Berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus tak membuat Mario Ericsson Navio kewalahan. Istrinya pergi meninggalkan dirinya dengan bayi yang baru saja dilahirkan. Bayi mereka ditinggalkan sendirian di ruang rawat istrinya hingga membuat putrinya yang baru lahir mengalami kesulitan bernapas karena alergi dingin.
Tidak ada tabungan, tidak ada pilihan lain, Mario memutuskan pilihannya dengan menjual rumah tempat tinggal dia dan istrinya, lalu menggunakan uang hasil penjualan untuk memulai kehidupan baru bersama putri semata wayang dan kedua orang tuanya.
Tak disangka, perjalanannya dalam mengasuh putri semata wayangnya membuat Mario bertemu dengan Marsha, wanita yang memilih keluar dari rumah karena dipaksa menikah oleh papinya.
“ Putrimu sangat cantik, rugi sekali pabriknya menghilang tanpa jejak. Limited edition ini,” - Marsha.
“Kamu mau jadi pengganti pabrik yang hilang?”
Cinta tak terduga ! Jangan lupa mampir !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taman kecil
Sore harinya, Maureen dan Vion tengah berjalan kaki menuju taman kecil yang tak jauh dari rumah mereka. Maureen tentu senang karena dia akan pergi bermain di taman.
“Nenek, hali ini halus dapat bunda balu ya buat ayah !”.
“Iya kalau dapat, kalau nggak gimana ?” tanya Vion geli.
Dia tak dapat menahan rasa geli dan gemasnya kepada sang cucu. Tiba-tiba saja, cucunya itu meminta bunda baru. Entah ada angin apa yang membuat cucunya begitu menginginkan bunda baru. Apa Maureen tahu artinya mencari bunda baru ?.
Setelah sampai di taman kecil, Maureen melebarkan mata dan mulutnya secara bersamaan. Dia tak menyangka jika ditaman kecil itu lebih ramai dari taman di rumah mereka yang lama.
“Lamainnaaaa… ada jajananna juga, lamai anak-anak main nenek ?”.
“Iya, dedek mau main dulu apa mau jajan ?” tanya Vion lembut. “ Kalau dedek mau main jangan capek-capek ya, nanti sesak dadanya..”
Maureen mengangguk. “ Nenek dedek mau main itu !” tunjuk Maureen ke arah jungkat jungkit kosong yang belum ada terlihat orang menaikinya. “ Tapi dedek nda punya pacanganna.. “ lirih Maureen.
“Sama nenek aja,yuk !” Maureen mengangguk.
Vion membawa Maureen ketempat permainan jungkat jungkit. Setelah Maureen duduk dengan posisi benar. Vion berjalan ke arah berlawanan dan berdiri di belakang dudukan membuat Maureen heran.
“Nenek kenapa nda duduk ? “.
“ Orang tua nggak boleh duduk nanti patah. Ini khusus untuk anak-anak,” jelas Vion.
“Sudah nenek turunin ya, dedek pegangan yang kuat,” Maureen mengangguk. Beberapa kali dia memekik girang saat tubuhnya berada diatas. Kedua kakinya menendang udara dengan suara tertawa yang lepas.
Tentu hal itu membuat Vion tersenyum senang melihat kebahagiaan cucunya. Mengingat permintaan cucunya,Vion kembali mengingat tentang Marsha.
“Nggak punya nomornya, kalau punya bisa lah buat pepetin hehe.. Semoga jodoh ketemu Marsha disini,” celetuk Vion.Entah mengapa Vion berharap bertemu Marsha di sini.
“Nenek, dedek haus..”
“Baiklah tunggu di sini, nenek akan beli minum untuk kamu !” Maureen mengangguk.
Vion berjalan meninggalkan Maureen yang masih duduk di atas jungkat jungkit. Dia bergegas cepat membeli minum. Tak lama kepergian Vion, datanglah dua anak kecil mendekati Maureen.
“Hei, turun ! Kami mau main jungkat jungkit !” usir salah satu gadis itu.
“Iya, kami mau main ini. Kamu turun !” ketus gadis kecil berambut pendek dengan wajah tak bersahabat.
“Nda mau. Dedek masih main ini..” tolak Maureen. Dia juga masih menginginkan permainan itu.
“Mau main apa, orang kamu disini sendirian ! Sudah, turun ! Kami mau main !!”.
“Ada nenekna dedek… Dedek main cama nenek..” jawab Maureen pelan.
“Alahhhh, bohong kamu ! Dari tadi kami cuma lihat kamu saja disini ! Cepat turun, atau kamu akan tahu akibatnya !” 4ncam gadis kecil itu.
Kedua gadis kecil itu terlihat seumuran dengan Barra dan Glady. Namun, kenapa keduanya mengusir Maureen padahal tak jauh dari mereka masih ada jungkat jungkit lainnya.
“Nda ucah ngac4m olang ! Citu juga bukan yang punya !!” teriak Maureen kesal.
“Ooo berani dia. Lora, kerjain gadis itu !” seru gadis kecil itu kepada Lora yang sudah menurunkan jungka di tempatnya membuat Maureen yang tak siap sudah berada diatas. Setelah Lora duduk, dia tersenyum kepada temannya dan beralih menatap Maureen yang terlihat tegang.
“Rasain ini !”.
Lora, gadis kecil itu mengangkat dirinya hingga tak menapak tanah dibantu rekannya yang berdiri di belakang untuk membantunya turun. Berulang kali keduanya menakuti Maureen membuat Maureen ketakutan dan memegang erat pegangan jungka jungkit.
“ Nenekkkk… dedek takut “ cicit Maureen. Dia mendengar tawa kedua gadis kecil di hadapannya itu. Tampak keduanya puas menakuti Maureen.
“Lagi Ayu ! Lagi !! “ teriak Lora yang sepertinya senang menakuti Maureen.
Perbuatan kedua gadis kecil itu tentu membuat Maureen yang memiliki tubuh gembul terjatuh ke tanah.
Bugh ! Maureen terjatuh, namun naasnya punggung dan tangannya terkena hentakan jungkat jungkit yang masih digerakan naik turun oleh Lora dan Ayu.
“AAAAA CAKITTTTTT !!! CAKITTTTT !!! “ teriak Maureen kesakitan.
“WOYYYYYY !!! BERENTIIIII !! DASAR ANAK-ANAK NAKAL !!!!” teriak seorang wanita membawa bungkus jajanan dan minuman nya ke arah Maureen dan kedua gadis nakal itu.
Lora dan Ayu langsung melarikan diri takut terkena amukan wanita yang menolong Maureen.
“Cakittt hiks cakittt “ lirih tangis Maureen lirih.
“Ayo, bangun dulu. Biar kakak lihat lukanya,”
Maureen mendongakkan kepalanya, air matanya sudah membasahi wajahnya. “Kakak… Malca”
“Iya, ayo. Bangun dulu ! Kita duduk disana,” ajak Marsha. Ya, wanita yang membantu Maureen adalah Marsha. Dia dan Melati sedang berada di taman kecil itu untuk menikmati senja sekaligus jajan. Namun tak disangka dari kejauhan Marsha melihat sosok Maureen tengah bermain jungkat jungkit dengan dua gadis kecil.
Marsha mengira itu temannya Maureen namun setelah lama dilihat ternyata kedua gadis kecil itu sedang menganggu Maureen hingga Maureen terjatuh. Walaupun sudah jatuh, tetap saja keduanya ngerjain Maureen sampai terkena punggung dan telapak tangannya.
“Masih sakit ?” Maureen mengangguk pelan dengan sisa isak tangisannya.
“Kamu kesini sama siapa ?” tanya Marsha lembut sambil mengusap punggung Maureen.
“Cama nenek…”
“Nenek ? Dimana dia, kenapa ninggalin kamu sendiri ?” Marsha heran mengapa Vion meninggalkan Maureen sendirian dan berakhir di ganggu oleh dua gadis nakal tadi.
“Dedek haus, mau minum. Telus nenek bilang nyuluh dedek tunggu di cana.. Nda tau ada olang ngusil dedek, telus di ganggu campe dedek jatoh..”
Marsha mengangguk. “ Marsss !! Astaga aku pusing nyari kamu.. Ngapain duduk disini, eh ?! Ini anaknya siapa ? Kamu nyekap anak Marsh ??” tuduh Melati yang baru saja datang.
“Sembarangan !”
“Anak siapa ini ???” tanya Melati kepada Marsha.
“Anak nya Mario, karyawan di perusahaan M. Ini anak diganggu sama bocah nakal ! Kamu lihat tangan kirinya merah, “.
“ duhhh merah banget ini, dia kesini sama Mario ?” Marsha menggelengkan kepalanya. “ Dia sama neneknya. Entah dimana neneknya sekarang, masih belum kelihatan mencarinya”.
Marsha dan Melati masih belum tahu jika Mario adalah CEO di perusahaan M karena saat asisten Kai membongkar identitas Mario, keduanya berada di rumah sakit saat Melati mendapatkan kabar bahwa abangnya mengalami kecelakaan, maka itulah keduanya masih memanggil Mario dengan sebutan nama.
Sedangkan di sisi lain, Vion tengah kalut mencari Maureen yang tiba-tiba menghilang. Dia lama karena harus buang air kecil. Namun saat kembali jungkat jungkit itu sudah kosong membuat Vion panik.
“Astaga !! Dimana cucuku !” ujarnya panik.
“Bisa ngamuk Mario sampai tahu putrinya hilang. Mana pabriknya sudah tutup,” ucap Vion panik. “ cucu cuma satu, jangan hilang dong. Belum nemu pabrik baru. Kalau pun ada pabriknya, cucu saya jangan hilang dong rugi kalau hilang makannya banyak,minum juga. Badan gembrottt, wajah lucu begitu jangan di ambil hiks.. aduhh gimana ini !”.
“Pak ! Pak ! Liat anak gembrot pakai baju biru muda nggak ? Rambutnya ikat tanduk sapi !” jelas Vion menggambarkan ciri-ciri cucunya.
“Tanduk sapi ? Sejak kapan sapi pakai baju biru, bu ?” tanya pria itu salah paham.
“Aduh bukan sapi, tapi cucu saya. Pak, tolongin pak, cucu saya hilang. Pabriknya sudah tutup yang punya kunci masih belum menemukan pabriknya, tolongin saya pak !”.
Pria itu menggarukan kepalanya, ditambah lagi Vion memegang tangannya seperti keduanya sedang bertengkar. Dia terlihat takut dengan Vion dan mengira Vion adalah pasien rumah sakit jiwa. Sehingga pria itu menepis tangan Vion dan berlari menjauh.
“Pak !! Kok lari sih !! Kan saya nanya cucu saya !!” teriak Vion heran sekaligus kesal.
“ huuu, sial apa lagi ini.. Kenapa malah bertemu pasien gil4. Baju biru ? Tanduk sapi ? Pabrik ? Brrrrrr, merinding bulu kudukku !” ucapnya geli dan langsung masuk ke dalam mobilnya.
...***...