NovelToon NovelToon
Menjadi Selamanya

Menjadi Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:11.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kiky Mungil

Divi hampir menyerah saat pengajuan pinjamannya ditolak, dengan alasan Divi adalah karyawan baru dan pengajuan pinjamannya terlalu besar. Tapi Divi memang membutuhkannya untuk biaya operasi sang ibu juga untuk melunasi hutang Tantenya yang menjadikan Divi sebagai jaminan kepada rentenir. Dimana lagi dia harus mendapatkan uang?

Tiba-tiba saja CEO tempatnya bekerja mengajak Divi menikah! Tapi, itu bukan lamaran romantis, melainkan ada kesepakatan saling menguntungkan!

Kesepakatan apa yang membuat Arkael Harsa yakin seorang Divi dapat memberikan keuntungan padanya? Lantas, apakah Divi akan menerima tawaran dari CEO yang terkenal dengan sikapnya dingin dan sifatnya yang kejam tanpa toleransi itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chap 23. Gara-Gara Sambal Geprek dan Hukuman Tak Terduga!

Arkael menghabiskan tiga jamnya hanya dengan melamun seorang diri di ruang kerja, di atas mejanya tergeletak sebuah dokumen dengan map hitam yang tertutup, cahaya yang berasal dari lampu baca yang merunduk menjadi satu-satunya pencahayaan di dalam sana. Pikiran Arkael sulit sekali fokus, sejujurnya beberapa hari belakangan ini, dirinya kerap mengalami kesulitan untuk fokus, apa lagi jika sudah berdekatan dengan Divi.

Ia kembali memikirkan semua perkataan Divi di balkon tadi. Seharusnya dia tidak usah terlampau perduli dengan apa yang akan terjadi pada gadis itu. Seharusnya dia tidak perlu merasa aneh dengan perasaannya. Seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah pad Divi, karena memang yang menjadi landasan kontrak kesepakatan pernikahan ini dibuat adalah untuk membuat Arana kembali dengan memanfaatkan Divi untuk membuat Arana cemburu dan menyesal telah meninggalkan Arkael, dasar kontrak yang memang tidak diketahui oleh Divi. Tapi, ketika tujuannya sudah di depan mata dengan waktu yang lebih cepat dari dugaannya, Arkael justru kini merasa ragu.

Aneh, kan?

Ketika mendengar Arana bertemu dengan Divi dan mencarinya ke kantor, hal pertama yang muncul di dalam pikirannya adalah bagaimana reaksi Divi? Apakah Divi baik-baik saja? Apakah Divi marah? Apakah Divi cemburu?

Jelas, pikiran itu sudah melenceng dari jalur yang benar, karena seharusnya yang dia pikirkan adalah bagaimana perasaan Arana? Apakah mantannya itu menyesal? Apakah mantannya itu ingin kembali? Apakah mantannya itu cemburu? Tapi semua pikiran itu malah tidak ada. Iya, lenyap begitu saja seperti dia tidak pernah merencanakan kontrak kesepakatan pernikahan ini.

Arkael menyimpan kembali dokumen itu ke dalam lemari brankasnya, dan keluar dari kamar kerjanya. Ia rasa, ia butuh tidur untuk memikirkan ulang apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Tapi begitu sampai di kamar, dia malah berpapasan dengan Divi yang baru saja keluar dari kamar mandi, wajahnya sedikit pucat dengan keningnya yang berkeringat.

"Kamu kenapa?" tanya Arkael. Kepedulian itu selalu muncul begitu saja.

"Eh, nggak apa-apa, Pak." jawab Divi sambil lalu menuju sofa tempatnya berbaring. Tapi baru saja Divi duduk di atas sofa, wajahnya kembali meringis, tangannya memegang perut, detik berikutnya Divi sudah lari ngibrit kembali ke dalam kamar mandi.

Arkael refleks ingin menyusul Divi ke kamar mandi, tapi dia menahan langkahnya, kedua tangannya mengepal. Dia harus menyadarkan dirinya, dia harus ingat tujuan kontrak pernikahan ini, dia harus tidak terlalu jauh melibatkan kepedulian dan perasaannya.

Dengan langkah yang cukup kaku, Arkael menuju ranjangnya sendiri, mencoba untuk memejamkan mata. Tapi karena Divi tidak juga keluar dari kamar mandi, Arkael kembali duduk, dia hendak menghampiri pintu kamar mandi, tapi gerakannya terhenti saat ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Cepat-cepat Arkael merebahkan dirinya di atas kasur, matanya pura-pura terpejam seolah tak perduli meski otaknya sudah melontarkan sejuta pertanyaan tentang apa yang membuat Divi terlihat pucat dan berkeringat dingin seperti itu.

Tapi belum sampai lima menit Divi berada di sofa, gadis itu kembali lagi berlari ke kamar mandi. Cukup sudah, Arkael tidak bisa hanya berpura-pura tidak perduli dan pura-pura tidur seperti laki-laki bodoh. Dia berdiri di depan pintu kamar mandi, tangannya bergerak hendak mengetuk, tapi dia urungkan. Dia memutuskan untuk menunggu Divi keluar dari kamar mandi saja. Sembari menunggu, dia bersiap dengan mengenakan sweater. Karena dia tidak bisa menemukan dimana Divi menyimpan sweater atau pun jaket, jadi Arkael membawa jaket miliknya, meski mungkin akan membuat Divi tenggelam dengan jaket miliknya.

Penantiannya selama tujuh menit pun membuahkan hasil, Divi keluar dari kamar mandi, wajahnya jauh lebih pucat dari pada sebelumnya.

"Ayo." Arkael menghadang Divi dengan menyodorkan jaket.

"Kemana?"

"Rumah sakit."

"Hah? Kenapa?"

"Kamu nggak sadar wajahmu sudah sepucat kertas, dan kamu berkeringat dingin." kata Arkael sambil satu tangannya yang lain dengan sangat natural mengusap keringat pada kening Divi.

"Saya nggak apa-apa, Pak, saya cuma-"

"Saya nggak terima penolakan dengan alasan apa pun! Ayo pakai jaketnya, saya tunggu di mobil."

"Tapi, Pak, kalau dalam perjalanan saya sakit perut lagi, gimana?"

Arkael berdecak. Mengingat jarak rumah sakit dan rumahnya lumayan jauh. Divi kembali menahan napas panik.

"Maaf Pak!" Divi kembali lagi ke kamar mandi.

"Astaga! Ini nggak benar!" Arkael melemparkan jaketnya begitu saja di atas tempat tidur, tangannya langsung mencari nama seseorang pada layar ponselnya. Sampai terdengar suara seseorang menjawab panggilannya.

"Ada apa? Kakek baik-baik saja?" tanya suara dari seberang sana.

"Cepat ke rumah gue, sekarang!" Titah Arkael.

"Siapa yang sakit? Lo?" tanya Hilman.

"Istri gue."

"Istri? Kapan lo merit?"

"Nggak usah banyak tanya, cepat datang, atau rumah sakit lo gue tutup besok!"

TUT!

Setelah memutuskan sambungan telepon secara sepihak pada seseorang yang bernama Hilman, Arkael segera keluar dari kamar, dia membangunkan Dar karena membutuhkan bantuannya untuk membuatkan sesuatu untuk menghangatkan perut Divi.

Bagi Dar, ini adalah kali ketiga melihat Arkael panik dan sekhawatir itu. Yang pertama adalah ketika almarhum papanya sakit. Kedua saat Tuan Besar Argam sakit. Ketiga adalah sekarang. Dar dapat memastikan, siapa pun yang berhasil membuat seorang Arkael panik dan khawatir sudah pasti telah mencuri hati pria dingin itu.

"Ini minum dulu." Arkael menyodorkan teh tubruk hangat yang dibuatkan Dar tadi. "Untuk menghangatkan perutmmu sambil menunggu Hilman datang."

"Kok Bapak tau perut saya sakit?"

"Kamu memegangi perutmu setiap ke kamar mandi dan keluar dari sana."

"Lalu Hilman siapa?" tanya Divi sambil menerima gelas berisi teh yang masih mengepul asapnya.

"Sepupu saya."

Sluurrp. Divi menyeruput pelan cairan hangat itu, seketika perutnya yang sedari tadi terasa dingin menjadi hangat.

"Lalu kenapa saya harus ikut nunggu sepupu Bapak datang?"

"Dia dokter spesialis bedah jantung, saya minta dia datang untuk periksa kamu."

"Hah? Tapi kan saya-"

"Ah, ini dia sudah datang! Kamu tunggu disini." Arkael menjawab ponselnya yang bergetar seraya keluar dari kamar. Sementara itu Divi membeku di tempatnya, mencoba mencerna apa yang barusan saja terjadi.

"Tunggu, Pak Kael manggil sepupunya yang seorang dokter spesialis bedah jantung untuk periksa aku karena aku nggak bisa ke rumah sakit? Gitu? Astaga! Boleh nggak sih aku geer?"

Tidak sampai lima menit, Arkael sudah datang kembali ke kamar bersama seorang pria lain yang terlihat masih mengenakan piyama tidurnya, hanya berbalut jaket sekadarnya.

"Cepat periksa istriku!" titah Arkael.

"Halo, kakak sepupu ipar, aku Hilman, salam kenal." kata Hilman dengan senyum ramahnya yang bersahabat.

"Heh! Heh! Nanti saja kenalannya, periksa dulu, perut istriku sakit sejak tadi." kata Arkael dengan nada suara yang membuat Divi sangat tersentuh, tapi buru-buru menyadarkan diri, bahwa semua bentuk perhatian itu hanya panggung sandiwara.

"Perutnya sakit? Apa mungkin kakak sepupu ipar hamil?"

"HAH!"

"Nggak mungkin!"

"Loh, kenapa nggak mungkin, namanya juga suami istri."

"Soalnya...soalnya...baru kemarin sore aku selesai datang bulan." Sahut Divi dengan alasan palsu. Ia mengangguk pada Arkael, Arkael pun melakukan hal yang sama.

"Kenapa banyak sekali omong, cepat periksa saja istriku!" Arkael protes sambil melotot.

"Astaga, iya, iya, aku kan hanya bertanya. Ya ampun, kenapa galak sekali," kata Hilman sambil mengeluarkan stetoskop dari tas jinjing yang dibawanya.

"Ayo, Kak silahkan berbaring, biar kuperiksa perutnya."

"Sebenarnya-"

"Hei, nggak perlu dibuka kan bajunya, bisa lo periksa aja dari atas baju, kan?" Sela Arkael.

"Astaga, posesif sekali. Iya, iya, gue nggak akan menyentuh kulit kakak sepupu ipar, nggak perlu sampai cemburu begitu."

"Heh!"

"Sebenarnya aku nggak apa-apa, aku cuma sakit perut karena kebanyakan makan sambal." kata Divi dengan cepat sebelum Hilman membuang waktunya untuk memeriksa perutnya, walaupun sebenarnya Divi cuku kasihan karena sepupu Arkael sudah membuang waktunya untuk datang.

"Oh, jadi karena sambal."

"Sudah kubilang jangan dihabiskan makanan aneh itu!"

"Itu bukan makanan aneh, ya!" Protes Divi.

"Jadi, sudah berapa kali buang-buang airnya?" tanya Hilman.

"Enam atau tujuh kali, aku lupa."

"Apa?! Sudah sebanyak itu dan kamu nggak ngasih tau aku?" Arkael terlihat sangat khawatir, sekilas Divi merasa sikap Arkael bukanlah sandiwara, tapi akal sehat selalu menyadarkan Divi.

"Sudah pernah seperti ini sebelumnya, Kak?" Tanya Hilman mencoba mengabaikan Arkael yang kesal di belakangnya.

"Sering, kok."

"Apa?! Sering?! Kenapa kamu nggak-"

"Diam!" Potong Hilman dan Divi bersamaan.

"Kalau lo memanggil gue cuma untuk mendengar omelan lo dan lo selalu menyela pemeriksaan gue, mending lo keluar dulu deh, panggil Bu Dar aja yang temenin Divi disini. Astaga!"

Arkael mendengkus sebal, dia mengusap wajah hingga tangannya menyugar rambutnya seperti orang frustasi.

"Jadi," Hilman mencoba kembali untuk melakukan pemeriksaannya secara profesional.

Selama pemeriksaan dan perbincangan itu, Arkael berdiri menjaga jarak, namun mata tajamnya tidak berpaling sedikit pun, kedua telinganya menyimak tanpa ada satu kata pun tertewat, kedua tangannya terlipat di depan dada, kakinya terbuka, lurus dengan bahu, dia berdiri tegap seperti algojo.

Setelah Hilman memberikan resep dan memberikan masukan untuk Divi agar mengurangi kadar pedas makanannya, sepupunya itu kembali berdiri dan menepuk bahu Arkael yang menatap Divi tanpa kedip, seolah jika dirinya berkedip, Divi akan terluka.

"Kakak ipar baik-baik saja, jangan khawatir."

"Jangan khawatir? Dia sampai tujuh kali buang air, lo nggak lihat bagaimana pucatnya istriku tadi! Dan gue nggak tau! Apa lo pikir gue nggak patut khawatir?!" Omel Arkael, tapi Divi tahu Arkael menahan emosinya. Dia marah, tapi tidak meledak seperti saat marah kepada mamanya. Entah hanya perasaan Divi saja, atau memang ada emosi lain yang berusaha ditahan oleh pria itu sampai urat di pelipisnya terlihat menonjol.

"Tenang, Kael, tenang! She's fine! She's totally fine." Hilman mencengkram hingga sedikit mengguncang bahu Arkael, seolah tengah menyadarkan Arkael dari sesuatu yang Divi tidak mengerti.

"Apa yang harus gue lakukan?" tanya Arkael setelah beberapa saat, suaranya jauh lebih tenang.

"Gue udah resepkan obat, udah gue pesankan juga lewat aplikasi online, nanti ada driver yang antar obatnya, sembari nunggu obatnya datang, Kakak ipar bisa menenangkan perutnya dengan teh buatan Bu Dar. Dan pastikan, kakak ipar mengurangi makanan pedas saja."

"Mulai hari ini kamu nggak boleh lagi makan pedas seperti tadi!" kata Arkael sambil melihat kepada Divi, yang dilihat hanya bisa gigit bibir.

Setelah selesai dengan pemeriksaan dadakan yang sampai mendatangkan dokter spesialis bedah jantung untuk memeriksa perutnya yang kebanyakan makan sambal geprek, Arkael kembali ke dalam kamar, Hilman sudah pulang dan driver yang mengantarkan obat pesanan Hilman sudah datang. Arkael membawa kantong plastik kecil dengan logo apotek yang buka 24 jam di tangannya.

"Minum dulu obatnya." kata Arkael.

Divi bangkit untuk duduk, dia menerima sodoran obat yang sudah dibukakan oleh Arkael dan menelannya dengan bantuan air teh buatan Bu Dar yang tidak lagi hangat.

"Saya sungguh-sungguh saat bilang kamu nggak boleh lagi makan makanan pedas." kata Arkael menatap Divi lekat-lekat.

"Kenapa?"

"Kenapa?" Arkael membeo. "Tujuh kali kamu bolak-balik ke kamar mandi apa nggak membuatmu kapok?"

"Maksud saya, kenapa Bapak harus berlebihan seperti ini?"

"Berlebihan?"

"Bapak nggak lupa kalau status kita ini hanya sementara, kan? Bapak nggak lupa kalau suatu hari nanti Bapak akan menceraikan saya, kan? Jadi untuk apa semua kepedulian Bapak yang berlebihan begini? Buat apa Bapak ngatur-ngatur saya? Kita udah sepakat untuk nggak mengurusi kehidupan pribadi kita masing-masing."

Arkael mengepalkan kedua tangannya. Ada sebuah emosi dan perasaan yang bercampur di dalam dada Arkael, rasa yang begitu sulit dia jelaskan juga dia ungkapkan, karena dirinya sendiri pun belum tahu apakah rasa yang berkecamuk di dalam dadanya itu nyata atau hanya terbawa suasana.

"Mulai hari ini, bisa nggak Bapak jangan berlebihan? Karena kalau Bapak berlebihan seperti ini, saya pun kadang sulit membedakan apakah kepedulian Bapak nyata atau hanya sekadar sandiwara. Jangan sampai ada perasaan yang terlibat. Saya yakin, Bapak juga nggak mau terlibat perasaan dengan-"

Mata Divi melotot ketika mulutnya berhenti bersuara, bukan karena tersedak, apalagi melotot karena melihat penampakan, tapi karena bibirnya kini ditutup rapat oleh bibir maskulin milik satu-satunya pria yang menyandang status sebagai suaminya.

"Mulai hari ini," kata Arkael setelah melepaskan bibirnya dari bibir Divi, suaranya pelan, rendah dan membuat merinding. "Setiap bentuk protes dan ketidakpatuhan atas apa yang saya katakan, saya akan memberikanmu hukuman...seperti ini."

.

.

.

Bersambung~

1
Boma
ya ampun ayah kandung iblis itu mah
Boma
terus berjuang el,untuk meyakinkan divi
Boma
pasti divi salah paham,di kiranya akan mengakhiri pernikahan kontraknya
Boma
padahal kakek cuma ingin tau perasaan kael yg sesungguhnya
Boma
mending jujur aja divi,kalo perasaan itu ada,tapi sllu menepisnya,karna tak sepadan dgn arkael,moga kakek merestuimu divi
Boma
pasti rana,makin runyam
DwiDinz
Siapa tuh yg nguping? Rana atau divi? 🤔
Boma
kamu aja yg ambil,biar nanti terbiasa😄
Umie Irbie
kok ayah siiii thoooor 😱🤔🤔 punya
traumakah ????
Umie Irbie
othooooor random bangeeeet dewhhh,. masa rumahnya kael yg mewah ada tokek 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤪
Umie Irbie: wahhahahahahaha,. 🤣🤣🤣🤣🤣 di hotel pulaaaa 😒😒😒🤣🤪
Kiky Mungil: mending kalo di rumah, tapi ini di hotel kak, eh, tokeknya juga mau ikut bobo dihotel kayaknya 😅😅😅
total 2 replies
Boma
kirain ada yg ngetuk pintu,eh toke😄ada2 saja
Kiky Mungil: tokeknya jadi room service 😅
total 1 replies
Boma
apa dia bilang wc ya ujungnya😁
Umie Irbie
duuuuh,. bahasa inggris yaks😒😣 artinya apaan siii,. masa kudu copy paste dulu ke google transit 😏😣😒
Kiky Mungil: jangan kak...bahaya artinya 😋😋
total 1 replies
Umie Irbie
hahahaah,. baca nya sweet bangeeet siiiii 🤣🤭🤭
Umie Irbie
hahahaha,. hukuman nya kok enak sekali yaaaaa 🤣
Boma
WAK WAW ngambil kesempatan dlm kesempitan kael😄
Umie Irbie
hahahahahah,. arkael mesuuuuuuum🤣🤣🤣🤣🤣
Boma
pokus pokus aja terus kael
Muri
buat kaelnya bucin ya thour
Muri
kayanya bukan mmh kandung kael lh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!