Niat hati hanya ingin menolong seorang pria yang baru saja mengalami kecelakaan motor tunggal di jalanan, namun keadaan itu malah dimanfaatkan oleh seorang wanita yang tidak bertanggung jawab.
Alana dipaksa menikah hari itu juga oleh segerombolan orang-orang yang menangkap basah dirinya bersama seorang pria di sebuah kontrakan. Alana tidak dapat membela diri karena seorang wanita berhasil memprovokasi massa yang sudah berdatangan.
Bagaimanakah cara Alana menghadapi situasi ini?
Bisakah dia mengelak atau malah terpaksa menikah dengan pria itu? Pria yang tidak dia kenal sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23.
Seharian ini Alana sengaja tidak pulang dan memilih menemani Azzam di rumah sakit. Tidak hanya membantu Azzam makan dan minum obat, Alana juga tidak keberatan mengelap tubuh suaminya itu.
"Terima kasih sudah datang melihatku. Sekarang pulanglah, sudah malam, kamu harus istirahat." ucap Azzam pada Alana yang tengah duduk di kursi samping brankar. Azzam kasihan melihat Alana yang sudah kelelahan mengurusnya.
"Tidak mau, aku akan tetap di sini sampai kamu diizinkan pulang." jawab Alana dengan wajah lelahnya.
"Al, aku tidak apa-apa. Aku-"
"Jangan banyak bicara, lebih baik tidur saja!" Alana bangkit dari duduknya dan menarik selimut lalu menutup tubuh Azzam hingga dada.
"Al-"
"Selamat tidur." potong Alana tanpa mempedulikan ucapan Azzam.
Azzam lantas terdiam sembari mematut Alana yang sudah kembali duduk di sampingnya, Azzam merasa tidak enak hati telah membuat Alana kerepotan mengurus dirinya.
Alana kemudian menarik kursi dan melipat tangannya di sisi pinggang Azzam lalu merebahkan kepalanya di sana. Alana juga ingin tidur barang sejenak karena matanya mulai mengantuk.
"Al..." panggil Azzam sembari menyentuh kepala Alana pelan.
"Hmm..." gumam Alana dengan mata yang terasa semakin berat.
"Kamu yakin ingin tetap di sini?" tanya Azzam memastikan.
"Hmm..." gumam Alana lagi.
"Ya sudah, berbaring di sini saja! Kamu tidak akan nyaman tidur dalam keadaan duduk begitu." ucap Azzam seraya beringsut dan memberi ruang kosong untuk Alana.
"Tidak apa-apa, aku di sini saja." desis Alana dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Al, sekali saja tolong dengarkan aku!" pinta Azzam dengan nada memohon.
Meski canggung, Alana terpaksa mengangguk dan mengikuti permintaan suaminya. Dia bangkit dari kursi dan membuka sendal lalu naik ke brankar yang ditiduri Azzam.
Sesaat setelah Alana berbaring di sampingnya, jantung Azzam tiba-tiba bergemuruh seperti akan melompat dari tempatnya. Dia pikir Alana tidak akan mau berbagi tempat tidur dengannya, tapi ternyata dugaannya salah.
Apa selama ini dia yang terlalu pesimis saat berada di dekat Alana? Buktinya Alana malah terlihat biasa-biasa saja, berbeda dengan dirinya yang justru salah tingkah saat mencium aroma tubuh Alana yang memabukkan.
"Al..." desis Azzam dengan nafas tercekat di tenggorokan.
Alana memiringkan tubuhnya sehingga tatapan keduanya saling bertemu. "Apa lagi?" tanya Alana dengan tatapan tak biasa.
"Ti-tidak apa-apa," jawab Azzam gugup setengah mati, sorot mata Alana yang sayu membuat jantungnya seperti diobok-obok tak karuan.
"Tidur saja, istirahat yang cukup biar cepat sembuh!" ucap Alana mengulas senyum tipis.
"I-iya, ini mau tidur." Azzam menutup mata dengan cepat dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Alana yang melihat itu sontak mengulum senyum, dia tau Azzam merasa kurang nyaman.
Alana memejamkan mata perlahan tanpa merubah posisinya, hembusan nafas keduanya saling menerpa di wajah masing-masing, membuat Azzam benar-benar gelisah dengan keringat mengucur deras di dahinya.
Tiba-tiba suhu ruangan terasa sangat panas dan Azzam pun berniat turun dari brankar.
Akan tetapi, gerakannya seketika tertahan saat Alana tiba-tiba memeluknya. "Jangan pergi!" desis Alana menenggelamkan wajahnya di leher Azzam.
Azzam terkesiap dengan mata melotot sempurna, detak jantungnya tidak dapat dikondisikan.
Tidak pernah terbersit di pikiran Azzam bisa tidur seperti ini, Alana benar-benar meresahkan, Azzam tidak dapat mengelak dan membalas pelukan Alana.
"Selamat malam," desis Alana yang mulai nyaman dengan posisinya.
"Ya, selamat malam." sahut Azzam sembari memicingkan mata.
...****************...
Pagi hari, sepasang suami istri itu masih setia dengan posisi mereka. Tidak ada yang bangun saking nyenyak nya tidur mereka berdua.
Di luar sana, Erni sudah datang bersama Ijah. Setelah berkonsultasi dengan dokter mengenai kondisi terkini Azzam, keduanya langsung masuk ke dalam ruangan.
Sesaat setelah pintu terbuka, Erni terperanjat mendapati pemandangan langka itu. Matanya menyipit mempertanyakan siapa wanita yang tidur di dalam dekapan Azzam.
Tidak lama, Erni mengulas senyum kala teringat pada ucapan Azzam tempo hari. Dia nyaris lupa bahwa putranya sudah menikah, sayang Azzam tak kunjung membawa istrinya pulang sehingga Erni tidak mengenalinya.
Meskipun begitu, Erni tidak akan mempermasalahkannya, melihat putranya tidur se-nyenyak itu bersama istrinya, Erni sudah cukup bahagia.
"Ayo, kita tunggu di luar saja!" ajak Erni pada Ijah, dia tidak ingin mengganggu tidur Azzam dan menantunya.
Setelah menutup pintu, Erni mengajak Ijah duduk di kursi tunggu. Dia tidak hentinya tersenyum mengingat penampakan di dalam tadi.
Ya, Erni bisa melihat betapa Azzam sangat menikmati tidurnya. Sedikit keresahan di hati Erni mulai menyusut, sepertinya Azzam sangat mencintai istrinya itu.
"Bagaimana menurutmu? Istri Azzam cantik 'kan?" tanya Erni memutar leher ke arah Ijah.
"Sangat cantik, mereka sangat serasi." jawab Ijah yang ikut melihat pemandangan tadi.
"Kamu benar, Azzam tidak mungkin salah memilih istri. Semoga rumah tangga mereka bahagia, Azzam sudah terlalu banyak menderita selama ini." lirih Erni dengan pandangan berkabut.
"Kenapa wajah Ibu jadi sedih begitu? Harusnya Ibu bahagia karena Tuan Azzam sudah menemukan belahan jiwanya." ucap Ijah.
"Aku tidak sedih, aku sangat bahagia."
Erni menyeka wajahnya dan tersenyum menatap Ijah.
Benar kata ART itu, dia harusnya senang karena Azzam sudah menemukan tambatan hatinya. Dia tidak ingin Azzam memiliki nasib yang sama dengannya di masa lalu, itu sangat menyakitkan, bahkan luka itu masih menganga sampai detik ini.
Di dalam ruangan, Alana tersentak dari tidurnya. Matanya melotot menatap jam yang menggantung di dinding.
"Astaga, sudah jam delapan." gumam Alana, dia hendak bangun tapi Azzam malah memeluknya erat.
"A-azzam, lepaskan aku! Ini sudah siang, bukankah-"
"Tapi aku masih ngantuk, sayang. Biarkan aku memelukmu beberapa menit lagi!" gumam Azzam dengan mata yang masih enggan untuk dibuka.
Seketika Azzam tersadar, dia membuka mata dan dengan cepat menjauhkan tangannya dari tubuh Alana. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud-"
Azzam benar-benar tidak sadar, bisa-bisanya dia memeluk Alana dan memanggilnya dengan sebutan sayang.
Alana menautkan alis. "Untuk apa minta maaf?"
Azzam menghela nafas berat sembari mengusap wajah kasar. "Untuk semuanya." lirih Azzam, lalu memutar tubuhnya membelakangi Alana. Azzam takut Alana marah karena kelakuannya barusan.
Alana tersenyum getir menatap punggung Azzam dan memilih turun dari brankar, dia berjalan memasuki kamar mandi dan lekas mencuci muka.
Alana pikir Azzam memeluknya dalam keadaan sadar tapi ternyata-
Alana mencebik menatap wajahnya di depan cermin, bodohnya dia menganggap Azzam sudah tidak marah lagi padanya, ternyata pelukan itu bukan berasal dari Azzam melainkan karena faktor ketidaksengajaan.
"Apa yang kamu pikirkan, Alana? Jangan bodoh!" batin Alana merutuki dirinya sendiri.
Alana marah pada dirinya yang berharap Azzam akan memaafkannya. Dia pikir hubungan mereka akan membaik tapi ternyata tidak sama sekali.
Selang beberapa menit, Alana keluar dari kamar mandi dan berjalan menghampiri Azzam. "Aku pulang dulu, aku akan kembali dan membawa pakaian ganti untukmu."
Azzam memutar tubuhnya dan mematut Alana dengan intim. "Tidak perlu repot-repot, aku akan pulang ke rumah orang tuaku."
Alana terdiam menatap Azzam, matanya seketika berkaca mendengar ucapan Azzam barusan.
"Terserah kamu saja, kalau begitu aku juga pamit." Alana mengambil tas dan mengeluarkan kunci apartemen. "Ini, aku kembalikan padamu, aku tidak bisa tinggal di sana lagi."
Setelah menaruh kunci itu di atas brankar, Alana berbalik badan dengan cepat.
"Tunggu, Alana! Kamu mau kemana?" seru Azzam berusaha turun dari brankar.
"Kemana saja, yang penting tidak lagi menyusahkan hidupmu."
Setelah mengatakan itu, Alana meremas dadanya yang terasa sangat ngilu lalu mengayunkan kakinya menuju pintu.