Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 — “Ujian Cinta, Bukan Ujian Sekolah”
Pagi itu, udara sekolah terasa hangat dan ramai seperti biasa. Tapi bagi Yunita, hari ini agak berbeda bukan karena pelajaran atau ujian, melainkan karena Clara, gadis centil yang kemarin baru tahu kenyataan pahit bahwa Yudhistira bukan pria lajang idamannya.
“Pagi, Bu Guru Muda,” sapa Nadia sambil menyodorkan roti cokelat.
Yunita yang sedang berjalan menuju kelas menatapnya bingung. “Apaan sih panggilannya aneh.”
“Lha iya, kan kamu sekarang resmi jadi istri guru killer paling ganteng sedunia,” cengir Rara.
“Dan seluruh sekolah udah tau,” tambah Salsa sambil mengedipkan mata. “Kamu tuh seleb, Yun.”
Yunita menghela napas. “Aku gak minta jadi seleb, tahu. Aku cuma pengen hidup tenang tanpa ada tatapan iri tiap aku lewat.”
Tapi sayangnya, tatapan itu memang ada apalagi dari beberapa siswi yang dulu sempat mengidolakan Yudhistira. Termasuk Putri, si murid baru yang sekarang duduk di bangku pojok dengan wajah cemberut dan headset di telinga.
Saat Yunita masuk kelas, Putri langsung menoleh, lalu dengan suara lantang berkata, “Eh, ketua kelas udah dateng. Gimana rasanya jadi istri guru yang ditakuti seantero sekolah?”
Suasana kelas langsung riuh. Beberapa anak tertawa pelan, tapi Yunita hanya tersenyum santai. “Rasanya? Hmm… kayak punya bodyguard 24 jam yang bisa ngasih nilai E kalau aku bandel.”
Seluruh kelas langsung pecah tertawa. Bahkan Putri yang tadi nyinyir jadi melongo.
“Jadi kamu gak malu?” tanya Putri lagi, nada suaranya masih sinis.
Yunita mengangkat alis. “Malu kenapa? Aku gak maling, gak nyontek, gak nipu. Aku cuma menikah karena jodoh yang ditulis dua keluarga dari dulu. Lagian, aku sayang dia, dan dia juga sayang aku.”
Beberapa anak cewek menatap dengan ekspresi berbinar. “Awww…”
Yunita menatap Putri sambil tersenyum lemah. “Kalau kamu suka seseorang, suka aja gak apa. Tapi jangan sampe nyakitin dirimu sendiri karena ngebandingin hidupmu sama orang lain.”
Kalimat itu seolah memaku suasana kelas. putri hanya diam, sementara anak-anak yang lain mulai berbisik pelan, kagum dengan ketua kelas yang selama ini dikenal cerewet tapi ternyata bisa bijak juga.
Siang harinya, Yunita duduk di taman sekolah sambil membuka bekal. Di sampingnya, Yudhistira sedang memeriksa hasil tugas siswa.
“Pak, kamu sadar gak, sejak semua orang tau kita nikah, mereka jadi makin heboh?” tanya Yunita sambil mengunyah tahu isi.
“Sadar,” jawab Yudhistira singkat tanpa mengangkat kepala.
“Terus kamu gak terganggu?”
“Kalau terganggu, dari dulu saya gak bakal nikah sama kamu.”
Yunita mengerutkan hidungnya. “Ih, jawabannya gak romantis banget.”
“Lha kamu pengen saya bilang apa?”
“Kayak... ‘Saya bangga dunia tahu kamu istri saya’, gitu kek,” ucap Yunita sambil menirukan suara berat.
Yudhistira akhirnya menatapnya dan tersenyum kecil. “Oke. Saya bangga dunia tahu kamu istri saya.”
Wajah Yunita langsung memerah. “Yah, kok malah beneran diucapin! Aku jadi malu…”
Yudhistira menatapnya dengan lembut. “Kenapa malu?”
“Soalnya aku baru nyadar, setiap kamu ngomong manis, itu kayak jarang banget terjadi, jadi efeknya kayak... guncangan jiwa.”
Pria itu tertawa kecil. “Dasar kamu.”
Tawa mereka pecah bersamaan. Tapi tanpa disadari, dari kejauhan, Putri sedang memperhatikan dan entah kenapa, matanya tak lagi sinis. Lebih ke… sedih.
----
Minggu berikutnya, sekolah mengadakan retreat ke luar kota. Satu bus diisi campuran kelas dua dan tiga, termasuk Yunita dan putri yang akhirnya duduk berdekatan karena undian tempat duduk.
“Nasibmu sial banget, ya?” goda Rara dari kursi belakang.
Yunita melotot. “Eh, siapa bilang sial? Duduk di sebelah Putri tuh... penuh tantangan!”
putri mendengus kecil. “Aku gak gigit, kok.”
Suasana awalnya canggung, tapi perjalanan panjang bikin mereka akhirnya mengobrol juga.
“Yunita,” kata putri tiba-tiba di tengah perjalanan.
“Hm?”
“Aku mau minta maaf.”
Yunita menoleh. “Hah? Maaf kenapa?”
“Karena kemarin-kemarin aku nyebelin banget. Aku pikir kamu cuma sok manis karena punya suami keren. Tapi pas aku lihat caramu ngejaga dia, cara kamu nyegah gosip biar gak nyebar, aku sadar... kamu tuh beneran cinta sama dia, ya?”
Yunita tersenyum. “Banget.”
putri terdiam, lalu menunduk. “Aku iri.”
“Boleh iri,” kata Yunita lembut. “Tapi jangan sampe lupa, kamu juga pasti punya cerita sendiri nanti. Siapa tau jodohmu malah bukan guru, tapi... anak presiden?”
putri tertawa kecil. “Ih, bisa aja kamu.”
Yunita ikut tertawa. “Ya namanya juga istri guru, harus pandai bernegosiasi biar gak dapet hukuman nyapu kelas.”
Perjalanan yang awalnya kaku berubah jadi hangat. Bahkan saat sampai di villa tempat mereka menginap, putri dan Yunita sudah akrab seperti teman lama.
Malam itu, acara api unggun berlangsung meriah. Para siswa menari, bernyanyi, dan bercanda. Di antara kerumunan, Yunita duduk agak jauh sambil menatap Yudhistira yang sedang berbicara dengan panitia guru lain.
“Dia emang dingin di depan orang, tapi kalo lagi di rumah…” bisik Yunita pada Rara.
“Kenapa? Lembut?” tanya Nadia
“Lembut banget… tapi tetep suka ngatur.”
“Ya iyalah, dia guru, Yun!” sahut Salsa sambil tertawa.
Yunita ikut tertawa, lalu tanpa sadar menatap suaminya lebih lama. Tatapan itu penuh rasa sayang campuran antara kekaguman dan kenyamanan yang sulit dijelaskan.
Tapi tiba-tiba, Yudhistira berbalik dan menatap balik. Pandangan mereka bertemu. Yunita buru-buru mengalihkan mata, tapi Yudhistira sudah melangkah mendekat.
“Kenapa ngelamun?” tanyanya.
“Enggak, cuma mikir...”
“Mikir apa?”
“Mikir, kapan aku bisa liburan tanpa kamu jadi pengawasnya,” jawab Yunita pelan.
Yudhistira menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Kalau saya gak ngawasin kamu, nanti kamu main ke laut lagi jam dua pagi cuma buat liat bintang.”
Yunita cengengesan. “Itu kan cuma sekali, Pak!”
“Sekali tapi hampir bikin panitia nyariin kamu satu kampung.”
Rara dan Salsa serta nadia ngakak di belakang. “Romantis tapi chaos banget mereka!”
Yunita pura-pura manyun, tapi diam-diam hatinya hangat.
----
Keesokan harinya, saat perjalanan pulang, bus berhenti di rest area. Semua siswa turun untuk beli makanan. Yunita dan putri pergi ke toko kecil, sementara Yudhistira menunggu di dekat bus sambil memeriksa daftar kehadiran.
Begitu kembali, Yunita membawa dua botol air dan sepotong kue.
“Nih, buat kamu.”
Yudhistira menatapnya. “Buat saya?”
“Ya, siapa lagi? Guru killer kesayangan aku.”
“Panggil saya ‘suami killer’, biar sekalian.”
“Wah, suami killer malah terdengar kayak judul sinetron kriminal,” goda Yunita.
putri yang berjalan di belakang mereka hanya bisa tersenyum kecil melihat keduanya. Ia akhirnya benar-benar menerima kenyataan — dan entah kenapa, ia jadi penggemar diam-diam pasangan itu.
...****************...
Beberapa bulan berlalu
Malam itu, di rumah, Yunita duduk di sofa sambil memegang cangkir teh. Yudhistira datang membawa laptop, duduk di sebelahnya.
“Pak Guru,” panggil Yunita pelan.
“Hmm?”
“Kalau nanti aku udah lulus, kamu masih mau jadi guru killer?”
“Mungkin. Kenapa?”
“Soalnya aku pengen kamu jadi guru buat anak-anak kita nanti.”
Yudhistira berhenti mengetik. Matanya melembut. “Anak-anak kita, ya?”
“Iya,” jawab Yunita malu-malu. “Mungkin nanti mereka bakal cerewet kayak aku, tapi tenang, aku bakal ajarin mereka cara ngeluluhin kamu.”
Yudhistira tertawa kecil, lalu memeluk bahunya pelan. “Kalau mereka kayak kamu, rumah ini gak bakal sepi seumur hidup.”
“Dan kalau mereka kayak kamu, rumah ini bakal penuh PR.”
Mereka berdua tertawa lagi.
Di luar, malam jatuh perlahan. Di dalam rumah kecil itu, dua hati yang dulu dipaksa menikah kini benar-benar saling memilih bukan karena perjodohan, bukan karena kewajiban, tapi karena tawa, canda, dan cinta yang tumbuh dengan cara paling sederhana: lewat setiap hari yang mereka jalani bersama.
Yunita menatap Yudhistira lembut.
“Pak suami”
“Hm?”
“Terima kasih udah sabar banget ngadepin aku.”
Yudhistira menatap balik. “Dan terima kasih udah ngajarin saya cara tertawa.”
Malam itu, untuk kesekian kalinya, rumah kecil mereka dipenuhi kehangatan — dan Yunita menulis lagi di buku hariannya:
“Ternyata, yang paling sulit dari jadi istri guru bukan menghadapi ulangan, tapi menghadapi cinta yang setiap hari makin besar tanpa aku sadari.”
Bersambung…
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏