“Jangan dulu makan! Cuci piring dan sapu halaman belakang, baru makan!” Bentak Bunda.
Bentakan, hardikan dan cacian sudah kenyang aku terima setiap hari. Perlakuan tak adil dari dua saudara tiri ku pun sering aku dapatkan. Aku hanya bisa pasrah, hanya ada satu kekuatan untuk ku masih bertahan tinggal dengan ibu tiri ku, semua karena demi ibu ku!
Ya, ibu yang mengalami Gangguan Jiwa sehingga harus di rawat dirumah. Maka aku hanya bisa bersabar menerima semua kondisi ini. Kemana akan berlari sedangkan ibu ku butuh di rawat, namun setiap hari perlakuan ibu tiri pada ibu membuat aku tak dapat menerimanya. Puncaknya saat aku mengutarakan pada ayah ku jika aku ingin kuliah.
“Tidak! Anak perempuan untuk apa kuliah! Kamu hanya akan di dapur! Buang-buang biaya!” Tolak ibu tiri ku dengan keras. Ayah pun hanya mengikuti keinginan istri mudanya.
‘Aku harus menjadi perempuan kuat dan aku harus bisa merubah takdir ku!’ Tekad ku sudah bulat, aku akan merubah takdirku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Pekerjaan Baru
Aku merasa kewalahan saat membersihkan rumah besar Uni Desi. Rumah itu terlihat begitu luas dengan banyak sudut yang harus dibereskan. Sambil membersihkan debu di meja tamu, aku tetap memperhatikan anak Uni Desi yang duduk di lantai, sibuk bermain dengan mainan kecilnya.
"Hati-hati ya, Talita. Jangan main terlalu dekat dengan sapuannya." Ingat ku seraya menyapu.
"Baik, kak Gendhis." jawab Talita sopan. Putri bungsu Uni Desi itu begitu aktif. Ia tak bisa duduk anteng, ada saja yang dikerjakannya. Satu bulan bekerja sebagai art juga menjaga Talita membuat aku cukup sulit beradaptasi dengan pekerjaan ku ini. Selama ini aku hanya sebagai penjaga kotak uang atau kasir di rumah makan. Namun kini aku harus bekerja dengan otot juga kesabaran. Tidak mudah menjaga anak seusia Talita.
Aku melanjutkan pekerjaannya dengan hati-hati, berusaha menjaga agar anak Uni Desi tetap aman sambil membersihkan rumah. Tapi, tiba-tiba anak tersebut berlari ke arah aku dengan mainan di tangannya.
"Kak, lihat! Mainanku bisa terbang!" Ucap Talita membawa sebuah mainan baru dengan bentuk seperti helikopter. Aku bisa melihat satu box mainan. Dan hari ini putri Uni Desi ini sudah memiliki mainan baru lagi. Sungguh beruntung gadis kecil ini. Hari-hari nya dilalui hanya bermain dan bersenang-senang tak seperti masa kecil ku.
Aku tersenyum "Wah, hebat sekali! Tapi, Talita, jangan mainkan mainan itu di dekat sapu ya. Nanti kotor." Ingat ku. Aku juga menjaga Talita seperti saudara sendiri atau adik sendiri. Karena dulu juga aku sering menjaga si kembar disaat waktu aku harusnya bermain. Dan jika si Kembar menangis aku akan di bentak, di hardik dan di tatap tajam oleh Bunda. Ah masa-masa yang sangat tidak enak untuk diingat. Aku lebih bahagia seperti saat ini walau harus berjuang sendiri untuk makan dan kuliah. Bahkan kemarin satu surat dari pengadilan agama bahwa ibu resmi bercerai dengan Ayah.
Tiba-tiba satu pelukan dari Talita membuyarkan lamunanku.
"Kak Gendhis jangan berhenti ya, aku senang semenjak ada Kak Gendhis. Kak Gendhis tidak pernah marah-marah sama tidak pernah bentak." Ucap gadis mungil itu polos. Ia bahkan menirukan gaya pengasuh lama nya yang akan mengancamnya jika ia mengadu pada Uni Desi.
"Matanya yang besar itu bisa tambah besar kak Gendhis... Seperti ini." Ucap Talita seraya memperagakan mimik wajah dan gesture dari perempuan yang dulu menjadi art juga pengasuh Talita. Kami tertawa, Talita anak yang pintar sebenarnya. Ia hanya ingin diberikan penjelasan. Seperti saat ini. Aku minta dia main sendiri dan aku membereskan rumah dan menyetrika. Ia tak rewel, aku hanya harus ada di dekatnya dan mengobrol layaknya teman seusianya.
Aku melanjutkan pekerjaanku, kali ini membersihkan kamar tidur Talita, aku hanya tak boleh masuk kamar Uni Desi selama majikan ku tak dirumah. Sambil melipat pakaian yang bertumpuk di keranjang, aku mencoba mengobrol dengan Talita.
"Talita, kakak mu sudah besar ya?" Tanya ku pada Talita.
"Abang sudah besar. Abang Taufik sekarang di pondok. Aku tidak mau di pondok, aku lihat abang di pondok badannya kurus dan banyak korengnya.Ih...." Ucap Talita seraya bergidik. Aku tertawa melihat tingkah nya yang lucu.
Aku merasa senang melihat anak Uni Desi yang begitu kooperatif. Meskipun aku merasa kewalahan dengan pekerjaan rumah yang besar, tetapi kehadiran Talita justru membuat ku merasa bahagia.
Setelah selesai membersihkan beberapa ruangan, aku dan Talita duduk bersama di ruang keluarga. Kami saling tersenyum, bahkan saat sote hari sebelum pulang, tugas ku untuk menyuapi Talita pun kami lalui dengan canda tawa. Bagaimana aku tidak tertawa, anak seusia Talita sudah bisa bicara cinta. Aku yang sudah dewasa saja masih malu-malu membahas perihal cinta.
"Aku hari ini tadi jadian sama teman ku Namanya Vito kak..” Cerita Talita padauk. Aku memberikan suapan terakhir pada putri Uni Desi itu, lalu aku mengangkat tubuhnya dan ku pangku ia, ku urai poni yang berada di dahinya.
“Talita, anak kecil ndak boleh pacaran loh….” NAsihat ku pada Talita.
“Berarti kalau sudah besar seperti Kak Gendhis boleh?” tanya Talita polos.
“Em… ga boleh juga. Karena Setelah kak Genhdis baca buku agama dan belajar agama lagi, katanya harus menikah dulu baru pacarana.” Ucap ku pelan. Anak yang masih duduk di bangku TK sudah bicara cinta dan pacaran, aku tak aneh, karena baru-baru aku bekerja di sini. Ku lihat Talita bebas menggunakan ponsel dengan fasilitas wifi. Ia bisa mengakses apapun yang ia mau, ku lihat ia diberikan itu agar Uni Desi bisa focus mencari uang. Aku sebenarnya banyak mengajaknya bermain Bersama, sehingga ku perhatikan semenjak kehadiran ku di rumah ini, Talita memang sedikit teralihkan dari ponsel. Walau aku sangat Lelah karena harus meladeni bocah seusianya yang selalu ingin bermain dan mengobrol.
“Tapi papa belum pernah menikah sama mbak Susi, kok pacarana.” Ucap bocah lima tahun ini. Kedua pupil maata ku membesar, telinga ku tidak salah menangkap gelombang suara yang di ucapkan Talita. Susi adalah pengasuh Talita yang lama. Aku cepat menepis rasa penasaran ku.
“Hus… ndak boleh bicara sembarangan.” Ucap ku, aku khawatir nanti anak ini berbicara yang tidak-tidak di hadapan ibunya, istri mana yang tak khawatir jika mendegar hal barusan. NAmun penjelasan detail dari Talita membuat aku melongo tak percaya.
“Ih… Mama juga tahu, makanya sama mama diberhentin Mbak Susi. Terus Kak Gendhis yang disini. Kata mama karena kak Gendhis pakek jilbab jadi bisa banyak ajarin Talita ilmu agama juga belajar berhitung. Dan mama benar, Kak Gendhis teman yang baik untuk aku.” Ucap Talita Panjang lebar. Aku bingung kenapa Uni Desi harus berbohong padaku, katanya kalau Susi menikah, itu kenapa Uni Desi mencari penggantinya. Aku ada rasa sedikit khawatir mendengar cerita ini. Khawatir dengan Uda Johan. Aku juga bingung karena sepertinya setiap hari Uni Desi dan Uda Johan terlihat harmonis.
“Ayo kak, akum au mandi.” Ajak Talita yang membuyarkan rasa penasaran ku tentang Uda Johan, tapi dari wajahnya memang terlihat Uda Johan seperti orang genit, walau itu tidak berlaku padaku. Aku baru bisa menyadari ini setelah menempuh mata kuliah dimana bisa membaca karakter seseorang dari gerak geriknya, aku jadi bingung dan sedikit khawatir karena kadang Uda Johan suka pulang lebih awal dari Uni Desi.
‘Insyaallah ada Allah yang akan melindungi kamu Ndis.’ Batin ku. Semenjak aku berhijab aku diberikan satu amalan atau bacaan dari Bu Sekar kala itu. Alhamdulilah amalan itu sampai hari ini masih terus ku baca. Guna berlindung dari orang-orang jahat. Dimana berdasarkan penjelasan Bu Sekar bahwa do aini adalah doa yang pernah dilakukan Nabi Musa saat melintasi lautan ketika dikejar bala tentara Fir’aun.
Kembali saat selesai shalat dan saat akan berangkat ke rumah Uni Desi aku membaca doa ini.
“:اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ وَإِلَيْكَ الْمُشْتَكَى، وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ”
{ allâhumma lakal hamdu wailaikal musytaka, wa antal musta’ân, wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil adzîmi.}
(ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, hanya kepada-Mu Dzat yang dimintai pertolongan. Tidak ada kekuatan untuk menjalankan sebuah ketaatan dan menghindari kemaksiatan kecuali pertolongan Allah yang maha Agung).