Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Calon mertua
Terlahir dari keluarga tidak harmonis membuat Ryan tak memiliki rencana membangun keluarganya sendiri saat dewasa. Dipertontonkan adegan kekerasan dan suara keras saling bersahutan sejak kecil mengubah pandangan Ryan tentang keluarga, menurutnya, membangun keluarga hanya akan menambah masalah setiap harinya.
Ibu dan ayahnya bercerai tepat saat Ryan baru saja menghadiri acara kelulusan sekolah menengah pertama. Mereka tidak hadir dan sibuk mengurus perceraian mereka.
Ryan tidak ikut dengan ayah atau ibu, ia memutuskan untuk tinggal sendirian dirumah yang telah menjadi saksi bisu atas perjalanan hidupnya yang tak mudah. Ryan juga tidak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya karena frustasi waktu itu.
Masing-masing dari orang tuanya sudah memiliki keluarga baru, dan kalau dilihat-lihat, keluarga baru mereka lebih harmonis.
Rasa sakit hati Ryan melihat kebahagiaan mereka membuatnya tumbuh menjadi anak yang tidak tahu aturan. Ia cenderung mencari kebahagiaan yang bisa digapai sendiri, termasuk minum-minum setiap hari, berjudi, lalu meniduri banyak perempuan setiap minggunya.
Awalnya semua berjalan baik. Ryan merasa bahagia atas apa yang dia lakukan, hingga sampai akhirnya Rania datang dan mengatakan kalau dia sedang mengandung anaknya, bahkan menuntut tanggung jawab.
Jujur saja Ryan tidak meragukan anak dikandungan Rania. Ia jelas tahu dan merasakan kalau dia lah orang pertama yang melakukannya pada Rania. Selain itu, Ryan yang biasa membuang muatan diluar, entah kenapa saat bersama Rania malah membuangnya didalam.
Jadi tidak salah kalau beberapa bulan kemudian muatan itu berubah menjadi gumpalan darah di rahim Rania.
"Jangan tegang, bos! Tenang saja. Ada kami yang akan menemani dan berjaga-jaga kalau ayah dari perempuan itu tiba-tiba saja mengamuk."
Mendengar ucapan Onad, Ryan tersenyum tipis. Entah dia harus merasa senang karena memiliki teman-teman yang mau menemani dirinya saat susah, atau merasa sedih karena bukan orang tuanya yang menemani.
Meskipun terpaksa, Ryan tetap datang dengan niat baik. Selain takut dengan ancaman Rania, Ryan juga mendapat nasihat panjang lebar dari tiga temannya.
Ryan datang mengenakan pakaian sopan, menurutnya. Sejujurnya ia tidak memiliki pakaian bagus lainnya. Semua model pakaian didalam lemari sama, hanya kaos oblong dan celana jeans panjang.
"Apa pakaianku terlihat aneh?"
"Sedikit," Mata Diki menyipit. "Tapi tidak apa-apa, 'kan, yang terpenting niat baiknya."
"Kalian benar."
"Sudah, ayo kita ketuk pintunya. Tidak sopan tahu, kita sudah lama hanya berdiri disini, padahal niatnya ingin bertamu. Nanti kalau ada orang lewat, kita disangka maling, lagi."
Ryan mengangguk dan segera mendekati pintu. Tangannya mengetuk beberapa kali hingga menimbulkan suara, tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam dan menampilkan sosok pria paruh baya.
"Siapa kalian?" Anton menatap waspada empat orang laki-laki berpakaian preman didepannya. Takutnya, mereka ada niat jahat dan tiba-tiba saja menyerang.
"Saya Ryan— eh! Kami tidak ada niat buruk," Spontan menahan pintu yang hendak ditutup sebelum Ryan menyelesaikan kalimatnya. "Saya datang ke sini untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya."
Mendengar hal itu, Anton sedikit melunak dan membuka pintu sedikit lebar. Apa pria ini yang dimaksud oleh Rania? Batinnya.
Spontan Anton memindai penampilan Ryan dari atas-bawah begitupun sebaliknya. Kemudian memandang tiga orang lainnya satu persatu.
"Apa maksudmu?"
"Saya ... Orang yang sudah menghamili Rania. Jadi, saya datang ke sini untuk—,"
"Tidak perlu."
Maniknya berkedip menatap Anton. Dahinya mengernyit heran. "Maksud bapak?"
"Melihat penampilanmu saja saya sudah tidak yakin kalau kamu mampu bertanggung jawab atas putri sulung saya. Jadi, lebih baik tidak usah bertanggung jawab sama sekali, biar saya yang mengurus anak dan calon cucu saya. Sekarang kamu pergi dari sini."
Tangan Ryan mengepal disisi tubuh. Walaupun omongan Anton tidak salah, Ryan tetap merasa tersinggung saat direndahkan seperti itu, padahal niatnya sudah baik.
Onad pun ikut kesal mendengar temannya diremehkan seperti itu. Ia maju dan pasang badan didepan Ryan. "Apa bapak tidak berpikir? Ucapan bapak ini bisa menyakiti hati orang lain, loh!"
"Kenapa kalian tidak terima? Toh, yang saya bilang ini kenyataan kok. Mengurus diri sendiri saja tidak becus, bagaimana mau mengurus anak orang? Sudah! Lebih baik kalian pergi dari ini."
"Don't judge by cover, pak! Walaupun penampilan kami seperti preman, hati kami tetap baik. Buktinya kami mampu membujuk bos datang ke sini untuk bertanggung jawab."
"Halah, banyak bicara kalian. Pergi sekarang dari rumah saya."
Ryan menahan tangan Onad saat temannya ingin kembali menjawab ucapan Anton. Saat Onad menoleh ke arahnya dengan tanda tanya besar diatas kepala, Ryan hanya memberikan gelengan kepala.
Pandangannya bergulir pada Anton. "Ya sudah kalau bapak tidak membutuhkan tanggung jawab saya. Saya ke sini juga atas paksaan putri bapak sendiri, dia yang minta tanggung jawab dari saya. Tapi, ya, baguslah kalau bapak mengusir saya. Saya tidak perlu repot-repot untuk bertanggung jawab."
Memberi isyarat kepada tiga temannya agar segera meninggalkan tempat, dan langsung dimengerti oleh mereka. Saat mulai bergerak memutar badan, tiba-tiba saja suara Rania terdengar dari arah belakang.
"Kenapa malah pergi? Ayah! Ayah mengusir mereka?"
"Iya. Ayah yang meminta mereka pulang saja."
"Kenapa? Katanya ayah ingin bertemu—,"
"Tidak perlu Rania," Atas ucapannya ini, kerutan tipis muncul didahi Rania. "Kamu tidak usah mengemis tanggung jawab dari pria urakan ini. Ayah masih sanggup membiayai kamu dan anak kamu nantinya."
Kepala Rania menggeleng lirih, kemudian bergerak menempatkan diri disisi Ryan, bahkan merangkul lengannya hingga membuat pria itu kebingungan dengan tingkah berani Rania.
Menatap mantap sang ayah, tidak ada sorot mata keraguan disana. "Aku akan tetap menikah dengan Ryan."
Anton geleng-geleng kepala. Tangannya hendak menarik Rania agar menjauh dari sisi Ryan, tapi tidak bisa karena Rania seperti memaku kakinya disana.
"Menjauh dari pria itu, Rania," Desis Anton.
"Tidak akan."
"Apa sebenarnya yang kamu lihat dari dia? Kaya tidak, baik juga tidak—,"
"Hei, pak tua! Aku dengar dari tadi kau terus menjelekkan bosa kami. Walaupun kelakuannya memang seperti setan, tapi dia tidak seburuk itu asal kau tahu."
Mendengus sambil melipat tangan didepan dada. "Ya, masih tetap buruk 'kan, artinya?"
Ryan menghela napas. Dia paling tidak suka menghadapi situasi semacam ini, berada ditengah-tengah orang yang sedang bertengkar. Hal itu selalu membuatnya teringat pada masalalu.
Kepalanya menoleh ke samping, lalu menunduk menatap pucuk kepala Rania. "Sebaiknya mulai sekarang jangan mengejar ku lagi untuk bertanggung jawab. 'Kan, sebelumnya aku sudah bilang padamu, aku ini pria miskin. Kau tidak percaya padaku."
Mendengar ucapan Ryan, Rania mengangkat wajahnya dan membalas tatapan pria disampingnya. Jujur saja Rania merasa sedikit bersalah karena harus menyeret Ryan untuk kepentingan pribadinya.
Entah kenapa malam ini Rania melihat sisi lain dari pria yang selalu ia takuti itu. Sorot mata yang biasanya tajam, malam ini terlihat ... Lembut? Ryan terasa sangat tulus datang ke rumahnya.
Tanpa membalas ucapan Ryan, Rania kembali menatap ayahnya. "Aku tetap akan menikah dengan Ryan, tidak peduli ayah setuju atau tidak. Kalau ayah masih memaksa keputusan ayah, lebih baik aku mati saja!"
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....