NovelToon NovelToon
SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dikelilingi wanita cantik / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:286
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.

Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22

“Mau lihat itu. Kayak ada barang keselip, jadi gue takutnya penting.”

“Tidak kok, itu. Minuman lu aman,” jawab Helen buru-buru.

Bobby bingung melihat wajah Helen yang panik. Sebenarnya itu apa sih? pikirnya. Namun ia memilih diam dan minum saja ditemani Helen. Setelah selesai minum, Bobby pulang karena sudah malam.

Helen yang merasa pusing memutuskan untuk istirahat. Ia minum sedikit air lalu duduk di sofa. Tanpa sadar, ia tertidur di sana.

Xavier, yang memiliki akses kunci rumah itu, masuk diam-diam untuk memastikan Helen baik-baik saja. Ia terkejut melihat penampilan Helen yang berantakan.

Xavier sempat ingin marah, tetapi ia sudah terlalu lelah untuk itu. Akhirnya ia mencoba ikhlas saja menghadapi wanitanya

Dua tahun kemudian,

Xavier dan Helen masih belum memiliki kepastian tentang status hubungan mereka. Xavier semakin sering diterpa rumor dengan banyak wanita, sementara Helen hanya bisa diam mendengar berita itu—semakin kesal dan marah, tetapi tak mampu berkata banyak.

“Helen.”

Helen menengok ke arah suara itu. Ia tersenyum saat sosok tersebut menghampirinya.

“Bobby? Ada apa?”

“Nggak. Tadi aku mau ke perpustakaan, tapi ke pasar dulu. Kamu jadinya aku hampir nyalip kamu.”

“Oh, kukira ada apa. Soalnya kamu kayak terburu-buru banget manggilnya.”

“Nggak ada kok, tenang aja. Oh iya, kamu nggak ada kelas hari ini?”

Helen melihat jadwal di ponselnya, memastikan apakah hari ini ia memang ke kampus atau tidak.

“Hari ini nggak ada. Dosennya dadakan nggak bisa datang, jadi aku pulang. Emangnya kamu ada apa?”

“Kalau kamu nggak ada rencana, papa kita pergi aja yuk. Siapa tahu bisa cari tempat buat healing.”

Helen merasa aneh mendengarnya, tapi tak bisa berkata apa-apa.

“Maaf, kayaknya aku nggak bisa. Aku ada tugas, jadi mau ngerjain tugas dulu.”

Bobby merasa itu hanya alasan. Ia menahan lengan Helen.

“Hel—”

Tiba-tiba seorang pria tampan berjas menepis tangan Bobby. Bobby langsung menoleh.

“Bos!”

Bobby spontan membungkuk, wajahnya pucat.

“Pergi. Saya tidak mau lihat muka kamu,” ucap Xavier dingin.

Helen hanya diam. Ia sendiri bingung harus bereaksi bagaimana.

Bobby segera pergi. Xavier menatap Helen, sementara Helen balas menatapnya dalam diam.

“Hai, kamu apa kabar?” tanya Xavier lembut.

“Mau ngapain kamu balik? Bukannya enak di luar negeri?”

“Kamu marah sama aku karena aku ke luar negeri?”

Helen merasa dirinya tidak pantas marah. Untuk apa marah, kalau statusnya saja bukan siapa-siapa bagi Xavier?

Xavier tersenyum melihat ekspresi Helen.

“Kenapa? Marah karena ditinggal?”

“Emangnya kamu sepenting itu buat aku? Aku nggak pernah merasa kamu sepenting itu, kok.”

Helen mencoba menutupi perasaannya. Sebenarnya ia butuh Xavier, tapi karena pria itu pergi meninggalkannya, untuk apa dicari?

“Maaf ya, karena aku ninggalin kamu. Aku beneran ada urusan di sana. Kamu mau kan maafin aku?”

Xavier mengusap kepala Helen. Helen menatapnya, lalu kembali menahan diri agar tidak terlihat lemah.

Saat Helen hendak pergi, Xavier tiba-tiba menggendongnya. Helen terkejut.

“Ngapain sih kamu?”

Xavier membawa Helen ke mobil. Di dalam, Helen menatap sekeliling, bingung dengan sikap Xavier yang terkesan memaksa.

Xavier terus menatapnya, sementara Helen sama sekali tak mau membalas tatapan itu.

“Kamu marah? Mau sampai kapan marahnya? Jangan marah terus dong, nanti cantiknya kurang.”

Helen tetap diam. Xavier terus berusaha mengajaknya bicara.

Tanpa sadar, Helen tertawa kecil.

Xavier langsung mendekapnya.

“Kenapa kamu peluk aku?”

“Gemes lihat reaksi kamu.”

Helen semakin yakin Xavier selalu pandai mengambil kesempatan.

“Emang nggak boleh aku peluk? Kangen tahu. Udah lama nggak ketemu.”

“Kamu sendiri yang mengasingkan diri. Sekarang kamu mau nyalahin aku?”

“Nggak. Aku nggak nyalahin siapa-siapa. Aku yang salah.”

Sopir dan sekretaris hanya diam, tak berani bersuara.

Sesampainya di kediaman Xavier, Helen bingung.

“Ngapain kamu nganterin aku ke rumah kamu?”

“Ada yang mau aku bicarain.”

“Soal apa?”

“Apa aja. Kita bisa bahas apa pun.”

Helen semakin bingung. Baginya, tak ada lagi yang perlu dibahas.

“Kamu kalau marah sama aku kelihatan banget, tahu.”

“Ya mau gimana? Masa aku pura-pura nggak tahu?”

“Biasa juga sih. Kamu memang begitu.”

Helen terkejut karena Xavier sangat mengenalnya.

Begitu masuk ke rumah, Xavier langsung mendekap Helen erat hingga ia sulit bernapas.

“Kenapa sih? Sakit, tahu, dipeluk begitu.”

“Aku rindu kamu.”

Helen merasa ucapan Xavier hanya sebatas kata-kata.

Ia mencoba melepaskan pelukan itu.

“Aku nggak suka sama kamu. Kamu lebih gila kerja daripada aku.”

“Kamu masih marah karena aku ke luar negeri?”

Helen memilih diam. Xavier sadar, siapa pun pasti marah jika ditinggalkan.

“Makasih ya, kamu udah sayang sama aku. Aku senang.”

Helen merasa Xavier terlalu percaya diri.

“Siapa juga yang sayang sama kamu? Aku nggak pernah sayang sama kamu.”

Xavier hanya tersenyum.

“Kenapa sih kamu selalu nyembunyiin perasaan kamu? Padahal di depan aku, kamu nggak perlu sembunyi apa-apa.”

“Menurut kamu, kenapa aku selalu nyembunyiin hal yang nggak perlu aku sembunyiin?”

Xavier terdiam. Tak lama, ponsel Helen berdering. Bobby menelepon.

“Halo, Bobby. Kenapa?”

“Kamu di mana? Aku lagi di tempat kerja. Kamu nggak masuk?”

“Nggak. Aku ngerjain tugas. Aku udah bilang tadi.”

“Ya udah. Kalau tugas kamu selesai, nanti aku ke rumah kamu, ya. Aku bawa makanan.”

Xavier yang mendengar itu langsung kesal dan mendekap Helen dari belakang.

“Tidak usah. Aku hari ini nggak mau ketemu siapa pun dan nggak nerima tamu.”

“Kamu kayak menghindari aku. Ada apa sih? Aku salah ya?”

“Nggak ada salah apa-apa. Tenang aja.”

“Kalau aku salah, bilang ya. Biar aku bisa introspeksi. Aku nggak pernah mau jauh dari kamu.”

Helen tersenyum canggung.

Sementara Xavier—dalam hatinya—ingin menghancurkan Bobby saat itu juga.

Setelah teleponnya terputus, akhirnya Xavier mencoba berbicara kepada Helen.

“Kamu bisa ya tahan sama orang kayak gitu? Kalau aku sih nggak bisa.”

“Sebenarnya bukan karena bisa sih, tapi lebih tepatnya aku ingin bersikap ramah aja.”

“Buat apa sama orang kayak gitu? Nggak penting banget. Lagian kan dia cuma pegawai aku doang.”

“Pegawai di tempat kerja kamu, tapi di luar itu dia teman aku. Jadi beda.”

Xavier merasa Helen tidak memikirkan perasaannya, padahal Xavier selalu memikirkan perasaan Helen di luar sana.

“Kamu marah karena aku teleponan sama Bobby?”

“Iya, emang kenapa?”

“Alasan kamu marah apa? Kan kamu bukan siapa-siapa aku. Kenapa kamu berani marah?”

“Emangnya kalau bukan siapa-siapa nggak boleh marah, ya?”

Helen menggelengkan kepalanya dan merasa bahwa dirinya tidak memiliki hak apa pun atas Xavier.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!