekar yang dibesarkan oleh beberapa dedengkot golongan hitam, Mahesa Sura menguasai kemampuan beladiri tinggi. Karena hal itu pula, perangai Mahesa Sura benar-benar buas dan sadis. Ia tak segan-segan menghabisi musuh yang ia anggap membahayakan keselamatan orang banyak.
Berbekal sepucuk nawala dan secarik kain merah bersulam benang emas, Mahesa Sura berpetualang mencari keberadaan orang tuanya ditemani oleh Tunggak yang setia mengikutinya. Berbagai permasalahan menghadang langkah Mahesa Sura, termasuk masalah cinta Rara Larasati putri dari Bhre Lodaya.
Bagaimana kisah Mahesa Sura menemukan keberadaan orang tuanya sekaligus membalas dendamnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Iblis Wulung
Tanpa mempedulikan perasaan Putri Rara Larasati, Tunggak meninggalkan beranda balai tamu kehormatan Istana Lodaya untuk beristirahat di tempatnya. Perut nya yang penuh dengan banyak makanan membuat matanya sulit untuk terbuka. Dia ingin secepatnya rebahan di atas peraduan hangatnya.
Sementara Putri Rara Larasati masih berkutat dengan sejuta pikiran nya, Mahesa Sura datang dari arah depan. Saking sibuknya berpikir, Rara Larasati sampai tidak menyadari kehadiran pemuda berbaju wulung itu.
"Putri Larasati, kenapa kau disini? "
Suara berat Mahesa Sura sontak membuyarkan segala lamunan putri raja Lodaya itu. Untuk menutupi kekagetan nya, dia mencoba untuk tersenyum.
"Oh eh Kakang Sura, ba-baru darimana? Kok baru kelihatan", Rara Larasati gagap berbicara.
" Dari penjara. Murid Dewi Upas itu belum mengatakan dimana guru nya berada jadi aku perlu menanyai nya langsung ", jawab Mahesa Sura jujur.
" Ah yang benar? Kata Paman Tumenggung Dandang Pengaron, perempuan itu cukup cantik. Apa sebenarnya kakang tertarik dengan nya?", kembali pertanyaan penuh selidik terdengar dari mulut sang putri Lodaya.
"Aku tidak tertarik pada perempuan seperti itu. Apalagi perempuan yang ada hubungannya dengan masa lalu guru-guru ku. Aku hanya ingin segera membalaskan dendam mereka sebelum mulai mencari tahu keberadaan orang tua kandung ku", tegas Mahesa Sura.
" Kalau aku bagaimana? Menarik tidak? "
Mendengar pertanyaan Rara Larasati, Mahesa Sura langsung teringat akan omongan guru nya sewaktu berguru di Lembah Embun Upas. 'Perempuan itu butuh pengakuan, butuh dipuja. Kelak jika kau bertemu dengan seorang perempuan yang meminta pengakuan dari mu, berhati-hatilah. Apalagi jika perempuan itu punya kuasa, sebaiknya kau lebih berhati-hati lagi. Sebab perempuan itu bicara pakai perasaan, bukan pakai isi kepala', ucapan Nini Rengganis terngiang-ngiang di dalam pikiran Mahesa Sura.
"Cantik dan menarik. Lelaki manapun pasti akan suka dengan mu, Putri Rara Larasati", jawab Mahesa Sura meskipun tanpa senyuman tetapi hati Rara Larasati langsung berbunga-bunga.
" Kalau Kakang Sura tertarik tidak pada ku? ", lanjut Rara Larasati kemudian.
'Brengsek! Apa maunya perempuan ini sebenarnya? Kenapa terus memberondong ku dengan pertanyaan sulit seperti ini? Oh Dewa, aku harus menjawab apa? ', batin Mahesa Sura. Melihat lelaki muda itu diam, Rara Larasati kembali bersuara.
"Kenapa diam? Kakang Sura tidak menyukai ku?! ", ada nada tinggi dalam pertanyaan terakhir. Jelas terlihat bahwa Rara Larasati mulai tidak senang dengan sikap diam sang Iblis Wulung.
" Gusti Putri jangan salah paham dulu. Begini Gusti Putri Rara Larasati, tolong dengar penjelasan ku baik-baik ya...
Gusti Putri itu anak raja, anak bangsawan. Saya hanya seorang pendekar kleyang kabur kanginan yang bukan siapa-siapa. Lantas dengan apa saya bisa pantas menyukai anak seorang raja? Perbedaan derajat kita terlalu jauh dan saya tidak suka jika orang bicara nanti mengatakan bahwa saya hanyalah seorang kodok yang ingin makan daging angsa. Mohon Gusti Putri Rara Larasati mengerti apa yang saya utarakan ", jawab Mahesa Sura dengan bijak.
" Tapi aku bukanlah orang yang melihat hal seperti itu, Kakang Sura.. ", Rara Larasati kembali berbicara.
" Saya tahu itu Gusti Putri. Sangat amat tahu. Tetapi apakah orang lain akan memahami nya juga? Apakah mereka juga memandang semua manusia itu sama derajatnya? Tidak bukan?
Karena itu, sebelum semuanya menjadi tidak terkendali, lebih baik saya mendinginkan hati saya agar tidak merepotkan orang lain di kemudian hari", pungkas Mahesa Sura segera.
"Tapi aku... "
"Gusti Putri, sudah malam waktunya untuk kita beristirahat. Lebih baik Gusti Putri segera kembali ke Keputren. Tak baik jika ada seorang gadis bersama dengan seorang lelaki di malam hari dalam pandangan orang lain. Monggo silahkan.. "
Rara Larasati menghela nafas berat sebelum menatap ke arah Mahesa Sura. Semua yang dikatakan oleh Si Iblis Wulung ini tidak ada yang salah tetapi hatinya yang menyukai pendekar muda itu juga tidak mau kompromi. Maka segera Rara Larasati menarik tubuh Mahesa Sura dan mencium pipinya. Setelah itu ia langsung berlari meninggalkan tempat itu.
Kejadian itu berlangsung dengan cepat hingga Mahesa Sura yang puluhan tahun tidak merasakan sesuatu dalam hatinya langsung berdebar kencang. Dia menoleh ke arah ujung lorong dimana Rara Larasati sudah hilang di balik dinding.
Malam itu menjadi malam panjang untuk Mahesa Sura maupun Putri Rara Larasati. Keduanya tak bisa memejamkan mata barang sekejap saja, terpaku pada kejadian yang terjadi tadi. Masing-masing memiliki pikiran mereka sendiri yang membuat mereka baru bisa tertidur saat pagi hampir saja tiba.
*****
Berita kekalahan pasukan pemberontak Singhakerta dengan cepat menyebar luas ke pelbagai penjuru Kemaharajaan Majapahit. Selain karena keberhasilan itu merupakan sebuah prestasi besar Lodaya dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayahnya, juga memunculkan nama Si Iblis Wulung yang membantu pasukan Lodaya meraih kemenangan.
Dan akhirnya berita itu akhirnya sampai di telinga Pusparini yang menguping pembicaraan para pedagang yang baru saja pulang dari Lodaya. Meskipun tidak begitu yakin bahwa Si Iblis Wulung yang dibicarakan oleh para pedagang itu adalah orang yang sama dengan pembunuh Gagak Rimang dan Jalak Aren, tetapi ia juga telah merasa buntu untuk menemukan keberadaan orang itu di wilayah Keling karena tak juga menemukan jejak keberadaan nya.
Siang itu kebetulan keempat saudara seperguruannya yakni Mahesa Panggung, Banyak Cemeng, Arya Langkir dan Kuda Sembrani sedang berkumpul bersama setelah hampir satu purnama menyisir wilayah Keling tetapi tidak juga menemukan orang yang mereka cari.
"Saudara seperguruan sekalian, aku punya kabar penting untuk kalian.. "
Mendengar omongan Pusparini, keempat lelaki muda itu langsung berhenti bicara dan menoleh ke arah saudari seperguruan mereka. Mahesa Panggung yang paling tua diantara mereka berempat langsung angkat bicara.
"Berita apa yang kau bawa, Rini? ", Pusparini menghela nafas sejenak mendengar pertanyaan saudara seperguruan tertuanya itu.
"Baru saja aku mendengar dari para pedagang yang pulang dari Lodaya bahwa muncul seorang pendekar muda berbaju wulung yang memiliki kemampuan beladiri tinggi. Dia juga memiliki jurus cakaran mengerikan seperti yang dimiliki oleh orang yang membunuh Kakang Gagak Rimang dan Jalak Aren. Meskipun aku tidak begitu yakin bahwa mereka orang yang sama, tidak ada salahnya jika kita menemuinya", kata Pusparini penuh keyakinan.
Hemmmmmmmmmmm....
"Omongan Rini ada benarnya juga Kakang sekalian. Lagipula kita sudah mencari ke seluruh wilayah Keling ini selama hampir satu purnama toh juga tidak menemukan nya bukan?
Jadi menurutku sebaiknya kita ke Lodaya saja" , timpal Banyak Cemeng segera.
"Aku juga sepakat. Aku ingin secepatnya pulang ke Padepokan Gunung Lawu. Semakin cepat kita menemukan orang itu maka akan semakin baik", sambung Arya Langkir yang membuat Mahesa Panggung dan Kuda Sembrani manggut-manggut setuju.
Maka hari itu juga mereka para murid Padepokan Gunung Lawu langsung meninggalkan wilayah Keling menuju ke arah Lodaya. Keinginan untuk menyelesaikan tugas dari Maharesi Jaladara secepat mungkin menjadi pemompa semangat mereka mengejar keberadaan pembunuh dua orang saudara seperguruan mereka.
Setelah menyeberangi Sungai Kapulungan yang menjadi batas alam antara Keling dan Lodaya, kelima murid Padepokan Gunung Lawu itu segera memacu kudanya ke arah timur. Tujuannya hanya satu, sampai di kotaraja Lodaya dan menemukan..
Si Iblis Wulung.